Santri Cendekia
Home » 40 tahun (Al-Ahqaf 15 Part 1)

40 tahun (Al-Ahqaf 15 Part 1)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”  (AlAhqaf : 15)

 

            Dalam ayat ini Allah ‘Azza wa jalla memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Setelah itu Allah mengingatkan kita lebih detail tentang bagaimana kepayahan yang menimpa ibu kita semenjak mereka mengandung kita, melahirkan kita, menyusui kita, hingga akhirnya kita disapih dan terus menjalani hidup kita hingga kita menginjak usia 40 tahun.

            Allah menyebutkan usia 40 tahun di dalam ayat ini secara eksplisit. Tentu ada hikmah yang patut kita cari dan kita renungkan mengenai penyebutan usia ini. Mengenai hal ini, para Ulama salaf dan khalaf sudah memberikan tafsiran dan pendapat-pendapatnya mengenai usia 40 tahun ini.

             Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa manusia apabila menjelang usia 40 tahun hendaklah memperbarui taubat dan kembali kepada Allah dengan bersungguh-sungguh. Abu Abdirrahman pernah bertanya kepada masruq, “kapan seseorang dijatuhi hukuman atas dosa-dosa yang diperbuatnya? Ia menjawab, “jika engkau suah berumur 40 tahun. Maka berhati-hatilah”[1]

Baca juga:  Isu Penyimpangan Orientasi Seksual Sebagai ‘Kalimah Sawa’

           Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah usia manusia diklasifikasikan menjadi 4 (empat) periode, yaitu: (1) Anak-anak (aulad); sejak lahir hingga akil baligh, (2) Pemuda (syabab); sejak akil baligh hingga 40 tahun, (3) Dewasa (kuhul); 40 tahun hingga 60 tahun, (4) Tua (syuyukh); 60 tahun ke atas. Maka usia 40 tahun adalah usia di mana seorang manusia mulai beranjak dari fasa syabab (pemuda) menuju fase dewasa (kuhul). Usia 40 tahun adalah usia yang seharusnya menjadi titik kematangan seorang manusia. Itu hikmah mengapa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga diangkat sebagai Rasul ketika berusia 40 tahun. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, “Diutusnya Rasulullah (yaitu) pada usia 40 tahun.” (HR. Al-Bukhari).

           Abdullah bin Abbas mengatakan, “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak mantap dan tidak dapat mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.” Qotadah, tokoh generasi tabiin, berkata, “Bila seseorang telah mencapai usia 40 tahun, maka hendaklah dia mengambil kehati-hatian dari Allah ‘azza wa jalla.”

           Imam Asy-Syafi’i tatkala mencapai usia 40 tahun, beliau berjalan sambil memakai tongkat. Jika ditanya, maka beliau menjawab, “Agar aku ingat bahwa aku adalah musafir. Demi Allah, aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar. Lalu burung itu lepas di udara, kecuali telapak kakinya saja yang masih tertambat dalam sangkar. Komitmenku sekarang seperti itu juga. Aku tidak memiliki sisa-sisa syahwat untuk menetap tinggal di dunia. Aku tidak berkenan sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia. Aku juga tidak berkenan mereka mengingatkanku sedikit pun tentang hiruk pikuk dunia, kecuali hal yang menurut syari’at lazim bagiku.”

Baca juga:  Menjadi Wanita yang Solutif

        Ibrahim Al-Nakha’i Rahimahullah berkata, “Mereka berkata bahwa jika seseorang sudah mencapai usia 40 tahun dan berada pada suatu perangi tertentu, maka perangainya tidak akan pernah berubah hingga datang kematiannya.” [2]

       Disebutkan tentang biografi Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi, “Bahwa ketika mencapai umur 40 tahun isa berkonsentrasi untuk beribadah dan memutuskan diri dari hubungan dengan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, da ia berpaling dari semua urusan dunia dan umat manusia, seakan ia tidak pernah kenal seorang pun dari mereka. Dan ia terus menyusun karya-karya tulisnya.. [3]

      Imam Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Allah Ta’ala menyebutkan orang yang sudah mencapai umur 40 tahun, maka sesungguhnya telah tiba baginya untuk mengetahui nikmat Allah Ta’ala yang ada padanya dan kepada kedua orang tuanya, kemudian mensyukurinya”. Sesungguhnya hakikat syukur itu mencakup tiga komponen; hati, lisan, dan anggota badan. Hati dengan mengakui bahwa semua nikmat itu berasal dari pemberian Allah. Sedangkan lisan dengan menyebut-nyebut dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya serta memuji-Nya. Sementara anggota badan adalah dengan menggunakan nikmat itu untuk taat kepada-Nya, yakni untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Bersambung..

 

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi:

[1]   “Tafsir Al-Qur’anul Azhim”, Ibnu Katsir

[2]    “Al-Thabaqat Al-Kubra”

[3]    “Syadzratu Al-Dzahab”

 

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar