Santri Cendekia
Home » Adillah kepada Anak-Anakmu! (Yusuf 4-5 End Part)

Adillah kepada Anak-Anakmu! (Yusuf 4-5 End Part)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

 (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”(4). Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”(5) (Yusuf : 4-5)

 

Soal berbuat adil kepada anak bukanlah urusan sederhana dan main-main. Bahkan seorang Nabi, Ya’qub as, yang notabenenya adalah seorang ayah yang bijak dan adil terhadap anak-anaknya, masih saja ada kedengkian yang lahir di antara anak-anaknya. Urusan dengki antar anak di dalam sebuah keluarga bukan menjadi urusan sepele. Lupakah kita? Sebab apa terjadi pembunuhan pertama di muka bumi ini terjadi? Dua bersaudara anak Adam as. Qabil yang dengki terhadap Habil. Istri Habil yang merupakan saudara kembar Qabil lebih cantik daripada istri Qabil yang merupakan saudara kembar Habil. Qurban Habil yang diterima Allah ketika Qurban Qabil tidak. Hingga puncaknya, Qabil membunuh Habil untuk memuaskan syahwat dengkinya. Nabi Adam as telah berlaku adil semampunya, namun kedengkian itu tetap saja terjadi. Apatah lagi jika kita, berbuat tidak adil dalam pengasuhan anak-anak kita??

Adapun beberapa hadist Rasulullah tentang bersikap adil kepada anak,

Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut”[HR. al-Baihaqi].

Adillah kepada anakmu, adillah kepada anakmu, adillah kepada anakmu! [HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Hibban, dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Shahihah no. 1240]

Baca juga:  Artificial Intellegence Berfatwa?

Dari an-Nu’man (bin Basyir), beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Ibu saya meminta hibah kepada ayah, lalu memberikannya kepada saya. Ibu berkata, ‘Saya tidak rela sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi saksi atas hibah ini.’ Maka ayah membawa saya –saat saya masih kecil- kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, ibunda anak ini, ‘Amrah binti Rawahah memintakan hibah untuk si anak dan ingin engkau menjadi saksi atas hibah.’ Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Basyir, apakah engkau punya anak selain dia?’ ‘Ya.’, jawab ayah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Engkau juga memberikan hibah yang sama kepada anak yang lain?’ Ayah menjawab tidak. Maka Rasûlullâh berkata, ‘Kalau begitu, jangan jadikan saya sebagai saksi, karena saya tidak bersaksi atas kezhaliman.’ ” [HR. al-Bukhâri no. 1623] Setidaknya, ketidak adilan kita dalam pengasuhan anak dapat melahirkan beberapa keburukan;

Berkata Syaikh Abdul Ghani an-Nablisi menjelaskan kepada kita tentang masalah ini, “Pilih kasih orang tua terhadap anaknya akan menimbulkan permusuhan, kedengkian, dan kebencian di antara sesama anak-anak itu sendiri, kemudian akibat selanjutnya akan terjadilah pemutusan hubungan keluarga disebabkan oleh sikap pilih kasih orang tua mereka.’[1]

Dampak lain yang tak kalah buruknya, akan muncul dimasa mendatang generasi yang durhaka kepada orang tuanya dan generasi yang selalu menimbulkan permusuhan dengan saudara-saudara mereka sendiri.[2]

Tidak sedikit kasus perpecahan antara saudara akibat perasaan iri dan dengki bahkan terbawa hingga mereka tiba di usia senja. Untuk kasus ini, penulis menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan beberapa kisah keluarga besar kawan-kawan yang penulis kenal. Apalagi jika urusannya sudah tentang harta gono-gini.

Baca juga:  Bermusyawarahlah seperti Ibrahim (Ash-Shaffat : 102)

Lalu bagaimana definisi adil di sini? Adil itu urusan zahir dan bukan urusan batin. Jika adil urusan batin, maka Rasulullah pun tidak akan pernah berlaku adil kepada keluarganya, dalam konteks ini misalnya istri-istrinya. Rasulullah sendiri pun mengakui bahwa untuk urusan cinta, beliau tidak bisa menafikan bahwa A’isyah ra lah istri yang paling beliau cinta.

Begitu pun kita, tidak salah jika ada seorang dari sekian anak yang benar-benar menjadi anak emas di hati kita, yang penting dalam perlakuan zahir kita harus adil. Jika yang satu mendapatkan perhatian, maka yang lain tidak boleh kurang perhatiannya. Jika yang satu kita peluk dan kita cium sebelum berangkat bekerja, maka yang lain harus mendapatkan peluk dan cium juga. Jika yang satu mendapatkan sarana dan pra-sarana yang menunjuang minat dan bakatnya di jalan Allah, maka yang lain pun juga sebisa mungkin harus diberikan sarana dan pra-sarana yang menunjang minat dan bakatnya. Dan berbagai macam contoh kasus lain yang tidak mungkin disebutkan satu per satu di sini. Walaupun adil TAK SELALU harus sama, semua di jalankan sesuai dengan porsi dan urgensi kebutuhan tiap anak. Jika ternyata, (na’udzubillahi min dzalik), ada anak kita yang berkebutuhan khusus, tentu pasti kita wajib memberikan perhatian khusus dan lebih kepadanya.

Subhanallah! Itulah mengapa dalam surat Al-Furqan : 74, “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. doa untuk menjadi pemimpin dimulai dengan doa memohon istri dan anak yang baik. Karena sungguh, sangat sulit rasanya adil ketika memimpin orang banyak, ketika kepada keluarga beberapa orang anak saja kita sulit menjadi pemimpin yang adil.

Baca juga:  Tadabbur Asmaul Husna : Al-Lathif (Yang Maha Halus)

Dan begitupun sunnatullah yang berlaku, dari soal konteks keadilan kepada anak, kita belajar suatu kaidah yang besar. Jika keadilan sudah gagal tertunai dari tangan seorang pemimpin, maka sulit sepertinya untuk menghindari chaos yang terjadi dalam masyarakat akibat berbagai kesenjangan.

.

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi:

[1] Tahqiqul Qadhiyah fil Farqi bainar Risywah wal Hadiyah hal.217.

[2] Lihat Huququl Abna’ ‘alal Aba’ hal. 346.

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar