Santri Cendekia
Home » Para Pewaris Kitab Kuning

Para Pewaris Kitab Kuning

Siang tadi saya bertemu dua teman alumni Kaliurang. Kami berbincang soal skripsi. Perbincangan tentang skripsi pasti itu-itu saja, soal judul yang bagus, topik yang menarik diteliti. Kedua temanku itu punya ide yang menurut saya keren.

Ada yang hendak meneliti nilai pendidikan yang terkandung di dalam metode istinbath hukum. Unik, sangat unik. Saya menimpalinya untuk mencoba konsentrasi ke Qiyas, sebab penelitian saya sendiri seputar metode ini, yang ternyata mirip dengan salah satu model hasil formulasi Bruce Joyce dan konco-konconya. Tapi, yah sepertinya dia lebih pada ranah nilai dan teori pendidikan, tidak praksis. Ia lebih memilih saddduzari’ha. Bagaimanapun saya membayangkan hasilnya jadi luar biasa ; nanti qiyas, sadduzari’ah, dan kawan-kawan tidak hanya dikenal sebagai metode istinbath tapi juga bagian dari teori pendidikan Islam. Luar biasa

Temanku yang lain hendak meneliti soal andragogi, pendidikan untuk orang dewasa. Dia hendak mengkaji aspek-aspek andragogi di dalam karya an-Nawawi yang terkenal itu ; arba’in an-Nawawiyah. Mencoba sok tahu, saya mengusulkan padanya untuk meneliti karya-karya ulama sufi saja, atau bahkan persaudaraan liberal zaman Abbasiyah, Ihwanusshafa. Sebab kalangan sufi pasti isinya orang-orang dewasa, dan mereka semua dididik untuk menanjak dari satu maqam ke maqam lainnya. Sepertinya teori andragogi jadi lebih klop. Tapi dia tentu sudah punya desain besar penelitiannya sendiri, ia tetap memilih arba’in. Saya juga membayangkan hasilnya akan hebat sekali. Masya Allah, jadi nanti empat puluh hadis pilihan Imam Nawawi bukan hanya ditelaah untuk persoalan akidah, fikih, tapi juga teori andragogi. Luar biasa!

Malam ini saya iseng-iseng lagi masuk ke sebuah grup berisi debat online, isinya tidak akan jauh-jauh dari klaim-klaim tua itu, siapa paling Sunni, siapa ahlul bid’ah, dan sejenisnya.. dan saya juga takjub, betapa telitinya orang-orang ini menelisik kitab-kitab klasik untuk menemukan kesalahan lawan mereka. Orang-orang seperti itu selalu membuat saya takjub, komentar-komentar mereka selalu penuh dengan hadis, kutipan dari beragam kitab klasik yang tidak pernah saya dengar judulnya, lalu dilanjut caci maki. Masya Allah mereka bisa menemukan sebaris-dua baris kalimat pamungkas penghancur argumen lawan dari tumpukan ribuan halaman khazanah kepustakaan Islam. Ya Allah, andai saya punya ketelitian dan waktu luang untuk mengkaji kitab seperti mereka.

Karya ulama-ulama kita bagaikan gunungan emas, silakan kau ambil sesukamu. Emas itu bisa kau jual dan uangnya untuk makan lotek. Emas itu bisa kau ambil, jadikan ia cincin, gelang, mahkota, lalu pakaikan kepada orang-orang yang kau sayangi. Batangan emas itu juga bisa kau lemparkan ke wajah temanmu, lemparkan sebanyak-banyaknya, sesering mungkin sampai kawanmu itu mukanya bonyok. Bahkan, jika kau punya waktu dan keinginan yang cukup, emas itu bisa kau jadikan pisau lalu tikam siapa saja yang kau benci dengannya. Pun jika belum puas, pisau itu bisa kau asah lebih tajam, agar nanti tidak hanya menikam, kau juga bisa memutilasi mereka. Mutilasi ia dan seluruh keluarganya sekalian.

Baca juga:  Haruskah Nikita Mirzani Dibui dalam Pandangan Hukum Positif Islam?

Jogja, 3 Maret 2014.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar