Santri Cendekia
Home » Al-Hakim; Kebijaksanaan Penuh Kasih

Al-Hakim; Kebijaksanaan Penuh Kasih

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

           

Dalam Kitab Al-Asma’ul Husna karangan Prof. Dr. Sulayman Al-Asyqar, Sifat Allah A-Hakim dibahas dalam 2 konteks besar.

  1. Yang Mengatur dan Menentukan Segala Sesuatu

“Allah disebut juga Al-Hakim, karena Dia yang mengatur semua ucapan dan tindakan-, Nya, sehingga benar semua adanya dan teliti. Dan ketelitian-Nya, berupa ketepatan-Nya meletakan segala sesuatu di tempatnya.[1]“ Maka tidak mungkin ada sedikitpun tindakan Allah entah itu dalam penciptaan alam semesta  dan pengaturannya, pembuatan syariat, penentuan takdir dan jalan hidup manusia, hingga pengaturan posisi lafadz per lafadz dalam kalam-Nya, Al-Qur’an Al-Karim itu salah ataupun dilakukan tanpa ketelitian dan hikmah. Tidak ada satupun dari tindakan Allah yang sia-sia dan karena ketidak sengajaan. “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan Batil (sia-sia), Maha Suci Engkau (dari segala bentuk kesia-siaan), maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali-Imran : 191).

Oleh karena itu, tidak mungkin ada syariat Allah ada yang cacat, dan tidak pantas bagi seorang mukmin untuk berpikir bahwa ada syariat Allah yang cacat. Jika Allah tentukan pezina harus dihukum cambuk atau rajam, maka itulah hukum terbaik bagi pezina. Jika Allah tentukan Qishash atau pembayaran diyat pagi para pelaku jinayat, maka itulah hukum terbaik. Jika Allah tentukan hukum bunuh bagi pelaku sodomi, maka itulah hukum terbaik bagi pelaku sodomi. Jika orang kafir harus membayar jizyah pada kekhalifahan islam, ya maka itu hukum terbaik untuk orang-orang kafir. Tak usah khawatir apa kata dunia, karena seluruh dunia ini kelak juga akan kembali kepada-Nya. Tentu semua dilakukan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang benar menurut arahan para Ulama.

Baca juga:  Adab sebagai Pemimpin dan sebagai Umat Rasulullah

Mengimani sifat Al-Hakim, hendaknya membuat kita lebih yakin untuk menjalankan berbagai hukum yang telah Allah syariatkan. Karena konsekuensi dari mengimani Al-Hakim adalah kita selalu yakin bahwa ada hikmah dan kemaslahatan besar dibalik syariat-syariat yang telah ditentukan Allah, baik Allah sudah membuka hikmah itu atau belum kepada kita. Karena akal kita bukan standar hukum. Ketika kita belum tahu hikmah sebuah hukum syariat, tak berarti kewajiban hukum itu jadi gugur bukan? Masa kita yang bodoh, syariat yang suruh ikut kebodohan kita? Walaupun tentu islam sangat menganjurkan kita untuk terus senantiasa menggali berbagai hikmah yang tersembunyi di luasnya Realitas (wujud) alam semesta ini.

  1. Allah adalah Hukum itu Sendiri dan Yang Mengadili di antara Hamba-Hamba-Nya

“Allah adalah hukum dan pengadil bagi hamba. Allah mengistimewakan diri-Nya sebagai hukum, sehingga tak seorang pun dibolehkan lancang terhadap hukum itu sendiri. Bila hamba menjadikan selain Allah sebagai hakim, maka ia telah menjadikan Illah selain Allah, dan Allah tidak akan rela jika Dia disekutukan dengan makhluk dalam kekuasaan-Nya.[1]”

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa : 65). “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan” (Al-Baqarah : 213).

Allah nyatakan dalam dua ayat di dua surat di atas, bahwa bukanlah orang beriman yang tak menjadikan Allah sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan dan Nabi dan kitab-Nya diturunkan agar bisa menjadi hakim bagi berbagai macam hal yang kita perselisihkan atau kita ributkan.

Baca juga:  Jangan Dahului Allah, Rasulullah, dan Ulama' (Al-Hujurat 1)

Ikhwati fillah, iman kita tercermin dari sejauh mana kita mencintai dan merindukan untuk hukum Allah tegak di tengah-tengah kita. Jangan malah kita ikut-ikutan menjadi kaum-kaum yang mendahulukan akal dan opini diberbagai macam polemik kehidupan kita padahal sudah ada hukum dan syariat Allah yang mengatur itu melalui fatwa dan ijtihad para Ulama.

Kita ini bukan Hakim, Hakim itu Allah dan Rasul-Nya. Maka dijaman kejayaan islam, mereka yang boleh berprofesi sebagai Qadhi (hakim) adalah para Ulama yang benar-benar menguasai hukum-hukum syariat, yang kenal benar dengan Allah dan Rasul-Nya. Loh kita ini fiqih thaharah aja gak tuntas-tuntas? Kok segala sesuatu mau dikomentari dengan opini sendiri? Apa gak takut menghadap murka Allah di akhirat nanti?

Andaipun misal di negara kita ini hukum islam belum bisa diterapkan secara menyeluruh dan kaffah? Maka itu tak menjadikan kita berleha-leha dan merasa semua baik-baik saja dengan keadaan ini. Ingat, di akhirat kelak, hati pun akan dimintai pertanggung jawabannya. Apakah ketika hati kita dibongkar, Allah akan mendapati hati kita sebagai hati yang ridho dan tenang-tenang saja dengan berbagai macam hukum Thagut? Atau hati kita selalu menjadi hati yang gelisah, sedih, dan cemburu karena hukum Allah tak kunjung hadir di tengah negara kita hingga kita menemui ajal? “Hati-hati dengan hati”.

Ingat, yang boleh menyatakan hukum Allah masih relevan atau tidak ya Allah sendiri, melalui ilmu para Ulama yang mendalam. Itu mengapa ada nasikh-mansukh dalam istilah Ushul Fiqh atau ‘Ulumul Qur’an.

Kita itu lemah dan dhoif, kita bodoh, “ilmu kita dibanding ilmu Allah bagaikan air yang menempel pada paruh gagak yang minum di tengah laut.” Itu ilmu kata Khidir kepada Musa as. Maka jika kita pernah terlintas ada pemikiran bahwa akal ini lebih solutif dari pada syariat, beristigfarlah, agar Allah ‘Azza wa Jalla masih berkenan memberikan hidayah dna maghfirah-Nya kepada kita.

Baca juga:  Al-Sullam dan Isaghuji: Manual Dasar Logika di Dunia Islam

 

Allahu a’lam bishshawab

Referensi:

[1] Al-Asma Al-Husna, Prof. Dr. Sulaiman Al-Asyqar

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar