Santri Cendekia
Home » “Agama Cinta” Ibnu Arabi

“Agama Cinta” Ibnu Arabi

Pluralitas agama di dunia ini kerap diasalahkan atas terjadinya banyak konflik antara umat beragama. Di beberapa belahan bumi, terjadi konflik mematikan yang dipicu oleh perbedaan agama. Gelombang migrasi besar-besaran orang-orang dari Timur yang memiliki latar belakang agama berbeda-beda menimbulkan paranoid Barat akan terganggunya ketenangan mereka. Padahal mereka sebenarnya justru baru-baru saja bisa hidup berkoeksistensi dengan orang lain. Dari kegelisahan akan konflik yang sudah ada, juga ketakutan akan terjadinya konflik baru, munculah usaha untuk menggagas pluralisme agama; faham yang diharapkan mampu meredam pertikaian dengan menggugurkan klaim kebenaran absolut pada setiap.

Tujuan dari pluralisme agama tampak sangat mulia, yakni mewujudkan perdamaian antara umat beragama. Namun bila diteliti lebih dalam, pluralisme justru mengandung bahaya terhadap agama-agama, termasuk Islam (Toha, 2005 : 6) Paham pluralisme agama ini telah merasuki dunia Islam, salah satunya melalui nama-nama sufi besar seperti Ibnu ‘Arabi. Tulisan ini adalah ikhtiyar mendialogkan ide-ide para peneliti tentang kedudukan Ibnu ‘Arabi dalam diskursus pluralisme agama.

Seyyed Hosein Nasr merupakan salah satu tokoh Islam yang menerima faham pluralisme agama dan memperkenalkannya secara antusias ke dalam dunia Islam. Dalam tipologi tren pluralisme agama, Nasr termasuk tokoh pengusung religio perennis yang meyakini adanya kesatuan transenden dari agama-agama (Toha, 2005 : 67). Nasr percaya bahwa gagasan ini bisa diterima di dunia Islam melalui jalan sufisme. Demi menunjukan bahwa sufisme mengakui adanya kesatuan transenden agama-agama, Nasr dan beberapa pemikir lainnya seperti Chittik mencari bukti-bukti dari karya para sufi besar (Armas, 2013 : 56).

Salah satu tokoh yang mereka jadikan contoh sufi transendentis pluralis adalah Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi kontroversial dari Andalusia yang memiliki pengaruh yang luas di dunia Islam.  Nasr percaya bahwa Ibnu ‘Arabi di dalam karya-karya utamanya seperti Futuhat al-Makkiyah, Fushus al-Hikam atau Turjuman al-Asywaq terdapat pemikiran-pemikiran yang mendukung kesatuan transenden agama-agama yang dianutnya. Salah satu puisi karya Ibnu ‘Arabi yang sering dikaitkan dengan faham pluralisme agama terdapat di dalam Turjuman al-Asywaq ;

“Hatiku telah mampu menerima segala bentuk dan rupa. Ia bagaikan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka’bah tempat orang tawaf batu tulis untuk Taurat, ka’bah tempat orang bertawaf dan mushaf bagi al-Qur’an. Jalanku adalah jalan cinta yang senantiasa kuturuti kemana pun langkahnya. Itulah agamaku dan keyakinanku”

Nasr dan para pluralis merayakan puisi ini sebagai ungkapan jernih seorang sufi yang telah mencapai ma’rifat. Nasr dengan yakin menyatakan bahwa Ibnu ‘Arabi telah sadar betapa jalan-jalan yang diturunkan Tuhan mengantarkan kepada puncak yang sama. Ia menyebut faham yang diklaimnya dianut Ibnu Arabi ini sebagai sebuah “agama cinta” seperti Schoun yang memiliki la religion du Coeur.

William Chittik, tokoh pluralis lainnya menulis sebuah buku yang sangat mempengaruhi pandangan banyak orang terhadap Ibnu ‘Arbi berjudul The Imaginal World of Ibnu Arabi; Ibn ‘Arabi and The Problem of Religous Diversity. Chittik menemukan basis “agama cinta” ini di alam ajaran Ibnu Arabi. Dari analisisnya, Chittik berkesimpulan bahwa Ibnu Arabi menganggap semua bentuk kepercayaan adalah benar secara ontologis sebab semuanya berasal dari satu al-Haq sebagai petunjuk bagi manusia.

Media Zainul Bahri, seorang pengusung faham pluralisme Indonesia menunjuk konsep tajalli Ibnu Arabi sebagai pendukung kebenaran ontologis tiap agama tersebut. Konsep tajalli (manifestasi-diri) menyatakan bahwa ketika Tuhan ber-tajalli maka ia akan diterima berbeda-beda berdasarkan kesiapan manusia yang menerimanya. Ini dianggap legitimasi eksistensi pluralisme agama, sebab bisa disimpulkan bahwa semua agama ternyata berasal dari Tuhan dan jalan sah menuju pada-Nya. (Bahri, 2012 : 470). Perbedaan yang kita temui hanyalah perberdaan luaran yang terjadi sebab kondisi setiap orang memang berbeda ketika menerima tajalli Allah.

Baca juga:  Pluralisme Agama: antara Frithjof Schuon dan Ibnu Arabi

Lebih lanjut, Media Zainul Bahri, mereduksi makna agama di dalam al-Qur’an menjadi sekedar shira’, sabil, subul, sirat, tariqah dan mansak yang kesemuanya bermakna “jalan” seraya berkomentar “jalan-jalan itu mungkin memiliki perberdaan tapi perbedaannya tidak absolut, sebab esensinya berasal dari satu sumber” (Bahri, 2012 : 470). Bila menyadari ini, maka ummat Islam harusnya memiliki hati terbuka seperti Ibnu ‘Arabi; hati yang dapat menampung kuil, berhala, dan ka’bah seraya membawanya meniti jalan “agama cinta”.

Lalu dimana posisi syariat yang dibawa Nabi Muhammad di tengah-tengah “agama cinta” Ibnu Arabi ini? Bukankah Ibnu ‘Arabi sendiri mengakui beliau adalah penutup segala rasul pembawa syariat yang telah me-nasakh syariat sebelumnya? Chittik menunjukan bahwa maksud naskh tidaklah menghilangkan apalagi membatalkan. Naskh syari’at Muhammad terhadap syariat sebelumnya tidak berarti eliminasi terhadap kevalidan syariat sebelumnya sebagai jalan menuju Allah. Demi menguatkan pendapat ini, Media (2012 : 472), begitu pula Chittik (Arif, 2008 : 264), mengutip ucapan Ibnu Arabi di dalam Futuhat ;

“Semua hukum agama adalah cahaya, dan di antara cahaya-cahaya ini, hukum Muhammad seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang- bintang; jika matahari tampak, cahaya-cahaya bintang tersembunyi dan cahaya-cahaya  mereka  terserap ke dalam cahaya matahari: tersembunyinya cahaya-cahaya mereka menyerupai hukum-hukum agama, yang telah terhapus (nusikha) oleh hukumnya (Muhammad), sekalipun mereka sebenarnya ada, sebagaimana adanya cahaya-cahaya bintang. Inilah sebabnya mengapa kita diharuskan oleh hukum universal kita untuk mengimani semua Rasul dan mempercayai bahwa semua hukum mereka adalah benar, dan tidak menjadi salah disebabkan terhapus, itu adalah imajinasi orang yang tidak tahu…”

Kutipan di atas menunjkan bahwa Ibnu ‘Arabi tidak menekankan sama sekali finalitas dan superioritas syari’ah Muhammad sebagai penutup din Islam. Syariat nabi-nabi sebelumnya dianggap masih valid sebagai jalan menuju Allah. Sebagai syar’at terakhir, risalah Nabi Muhammad memang unggul secara historis. Ia lebih lengkap dan mencakup syari’ah-syari’ah sebelumnya. Ia bagaikan matahari yang cahayanya menutupi terang bintang-bintang, tapi bukan berarti menghapus eksistensi bitang-bintang itu. Maka di dalam “agama cinta” Ibnu ‘Arabi, umat Islam harus membuang klaim kebenaran mereka, sebab agama yang mereka anut hanyalah salah satu dari banyak jalan sah menuju Allah. Dengan demikian, diharapkan hati mereka akan terbuka untuk berdialog dengan umat lain demi menjaga keharmonisan hidup bersama. Sungguh indah!

Namun apakah memang demikian “agama cinta” yang konon diajarkan Ibnu ‘Arabi? Peneliti-peneliti lainnya menolak anggapan kaum pluralis di atas. Mereka menunjukan bahwa klaim-klaim para pengusung religio perennis hanya sebuah upaya projecting back ; menyandarkan pendapat pada otorias masa lalu demi menguatkan argumen sendiri. “Agama cinta” Ibnu ‘Arabi bukanlah faham pluralisme agama. Klaim tersebut dijawab dengan lugas oleh Syamsudin Arif dengan menunjukan penjelasan Ibnu Arabi tentang “agama cinta”.

Baca juga:  Tiga Problem Agama di Masa Pandemi

Sesungguhnya Ibnu Arabi telah menulis sebuah buku berjudul Dzaha’ir al-Alaq Syarh Turjuman al-Asywaq untuk menjelaskan maksud puisi-puisinya di dalam Turjuman al-Asywaq. Berbeda dengan klaim Nasr, Ibnu Arabi menegaskan bahwa “agama cinta” tersebut adalah agama Nabi Muhammad. Ia bahkan mengambil ungakapan agama cinta dari al-Qur’an surah Ali Imran ayat 31, “Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian betul-betul mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Arif, 2008 : 263) Dengan demikian, klaim Nasr tentang “agama cinta” Ibnu Arabi sebagai sebuah faham pluralisme telah dibantah oleh Ibnu Arabi sendiri.

Tidak berbeda dengan Nasr, Chittik dan Media membawa konsep tajalli terlalu jauh hingga menjadi pembenaran ontologis tiap bentuk kepercayaan. Bahkan menjadi bukti kesatuan transenden agama-agama. Konsep tajalli ini harus dilihat di dalam konteks  al-Amr at-Takwini  (perintah penciptaan) dimana segala sesuatu yang ada di alam ini adalah berasal dari penciptaan-Nya (perintah kun!). Semua agama bisa dikatakan benar dan lurus karena semuanya memang ada sebagai hasil ciptaan Allah. Begitu pula nama setiap sembahan menurut Ibnu Arabi berasal dari Allah. Sebab nama Allah adalah al-ism al-jami’ yang mengaktualisasikan keseluruhan dari perbendaharaan nama-nama. Segala sesuatu yang berada di dalam lokus keyakinan manusia tidak lain adalah manifestasi nama-nama Tuhan. (Mukhlis, 2005 : 459).

Jika dilihat sebatas konsep amr takwini saja, maka akan tampak kesan bahwa Ibnu ‘Arabi mengakui legalitas setiap agama. Namun sesungguhnya  beliau telah memberikan batasan yang jelas bagi agama yang benar. Pembatas tersebut adalah konsepnya tentang al-Amr al-Taklifi atau perintah pembebanan. Al-amr at-taklifi menyaratkan kevalidan agama pada tiga hal. Tiga hal ini disebut al-awamil al-asasiyah, dan tentu saja harus bebas dari distorsi. Pertama al-awamil al-ilahiyah yakni aspek ketuhanan, adalah aspek yang paling penting dalam konstuk keagamaan Ibn ‘Arabi. Meski nanti dikatakan bahwa para hamba memang akan menyebut tuhan dengan bermacam nama dan menyembah dengan bermacam cara sebab kemutlakan Allah  memang majhul  tansenden tak tercapai.

Kedua, al-‘Amil an-nabawi yakni aspek kenabian. Di sini Allah membatasi pencarian manusia dengan bimibngan langsung dari Allah melalui para nabi. Setiap agama yang dibawa oleh nabi dan rasul adalah Islam hanya saja syariatnya berbeda dan terjadi nasakh sepeti akan dijelaskan nanti. Dengan demikian Islam adalah agama yang benar dari Allah. Jika manusia mencoba mencari jalan-jalan lain sesungguhnya telah mencipta tuhan mereka. Untuk menunjukan hal itu, Mukhlis (2005: 469) menyetir pertanyataan Ibnu ‘Arabi dalam Futuhat

“Ketika manusia melihat Tuhan berdasarkan pandangannya, maka dia akan menciptakan keyakinan untuk dirinya berdasarkan kepercayaannya.Dia tidak akan pernah menyembah kecuali Tuhan yang dia ciptakan sendiri sesuai dengan pandangannya. Maka Dia pun berkata kepadanya [manusia] “kun”, maka terjadilah. Maka dari itu, Dia menyuruh kita untuk menyembah Tuhan yang telah dibawa oleh Rasul dan tertulis dalam Kitab. Apabila engkau menyembah-Nya, niscaya engkau menyembah apa yang tidak engkau ciptakan, melainkan engkau telah menyembah Penciptamu dan kemudian memberika nengkau bentuk peribadatan sesungguhnya yang diikuti.”

Dengan dasar ini, Ibnu Arabi meyakinkan kekafiran orang-orang musyrik dan ahli kitab. Orang-orang musyrik telah kafir sebab menyembah Tuhan yang mereka ciptakan sendiri. Sedangkan Kristen memiliki doktrin inkarnasi yang mengasumsikan bahwa Tuhan itu adalah Kristus Putra Maria, karena itu berarti Tuhan adalah Kristus. Aspek ketiga adalah al-awamil asy-syari’ah, dimana agama yang valid harus mengikuti garis syariat yang diturunkan Allah melalui para rasul. Di sini pulalah Ibnu Arabi mengakui finalitas dan keunggulan syari’ah Nabi Muhammad yang telah menasakh sayriat sebelumnya.

Baca juga:  Dakwah Sebagai Proyek Pembebasan (Catatan Kuliah Ustad Bachtiar Nasir)

Adapun ungkapan Chittik dan Media Zainul Bahri bahwa syariat Muhammad tidak menghilangkan validitas syariat nabi-nabi sebelumnya sebagai jalan menuju Allah dengan perumpamaan matahari seperti disebutkan tadi, hanyalah sebuah klaim semata. Chittik bahkan telah menunjukan sikap yang kurang fair sebab memotong ucapan Ibnu ‘Arabi. Apabila lanjutan dari kalimat Ibnu ‘Arabi yang mereka jadikan dasar kalim tersebut dibaca maka justri sikap beliau yang sebenarnya akan terlihat bertolak belakang. Lanjutan kalimat tersebut adalah;

“Jadi, semua jalan kembali untuk melihat jalan Rasulullah; jika para rasul hidup pada zaman Muhammad, mereka akan mengikutinya, sebagaimana hukum-hukum mereka telah mengikuti hukumnya.” (Ibnu ‘Arabi, vol II, tt : 153 dalam Mukhlis, 2005 : 469)

Bila kutipan dari Futuhat tersebut dibaca sempurna, jelaslah bahwa Ibnu ‘Arabi sesungguhnya menegaskan finalitas syari’ah Nabi Muhammad dan mutlaknya naskh syari’ah tersebut  pada syari’ah nabi-nabi sebelumnya. Dengan diutusnya Nabi Muhammad, maka cara beribadah kepada Allah yang valid hanya melalui ajarannya. Maka klaim orang-orang seperti Media dan Chittik bahwa Ibnu Arabi menganggap syari’ah Muhammad hanya lebih unggul tapi tidak menafikan syari’ah sebelumnya tentu saja keliru dan telah dibantah oleh ucapan Ibnu Arabi sendiri.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa “agama cinta” yang dimaksud oleh Ibnu ‘Arabi tidak lain adalah agama Islam yang syari’ahnya dibawa oleh Nabi Muammad. Bukan sebuah sikap teologis yang membenarkan semua agama dengan alasan semuanya memiliki kesatuan transendental. Memang ada beberapa tokoh otoritatif yang menganggap Ibnu ‘Arabi mengkui adanya kesatuan transendental agama-agama. Namun peneliti yang menolak pendapat tersebut juga merupakan orang-orang yang otoritatif dalam sufisme dan perbandingan agama. Sebutlah Legenhausen, Syed Naquib al-Attas, Anis Malik Toha, Su’ad al-Hakim, Syamsudin Arif dan Sani Badron.

Bila ingin lebih jujur, praktik comot terhadap teks-teks ‘Ibnu Arabi yang dilakukan oleh Chittik, atau penafsiran dilaur maksud penulisnya sendiri seperti Nasr adalah bentuk kecerobohan. Semua itu mereka lakukan demi mendukung faham pluralisme agama yang dianggap adalah solusi bagi berbagai konflik di dunia. Semestinya mereka menyadari bahwa “agama cinta” Ibnu ‘Arabi adalah Islam, din yang selalu terbuka untuk berdialog lintas iman untuk mewujdkan maslahat. Dialog dalam perbedaan tanpa harus mengorbankan akidah.

Bacaan.

Media Zainun Bahri, Ibn ‘Arabi And The Transcendental  Unity Of  Religions” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies  50. 2 ( 2012 M) : 462 – 483

Mukhlis, M. “Legalitas Agama Menurut Ibnu ‘Arabi.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 43.2 (2005): 455-474

Toha, Anis Malik. 2005, Tren Pluralisme Agama, Jakarta : Perspektif

Armas, Adnin ed. 2013, Pluralisme Agama ; Telaah Kritis Cendikiawan Muslim, Jakarta : INSISTS

Arif, Syamsudin. 2008, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta : Gema Insani Press

Legenhausen, L. 2010,  Pluralitas dan Pluralisme Agama, Jakarta : Shadra Press

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar