Santri Cendekia
Home » Agama dan Kepedulian Sosial

Agama dan Kepedulian Sosial

Surat Al Ma’un adalah surat yang sangat baik untuk membentuk mindset kita tentang benang merah antara keimanan dan keberagamaan kita dengan kepedulian sosial.

Allah ‘Azza wa Jalla memberikan pertanyaan yang hendak mengambil perhatian kita,

“Tahukah kamu (Muhammad) orang orang yang mendustakan agama?”

  1. Maka itulah orang orang yang menghardik anak yatim
  2. Tidak menganjurkan memberi makan pada fakir miskin
  3. Celakalah orang orang yang salat, yang terhadap salatnya ia lalai (lalai terhadap rukun-rukunnya, terhadap pelaksanaannya)
  4. Yang berbuat riya’
  5. Yang enggan memberikan bantuan (al ma’ûn)

Tiga dari lima kriteria jenis manusia yang divonis Allah sebagai orang yang mendustakan agama ternyata berhubungan tentang hal hal yang bersifat muamalah/ hablun min Al-nas/ horizontal.

Kali ini tadabbur akan mengkhususkan untuk membahas kriteria yang ke-2 dan ke-5.

Secara mafhum muwâfaqah, fahwal khitab dari ayat “tidak menganjurkan memberi makan pada fakir miskin” adalah, jika tidak menganjurkan, tidak mengkampanyekan, tidak mengajak manusia untuk memberi makan fakir miskin saja terancam divonis sebagai orang yang mendustakan agama, apalagi jika tak mau berderma kepada fakir miskin? Atau malah memanfaatkan kemiskinan seseorang untuk mengeksploitasinya? Misalnya untuk menambah rating acara sebuah reality show yang marak di kancah dunia pertelevisian kita.

Atau orang orang miskin justru kita tindas, kita rampas kenyamanan dan hajat hidupnya demi berlangsungnya aktivitas aktivitas kapitalis hitam seperti rusaknya ekosistem disekitar tempat mereka tinggal, polusi udara yang merusak pernafasan mereka, atau terhalangnya mereka dari air bersih untuk sekedar memenuhi kebutuhan minum mereka.

Iman seseorang seolah dusta (tentu tak berarti auto-kafir) jika kencang dan mantap ibadah-ibadah mahdhohnya (ibadah ritualistik seperti salat, puasa, membaca Al Qur’an), tapi lalai dan tak peduli terhadap orang orang miskin dan mustadh’afin di sekitarnya. Apalagi termasuk orang orang yang mengakumulasi keuntungan individu atas kemiskinan manusia lain, itu ciloko dua belas.

Baca juga:  Meninjau Ulang Gagasan Waris Satu Banding Satu (Bagian 2)

Keabaian orang orang islam yang ‘lurus’ terhadap kebutuhan dasar atau advokasi terhadap orang orang miskin dan papa, juga membuat segelintir orang apatis untuk menjadi religius, mungkin mereka berpikir, “untuk apa menjadi religius jika hanya sekedar menjadi eskapisme (pelarian) spiritual dari hiruk pikuk dunia dan melupakan kemanusiaan?”.

Maka bisa jadi lebih wajib memberi makan tetanggamu yang miskin dan berpotensi mati kelaparan dibanding menggunakan uangmu untuk naik haji (jika memang uangmu lah satu satu wasilah/ sarana harapan ia bertahan hidup). Lebih utama pula menyedekahkan uangmu untuk mereka mereka yang tak tentu makan setiap hari dibanding meletakan uangmu di kotak infaq masjid yang sudah megah, berdiri megah namun acuh terhadap orang orang kelaparan di sekitarnya.

Maka iman kita, jika memang ia iman yang benar, maka tidak boleh tidak harus menjadi gayung bersambut dengan kepedulian kita terhadap kebutuhan orang orang fakir dan miskin.

Dan mungkin hikmah mengapa Allah cantumkan redaksi ayat ini dengan “tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin”, bahwa karena Allah Maha Tahu, tidak semua dari kita yang peduli, memiliki sumber daya yang cukup untuk menuntaskan dahaga kepedulian kita, niat hati kita untuk memberi makan 100 fakir miskin, namun apa hendak di kata isi kantong hanya mampu memberi makan seorang fakir miskin, itupun tidak bisa setiap hari. Karena jika Allah cantumkan redaksi, “tidak memberi makan kepada fakir miskin”, begitu berat rasa di jiwa kebanyakan kita, karena sampai detik ini, tak mampu berbuat banyak terhadap kesulitan orang-orang miskin.

Namun Allah Yang Maha Tahu, hanya hendak melihat kepedulian kita, bagaimana upaya kita untuk memenuhi tugas keagamaan sekaligus kemanusiaan itu. Bisa dengan bersama sama saling mengingatkan dan mengumpulkan sumber daya untuk mengalokasikan kepada fakir miskin disekitar kita, atau bisa juga kita hanya sekedar menjadi perantara untuk menyalurkan harta si kaya kepada si miskin, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Arah Baru Studi Astronomi Islam

Selanjutnya, tentang ayat terakhir surat ini, salah satu ciri orang yang mendustakan agama adalah menolak yang sekedar memberikan bantuan berupa Al Ma’un.

Apa itu Al Ma’ûn? Menurut Ibnu Mas’ud di dalam Tafsir Ibnu Katsir, Al Ma’ûn adalah perkakas perkakas rumah tangga seperti panci, kapak, dan barang barang bermanfaat lainnya.

Walaupun menurut Imam Ath thabari, ada juga Ulama yang mengartikan ini dengan zakat.

Namun perbedaan pendapat ini bisa dikompromikan. Jika meminjamkan barang barang bermanfaat aja seseorang enggan, apatah lagi berbagai kebaikan yang lebih besar.

Karena biasa kita temui, mereka yang bakhil, bisa dilihat dari sikap sikap mereka terhadap hal hal yang kecil. Meminjamkan perkakas saja tak mau, apalagi memberi sebagian hartanya.

Dan kita tahu, pinjam meminjam barang atau perkakas bermanfaat, umumnya dilakukan mereka yang saling tinggal berdekatan. walaupun tidak memungkiri juga terjadi terhadap mereka yang saling berjauhan. Orang-orang terdekat kita, bisa keluarga dan kerabat kita, bisa pula tetangga kita. Jangan lupa hadist Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, Man kaan yu’minu billahi wal yaumil akhir, fal yukrim jarohu” (HR Bukhari).

Demikian tadabbur kali ini, semoga bermanfaat. Semoga peningkatan ruhiyah kita di bulan suci ini sebanding dengan peningkatan kepedulian sosial kita. Baik terhadap orang miskin yang membutuhkan uluran tangan untuk menyambung nafas mereka, atau sekedar tetangga kita yang membutuhkan bantuan barang barang bermanfaat dari kita.

Allahu a’lam

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar