Santri Cendekia
Home » Adab sebagai Pemimpin dan sebagai Umat Rasulullah

Adab sebagai Pemimpin dan sebagai Umat Rasulullah

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

            Perang Badar sudah siap dimulai. Rasulullah pun menentukan tempat yang akan digunakan sebagai post/ base camp untuk pasukan muslimin selama peperangan berlangsung. Ketika Rasulullah sudah menentukan tempat sebagai post/ base camp, seorang sahabat yang bernama Hubab bin Mundzir pun angkat bicara, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu untuk berhenti di tempat ini? apakah ini tempat berhenti yang ditentukan Allah untukmu? jika begitu maka tak ada pilihan bagi kami untuk maju atau mundur dari tempat ini. Ataukah ini hanya sekedar pendapat, siasat, dan taktik perang?” Rasulullah menjawab, “ini adalah sekedar pendapat, siasat, dan taktik perang”. Hubab bin Mundzir menjawab lagi, “Ya Rasulullah, menurutku tidak tepat jika kita berhenti di sini. Pindahkanlah orang-orang ke tempat yang lebih dekat lagi dengan mata air daripada mereka (orang-orang musyrik mekah)”. Kita berhenti di tempat itu dan kita timbun kolam-kolam belakang mereka, lau kita buat kolam yang kita isi air hingga penuh. Setelah itu kita berperang menghadapi mereka. Kita bisa minum dan mereka tidak”. Rasulullah pun menjawab, “Engkau telah menyampaikan pendapat yang jitu”. Akhirnya Rasulullah dan pasukan muslimin menjalankan ide yang iajukan oleh Hubab bin Mundzir.

        Betul saja, ide Hubab bin Mundzir, dan keputusan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyetujui dan mengikuti ide Hubab pun sangat tepat. Di sepanjang pertempuran, orang-orang kafir Quraisy begitu merasa kehausan karena mereka tidak dapat menjangkau sumber air yang saat itu berada di post kaum muslimin.

          Begitulah kisah Rasulullah dan para sahabat, bagai mata air yang tak pernah kering. Selalu dapat menyegarkan dahaga-dahaga mereka yang haus ilmu dan mencintai Rasulullah berserta para sahabatnya.

Baca juga:  Lembut dan Merakyat, Ciri Pemimpin Muslim Sejati

        Hikmah pertama, Rasulullah, meskipun seorang Nabi yang ma’shum. Pemimpin tertinggi muslimin baik dari segi spiritual, politik, maupun militer, tetap bersikap tawadhu’ dan mawas diri terhadap kapasitas beliau dan para sahabat. Selama ide atau padangan yang diajukan sahabat adalah pandangan yang beliau rasa lebih baik dan banyak maslahatnya, tidak sedikitpun ada ego yang muncul untuk menolak pendapat sahabat tersebut. Beliau tak segan menjalankan ide dan pandangan tersebut.

        Tak seperti kita, yang terkadang, jabatan atau pangkat naik sedikit saja, sudah berani mensakralisasi segala pandangan dan titah kita sendiri. Kita lebih suka kelompok dan rakyat kita binasa di tangan kita, daripada harus menggunakan pendapat orang lain. Penyakit ini juga yang sampai sekarang selalu menghinggapi bangsa kita. Di era tumbangnya orde baru misalnya, sebenarnya seburuk apapun orde baru, banyak juga hal positif yang harusnya bisa dipertahankan dan diteruskan. Tapi karena impotensi kemampuan untuk menyaring hal positif dan menerima pandangan dari pihak lain, apalagi itu pihak yang oposisi dan dibenci, akhirnya kita kebiri dan sunat habis semua yang ada di orde baru. Usia bangsa yang berpuluh tahun pun seolah harus dimulai lagi dari 0.

      Hikmah kedua, begitu luar biasanya adab para sahabat. Sebelum mengajukan pandangan untuk “menyanggah” pendapat Rasulullah, sahabat selalu memastikan, apakah pendapat Rasulullah tersebut datang dari wahyu atau hasil pemikiran beliau pribadi. Jika datang dari wahyu, para sahabat tak berani menentang atau bahkan mengkritik barang sedikit. Namun jika itu pendapat pribadi Rasulullah, para sahabat akan berusaha untuk menyampaikan pendapat pribadi mereka dengan baik dan sopan.

Baca juga:  Dakwah Semakin Merapat di Kota Santri yang Penuh Adat

        Tak seperti kita sekarang, yang sudah jelas dari wahyu di kritik dan dihantam sana sini. Al-Qur’an produk budaya lah, Al-Qur’an sudah tak relevan untuk jaman sekarang lah, Al-Qur’an perkataan Muhammad lah, menafsirkan Al-Qur’an dengan heurmenetik lah, dsb. Sedangkan perkataan dan pemikiran tokoh-tokoh filsuf sekuler dan atheis yang datang dari luar islam, barat khususnya, beuh bisa kita bela habis-habisan setengah mampus. Karl Marx dan Lenin misalnya, pemikiran mereka berdua sempat membuat indonesia porak-poranda beberapa tahun. Hanya karena penganut-penganut setianya seperti Moesso, Aidit, Lukman, Njoto, kecanduan komunisme dan berusaha menegakan komunisme di indonesia. Atau Seperti sosok Abdullah Cevdet yang berkata, “sekarang hanya ada satu, yaitu peradaban barat, maka kita harus ambil bunganya sekaligus durinya”, kekhalifahan Turki Ustmani pun runtuh.

 

Allahu a’lam bishshawab

 

 

Referensi :

[1] Ar-Rahiqul Makhtum Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury.

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar