Santri Cendekia
Home » AI Jadi Kiyai? Yang Sering Dilewatkan dari Perbincangan ‘Islam dan Artificial Intelligence’

AI Jadi Kiyai? Yang Sering Dilewatkan dari Perbincangan ‘Islam dan Artificial Intelligence’

Oleh: Juris Arrozy (Peneliti PIMPIN Bandung)

Beberapa saat lalu, jagad sosmed diramaikan oleh pembicaraan tentang betapa disrupsinya AI dalam kehidupan kita. Banyak yang tergoda untuk “membawa-bawa” agama dalam diskusi ini. Mereka bertanya, jika AI nanti sudah sedemikian maju, bagaimana dampaknya kepada agama? Bagaimana efeknya kepada lanskap otoritas keagamaan?  Dalam semangat kami untuk selalu telat dalam membicarakan topik trend, untuk mengambil waktu mencari perspektif yang bagi kami bisa diterima, berilmu dan beradab, maka Santri Cendekia baru ikutan nimbrung di obrolan ini. Alhamdulillah, Kamerad Juris Arrozy dari PIMPIN Bandung setuju untuk menitipkan tulisannya ini. Mari kita diskusikan topik ini dengan sedikit lebih serius. Tidak sekedar heboh-hebohan terus berpindah ke kedangkalan berbalut jargon-jargon absurd berikutnya.

Rabu, 30 November 2022. Lembaga riset OpenAI baru saja mengeluarkan produk chatbot terbarunya yaitu ChatGPT. Seketika publik dihebohkan dengan performanya yang terbilang cerdas menjawab berbagai persoalan selayaknya manusia. Tidak tanggung-tanggung, Elon Musk sebagai pemilik baru Twitter turut memberikan cuitannya bahwa ChatGPT perlu diwaspadai sebagai langkah menuju strong AI (AI dengan kecerdasan setara manusia).

Soal isu populer, tentu Indonesia tidak ketinggalan berkomentar sebagai negara peringkat kelima dengan pengguna Twitter terbanyak. Namun khusus Indonesia, ada topik tersendiri yang menyeruak. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia, wajar jika wacana ‘Islam dan Artificial Intelligence’ menjadi perbincangan. Adalah Ismail Fahmi (founder Drone Emprit), Ainun Najib (co-founder @KAWALCOVID19), dan Ulil Abshar Abdalla (tokoh NU, pimred situs islamlib, dan punggawa Jaringan Islam Liberal) yang saya amati cukup aktif menyuarakan isu AI dan ChatGPT dalam lingkup umat Islam di Indonesia.

Misalnya, Ismail Fahmi dalam sebuah liputan media mengatakan bahwa AI harus diberi ‘bahan bacaan’ oleh Muhammadiyah agar pintar menjawab masalah agama. Dalam kesempatan lain, ia juga menanyakan persoalan-persoalan agama ke ChatGPT seperti halnya hukum bergosip di Twitter. Sembari berseloroh, twitnya diakhiri kalimat “Welcoming the era of AI”.

Cuitan tersebut mendapat respon dari Ulil, yang mengatakan bahwa lembaga fatwa nantinya bisa digantikan oleh AI yang jawabannya lebih komprehensif dan biayanya murah.

Ainun Najib juga tidak mau ketinggalan dengan tren. Kali ini, giliran pertanyaan ru’yah dan hisab yang menjadi bahan untuk ditanyakan ke ChatGPT.

Barangkali kita bisa mengabaikan cuitan-cuitan di atas sebagai hype dan euforia semata, meskipun bisa saja dampaknya publik terkena (mis)persepsi bahwa kyAI ini di masa mendatang akan mampu menyamai kemampuan para mubaligh. Namun, persoalan tentang implikasi hukum fiqh bertanya tentang persoalan agama kepada AI mendapat respon yang agak serius dari Ismail Fahmi.

Tangkapan saya, seakan-akan menurut Ismail Fahmi menanyakan masalah agama (fatwa) ke AI tidak ada bedanya dengan bertanya jalan ke Google Maps. Dulu kita bertanya jalan ke orang sekitar, sekarang sudah bisa tanya AI-nya Google Maps. Permasalahan agama barangkali dianggap hanya merupakan versi advanced dari permasalahan tanya jalan.

Tentu bisa saja anggapan tersebut hanyalah interpretasi saya yang bias. Oleh karena itu, saya juga menyertakan cuitan di bawah ini untuk memperkuat kesimpulan bahwa nampaknya Ismail Fahmi benar-benar percaya bahwa AI bisa menyetarai (kalau tidak melebihi dan menggantikan) manusia dalam berbagai hal, termasuk menjawab masalah agama dan memberi fatwa. Dalam responnya terhadap tulisan berjudul Guru Era Baru: Chat Open AI, Ismail Fahmi mengatakan meskipun AI mungkin tidak akan menggantikan guru secara keseluruhan, tapi mungkin 50% lebih akan tergantikan.

Namun bukan berarti tidak ada kekhawatiran sama sekali terhadap ChatGPT ini. Dalam cuitannya yang lain, Ismail Fahmi menyatakan kekhawatirannya terkait etika penggunaan AI.

Robot Fatwa dan Etika AI dalam Islam: Sebuah ‘Lompatan’ Pemikiran?

Terlepas dari celotehan tokoh-tokoh seperti Ismail Fahmi, Ainun Najib, dan Ulil Abshar Abdalla, kita melihat seakan ada kecenderungan umat Islam percaya begitu saja bahwa AI mempunyai potensi untuk mereplikasi kecerdasan manusia, termasuk dalam masalah agama. Sebuah presentasi di Cambridge Muslim College menyelediki kemungkinan membuat AI untuk memberikan fatwa (spoiler alert: belum bisa. Ya, belum, bukan tidak). Berbagai paper akademik di bidang studi keislaman fokus membahas bagaimana etika Islam memandang AI.[1] Persoalan langsung loncat ke ranah etika penggunaan, seakan-akan kita sudah selesai mengkaji hakikat kecerdasan buatan dan bedanya dengan kecerdasan manusia. Seakan-akan kecerdasan manusia bisa sepenuhnya direplikasi oleh mesin, sehingga persoalan “robot fatwa” memenuhi online sphere umat Islam. Seperti diktum terkenal dalam proposal Dartmouth tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal bidang AI: “The study is to proceed on the basis of the conjecture that every aspect of learning or any other feature of intelligence can in principle be so precisely described that a machine can be made to simulate it.”[2] Entah kenapa, asumsi implisit ini kita amini tanpa kritik, baik sadar atau tidak.

Sebagaimana kaidah fiqh berbunyi, “al-ḥukmu ‘ala syai’ far‘un an taṣawwurih” (hukum dari sesuatu adalah cabang dari hakikat sesuatu itu). Artinya, jika kita tidak memahami taṣawwur (konsep, hakikat) dari sesuatu, kita tidak bisa menghukumi permasalahan tersebut dengan sempurna. Yang sekarang terjadi, saya mengamati banyak umat Islam ‘loncat’ ke masalah fiqh dan etika penggunaan AI, padahal pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang AI seperti “apa hakikat kecerdasan?”, “apakah kecerdasan manusia dan mesin sama?”, “apa peran jiwa dalam kecerdasan manusia? Dan apakah mesin bisa mereplikasinya?”, dsb. belum dijawab. Dengan gebyah uyah kita berspekulasi bagaimana jika AI lebih pintar dari manusia, apa hukumnya AI memberi fatwa, bagaimana pemanfaatan AI untuk dakwah, dsb. Tentu bukan berarti pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak penting. Namun persoalan praktis hanya bisa dijawab dengan baik jika kita telah selesai dengan masalah filosofis.

Computational Theory of Mind Sebagai Landasan AI

Tulisan singkat ini tidak mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tersebut dalam sekali nafas. Namun dalam kesempatan ini, saya ingin menjelaskan sedikit saja bagaimana haikikat kecerdasan mesin (AI) sangat berbeda dengan kecerdasan manusia dalam pandangan Islam. Harapannya, tulisan ini bisa menjadi pijakan awal untuk memandang persoalan ‘Islam dan AI’ ini secara lebih arif.

Pandangan bahwa AI bisa menyamai kecerdasan manusia lahir dari suatu mazhab pemikiran bernama computational theory of mind (CTM).[3] Secara sederhana, CTM adalah anggapan bahwa akal budi (mind) dan kecerdasan (intelligence) hanyalah sebuah sistem komputasi. Terkait AI, CTM kemudian berkembang menjadi dua cabang, yaitu strong symbol system hypothesis (SSSH) yang mengandalkan kaidah logika untuk mencapai kesimpulan dan connectionism yang mengandalkan interaksi dan interkoneksi neuron unit buatan yang mencoba mereplikasi cara kerja neuron di otak. SSSH nantinya menjadi dasar symbolic AI yang cukup populer di awal sejarah AI, sementara connectionism menjadi dasar artificial neural network (ANN) yang populer dewasa ini – terutama lewat algoritma deep learning.

Mari kita bahas satu per satu. Pertama, SSSH. SSSH beranggapan bahwa hanya sistem komputasilah yang bisa bisa melakukan aktivitas berpikir.[4] Apa makna “sistem komputasi” dan “berpikir” di sini? Bagi SSSH, kegiatan berpikir bisa sepenuhnya diformalisasi dengan symbolic logic dan sistem komputasi berguna untuk melakukan penyimpulan dari premis-premis yang sudah diformalisasi dalam bentuk simbol dengan cara manipulasi simbol. Perhatikan contoh sederhana berikut:

Baca juga:  Aku Tidak Mendoakan Mesir, Syiria, Palestina

Jika hari ini hujan, maka jalanan basah

Hari ini hujan

Kesimpulannya, jalanan basah

Dalam logika formal, premis dan kesimpulannya bisa ditulis dalam format modus ponens:

A à B (jika A, maka B)

A

⸫ B (kesimpulan: B)

Penyimpulan juga dapat dilakukan dalam bentuk negasi:

Jika hari ini hujan, maka jalanan basah

Hari ini jalanan tidak basah

Kesimpulannya, hari ini tidak hujan

Setelah diformalisasi, bentuknya menjadi modus tollens sebagai berikut:

A à B (jika A, maka B)

~B (negasi B / tidak B)

⸫~A (kesimpulan: negasi A / tidak A)

Sebagai catatan, tentunya symbolic AI yang diprogram para ilmuwan komputer jauh lebih kompleks dari contoh di atas.[5] Namun kedua contoh tersebut sudah bisa menggambarkan bahwa kita bisa merepresentasikan premis apapun dengan simbol (A, B, ~, dll.). Selama kaidah logika diikuti dan premisnya benar, maka kesimpulannya pasti akan benar juga.

Implikasi lainnya, SSSH juga berpendapat bahwa aktivitas berpikir tidak lebih dari pemrosesan informasi yang sepenuhnya independen dari konten dan mediumnya. Artinya, tidak masalah apakah proses ‘berpikir’ terjadi dalam neuron otak atau rangkaian semikonduktor sekalipun. Inilah mengapa dua ilmuwan komputer penggagas AI Herbert Simon dan Allen Newell menulis dalam makalah mereka Information Processing in Computer and Man, “since the thinking human being is also an information processor, it should be possible to study his process and their organization independently of the details of the biological mechanisms – the “hardware” – that implement them.[6] Maka, menurut posisi ini tentu “strong AI”, “Artificial General Intelligence”, “human-level AI”, dan semacamnya adalah mungkin – dan konsekuensinya robot pemberi fatwa bisa saja dibuat J

Namun SSSH memiliki problem. Pertanyaannya, bagaimana kumpulan simbol dan manipulasinya dapat sepenuhnya merepresentasikan pemahaman akan dunia? Ambil kasus kaidah logika yang dicontohkan di atas. Sekarang coba kita ganti premis-premisnya:

Jika hari ini hujan, maka Jepang akan memenangi Piala Dunia 2022 (A à B)

Hari ini hujan (A)

Kesimpulannya, Jepang akan memenangi Piala Dunia 2022 (⸫B ???)

Kesimpulannya valid berdasarkan kaidah logika, tapi tentunya kita akan menghakimi logikanya ngawur. Inilah yang disebut sebagai symbol grounding problem dalam terma filsafat akal budi (philosophy of mind) – bagaimana interpretasi semantik dari sebuah sistem formal simbolik dapat dibuat intrinsik di dalam sistem tersebut.[7] Disinilah diktum dari filsuf AI John Haugeland menggambarkan asumsi utama dari SSSH dan symbolic AI: “if you take care of the syntax, the semantics will take care of itself.”[8] Kesimpulannya, aktivitas berpikir bisa dan cukup sepenuhnya direpresentasikan dalam bentuk formal lewat kaidah logika.

Kedua, connectionism. Berbeda dengan SSSH, connectionism tidak terlalu mengandalkan kaidah logika dan manipulasi simbol. Connectionism mengambil inspirasi dari interaksi dan interkoneksi neuron dalam otak manusia dan mencoba merekaciptanya dalam bentuk artificial neuron unit. Setiap neuron unit menerima masukan (input) berupa angka dari neuron unit di layer sebelumnya, dan setiap masukkan diberi beban (weight). Jika jumlah dari masukan neuron unit sudah melebihi ambang batas (threshold), maka neuron unit tersebut akan mengeluarkan keluaran (output) 1. Jika belum mencapai ambang batas, maka keluarannya 0. Gambar di bawah mengilustrasikan bagaimana neuron unit tersusun dan berinteraksi satu sama lain – yang kemudian disebut sebagai artificial neural network (ANN).

Dengan kata lain, jika dalam symbolic AI ‘pengetahuan’ tersimpan dalam kaidah logika dan simbol, dalam connectionism ‘pengetahuan’ tersimpan dalam weight di antara interaksi dan interkoneksi neuron unit.

Bagaimana kemudian ANN digunakan untuk aplikasi seperti face recognition dan chatbot? Tentu hal tersebut membutuhkan pembahasan tersendiri, tapi sederhananya bisa lihat di gambar berikut. Masukan berupa foto dipecah menjadi ratusan (bahkan ribuan dan jutaan) pixel. Tiap-tiap pixel tersebut kemudian disusun sedemikian rupa sehingga pada setiap hidden layer, representasi hirarkis dari mulai tepian (edge), pinggiran (corner), dan kontras warna bagian wajah tertentu (mata, hidung, dsb.), sehingga bisa direpresentasikan oleh ANN.

(gambar diambil dari sini)

Selain memproses gambar, ANN juga dapat digunakan untuk memproses kata dan kalimat. Sederhananya, tiap kata diubah menjadi angka (semacam diberi kode) yang menempati semantic space tertentu. Dikombinasikan dengan varian arsitektur ANN yaitu recurrent neural network (RNN) dan algoritma semacam Word2vec, ANN bisa mempelajari language datasets yang diberikan. Bahkan, AI juga bisa mengetahui bahwa kata “Belanda” berhubungan dengan “Prancis”, “Spanyol”, “Belgia”, atau “Belanda” tanpa diberitahu konsep negara atau negara Eropa dengan menganalisis kedekatan kata-kata tersebut dalam semantic space. Dengan metode ini, AI bisa menjawab pertanyaan analogi seperti ‘man is to woman as king is to___(queen)’ dengan menghitung hasil pengurangan vector untuk ‘man’ dan ‘woman’ dan menambahkan hasilnya ke vector king’.[9]

(gambar diambil dari sini)

Konsep Jiwa Manusia dalam Pandangan Islam

Setelah memahami landasan filosofis AI (CTM), sekarang saya akan sedikit menjelaskan bagaimana konsep jiwa dalam pandangan Islam untuk kemudian dibenturkan dengan CTM. Untuk bagian ini, saya sepenuhnya menggunakan penjelasan Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang ditulis dalam bab keempat buku Prolegomena to the Metaphysics of Islām.[10]

Baca juga:  Muslim Tak Berhabitat ; Refleksi Tentang Islam dan Budaya Jawa (1)

Dalam pandangan Islam, manusia memiliki hakikat ganda. Ia merupakan jasad (body) dan jiwa (soul) sekaligus. Manusia didefinisikan sebagai ḥayawān nāṭiq (rational animal). Kata ‘nāṭiq’ (‘rational’) merujuk kepada fakultas (quwā) yang berfungsi untuk memformulasi makna melalui proses penilaian (judgment), pemisahan (discrimination), klarifikasi (clarification), dan pembedaan (distinction).[11]

Kemudian, perlu ditekankan bahwa dalam Islam semua ilmu pada hakikatnya datang dari Allah swt.[12] Jiwa manusia adalah penerima dari ilmu. Namun jiwa tidak menerimanya secara pasif, melainkan aktif dalam membuat dirinya siap untuk menerima ilmu.[13] Oleh karena itulah Prof. Al-Attas mendefinisikan ilmu dengan unik, yaitu datangnya makna pada jiwa (dilihat dari perspektif Allah swt. sebagai sumber ilmu) serta tibanya jiwa pada makna (dilihat dari perspektif jiwa yang aktif menggapai ilmu).

Perlu ditekankan di sini, bahwa jiwa yang dimaksud oleh Prof. Al-Attas tidak sama dengan otak dan neuron-neuronnya. Berikut adalah rangkuman dan parafrase dari penjelasan beliau:

The seat of knowledge in man is a spiritual substance which is variously referred to in the Holy Qur’ān sometimes as his heart (al-qalb), or his soul or self (al-nafs), or his spirit (al-rūh), or his intellect (al-‘aql).[14] They all indicate an indivisible, identical entity, a spiritual substance which is the reality or very essence of man.[15] The soul has many names because of its accidental modes or states (aḥwāl): when it is involved in intellection and apprehension it is called ‘intellect’; when it governs the body it is called ‘soul’; when it is engaged in receiving intuitive illumination it is called ‘heart’; and when it reverts to its own world of abstract entities it is called ‘spirit’.[16] They also have relations with the physical nature of man: ‘spirit’ is the generator of biological life; ‘soul’ is the individual person; ‘heart’ is the organ that regulates the circulation of blood throughout the body; and ‘intellect’ is the reasoning power of mind associated with the brain.[17]

Maka, pada hakikatnya letak ilmu adalah dalam jiwa yang merupakan entitas spiritual dan bukan entitas material. Pertanyaan tentu muncul, bukankah para neurosaintis dan psikolog sering mengasosiasikan kecerdasan dengan aktivitas neuron di otak? Untuk memahaminya, kita perlu mencermati bagaimana persepsi dan abstraksi pada manusia dilakukan dalam pandangan Islam.

Dalam pandangan Prof. Al-Attas, manusia mempersepsi sesuatu lewat indra luaran (external senses) dan indra dalaman (internal senses). Indra luaran adalah panca indra (penglihatan, penciuman, pengecap, pendengaran, peraba) yang berfungsi untuk mempersepsi particulars, sementara indra dalaman-lah yang mengabstraksinya menjadi universals.[18]

Barangkali pembahasan mengenai particulars dan universals terkesan asing bagi banyak pembaca. Untuk memahami abstraksi particulars menjadi universals, kita perlu memahami juga terma-terma teknis filsafat seperti form dan meaning. Bayangkan misalnya kursi. Kita tahu ada banyak kursi dari mulai yang berkaki tiga, memiliki sandaran, punya roda, terbuat dari kayu, berwarna hitam, dan atribut-atribut lainnya. Namun pikiran kita mampu mengabstraksi kursi-kursi partikular tersebut menjadi sebuah konsep kursi universal. Inilah yang dimaksud abstraksi dari particulars menuju universals. Form suatu benda adalah representasi suatu objek dalam pikiran setelah ia diabstraksi dari particulars yang ditangkap indra luaran. Namun form suatu benda perlu diabstraksi sekali lagi untuk dapat dipahami maknanya (kegunaan, relasi dengan objek lain, dll). Hasil dari abstraksi inilah yang menjadi meaning sebuah konsep. Jika digambarkan, proses abstraksi oleh indra dalaman bisa disederhanakan sebagai berikut:

Terdapat dua pertanyaan terhadap skema di atas. Pertama, apa hubungan antara indra dalaman dan aktivitas neuron di otak seperti yang diamati para neurosaintis? Kedua, bagaimana akal manusia bisa mengabstraksi particulars menjadi universals? Apakah murni lewat kapasitas bawaan akal itu sendiri atau ada sesuatu di luar akal yang menggerakkannya?

Terhadap pertanyaan pertama, Prof. Al-Attas menjawab:

They [internal senses] are of an imaginal and intellectual nature and have connections with physical intermediaries, and their various functions are localized in the anterior, posterior, and middle regions of the brain.[19]

Namun perlu ditekankan bahwa akal manusia dan indra dalamannya hanya terhubung ke otak dan bukan terletak di otak itu sendiri. Prof. Al-Attas menulis “The intellect is essentially a spiritual substance; it is non-material and separate from matter and only its act is connected with matter.”[20]

Terhadap pertanyaan kedua, jawabannya agak sulit jika dijabarkan secara seksama. Namun sederhananya, meaning yang dibentuk oleh indra dalaman bukanlah intelligible reality[21] – objek eksternal (non-fisik) yang berada dalam dunia ide. Sebagaimana mata sebagai indra luaran hanya memproduksi gambaran dari objek eksternal yang ada di luar pikiran kita, meaning pun adalah refleksi dari intelligible reality yang ada di dunia ide. Dari mana sumber intelligible reality tersebut? Prof. Al-Attas mengidentifikasinya sebagai Active Intelligence (al-‘aql al-fa‘āl), yang diidentifikasi sebagai Holy Spirit (ruh kudus, al-rūḥ al-qudus), yang pada hakikatnya adalah Allah swt.[22] Ini konsisten dengan definisi ilmu menurut Prof. Al-Attas yaitu datangnya makna pada jiwa dan tibanya jiwa pada makna.

Dengan demikian, dalam pandangan Islam baik hakikat, sumber, dan penerima ilmu (i.e. meaning) adalah entitas spiritual dan bukannya material. Entitas fisik seperti neuron otak hanya berfungsi sebagai sarana/medium bagi indra dalaman untuk mengerjakan tugasnya mengabstraksi particulars menuju universals.

Persoalan Filosofis Sebelum Persoalan Pragmatis: Penting DIbahas!

Dari uraian terkait landasan filosofis AI dan konsep jiwa manusia dalam Islam di atas, sudah tercium aroma pertentangan konsep antar keduanya. CTM lewat SSSH dan connectionism mengafirmasi bahwa ilmu hakikatnya bisa dan cukup direpresentasikan dalam bentuk symbolic (atau sub-symbolic dalam connectionism). Tidak ada sama sekali ruang bagi entitas spiritual dan non-fisik dalam konsepsi mereka. Hal ini berbeda jauh dengan Islam yang mengafirmasi peran jiwa (nafs) sebagai entitas spiritual yang tidak hanya menerima namun juga aktif mengelola meaning yang hakikatnya juga bersifat spiritual.

Sebelum berbicara tentang robot pemberi fatwa berbasis AI – apalagi sampai ingin “mengajari” AI perkara-perkara keagamaan – seharusnya pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti “apa hakikat kecerdasan?”, “apa hakikat ilmu?”, “Dari mana sumber ilmu?”, “apakah berpikir murni aktivitas fisik atau ada juga merupakan aktivitas spiritual?”, dsb. terlebih dahulu selesai dijawab oleh para ulama dan peneliti AI Muslim yang memang peduli. Gebyah-uyah terbawa euforia menyambut AI dan memikirkan peluang inovasi untuk umat tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan konseptual layaknya membangun istana pasir. Mungkin tampak megah di permukaan, namun pondasinya rapuh dan siap dihajar ombak setiap saat.

Baca juga:  Meninjau Ulang Gagasan Waris Satu Banding Satu (Bagian 2)

Nampaknya, perlu disadari juga oleh para peneliti AI Muslim dan cendekiawan Muslim bahwa teknologi tidaklah netral. Ia membawa presuposisi yang berasal dari worldview para pembuatnya. Seperti kata fisikawan pemenang Nobel Werner Heisenberg dalam bukunya Physics and Philosophy, “one has to remember that every tool carries with it the spirit by which it has been created….In other parts of the world these ideas would be confronted with the religious and philosophical foundations of the native culture.”[23]

Permasalahan implikasi filosofis ini agaknya jarang disadari oleh para praktisi AI dan bahkan cendekiawan Muslim sekalipun. Teknologi dianggap sepi dari implikasi filosofis dan sepenuhnya baik selama tidak digunakan untuk keburukan. Saya pun mengakui, AI –sebagaimana teknologi lainnya – menyimpan potensi yang bisa digunakan untuk kepentingan umat. Namun ada baiknya sesekali kita mengambil jarak kritis, agar tidak terjebak euforia dan catching-up syndrome sehingga terkena kaidah sejarah Ibnu Khaldun “bangsa kalah selalu ingin mengikuti bangsa yang menang”.

Di bagian akhir tulisan ini, saya ingin membuat pengakuan bahwa saya sebenarnya tidak nyaman membuat tulisan ini. Saya bukan pakar dan praktisi AI, bukan juga ulama. Namun saya merasa gelisah karena belum mendapat jawaban yang memuaskan baik dari cendekiawan Muslim maupun para peneliti AI Muslim. Hal ini juga yang menjadi alasan saya memberanikan diri membuat penelitian sederhana (yang kemudian diadaptasi menjadi tulisan ini), meskipun dengan berbagai keterbatasan. Besar harapan, kedepannya akan ada tokoh Muslim yang sangat memahami Islam sekaligus landasan filosofis serta praktik AI sehingga bisa menimbang persoalan secara lebih adil. Biarlah tulisan ini ibarat tiang penyangga sementara sebelum bangunan yang kokoh dibuat.

Sebagai penutup, bermodalkan iseng saya mencoba bertanya kepada ChatGPT bagaimana kita seharusnya memandang AI dalam perspektif Islam. Lucunya, ChatGPT menjawab bahwa AI hanyalah alat dan yang penting adalah etika penggunaannya. Jadi, jika kita berpendapat isu Islam dan AI hanyalah sekadar etika penggunaan dan sepi dari isu filosofis, then probably we’re no better than an AI!

Appendix: Update 11 Desember 2022

Meskipun baru dipublikasikan tanggal 12 Desember 2022, draft pertama tulisan ini sudah penulis selesaikan sejak 7 Desember 2022. Dalam periode tersebut, Ismail Fahmi memuat tweet yang saya pikir perlu untuk dimuat di sini untuk keseimbangan pemberitaan. Meskipun sebenarnya tulisan ini bukan kritik khusus kepada Ismail Fahmi, Ainun Najib, Ulil Abshar Abdalla, atau siapapun, namun karena saya mengutip tweet tokoh-tokoh tersebut di awal tulisan, rasanya fair jika saya berkewajiban memuat pernyataan yang nadanya berbeda dengan yang saya kutip di awal tulisan.

Berikut cuitan dari Ismail Fahmi tanggal 11 Desember 2022:

“AI ini eksperimental dan tidak seharusnya kira beragama ikut AI. Menjalankan agama itu harus ada dasar referensinya. AI tdk kasih. Kl ada yg ikut cara AI, ya kita ingatkan. Awam harus diedukasi soal ini. Kl tidak dpt AI dari Twitter, bs dapat dr yg lain. Jgn lgs diikuti.”

Di sini kita bisa melihat pendapat yang lebih balanced terkait AI untuk masalah agama (tidak terkesan hype dan euforia seperti sebelumnya). Meskipun sekali lagi ini masih dalam ruang lingkup etika, bukan pertanyaan filosofis yang dibahas di tulisan ini.

tulisan ini juga bisa diakses di laman academia(dot)edu milik Mas Juris di sini 

[1] Sebagai contoh: Talat Zubair, Amana Raquib, and Junaid Qadir, “Combating Fake News, Misinformation, and Machine Learning Generated Fakes: Insight’s from the Islamic Ethical Tradition,” ICR Journal 10, no. 2 (2019): 189-212; Ali A. Z., “A Philosophical Approach to Artificial Intelligence and Islamic Value,” IIUM Engineering Journal 12, no. 6 (2011): 73-78.

[2] John McCarthy et al., “A Proposal for the Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence,” AI Magazine vol. 27, no. 4 (2006): 13. Cetak tebal oleh penulis.

[3] Untuk pengenalan terhadap computational theory of mind, lihat Michael Rescorla, “The Computational Theory of Mind,” September 21, 2020, https://plato.stanford.edu/entries/computational-mind/.

[4] Jake Copeland, Artificial Intelligence: A Philosophical Introduction (Oxford: Blackwell Publishers, 1993), 82, 180.

[5] Catatan: contoh-contoh di atas menggunakan logika formal Aristotelian, sementara banyak program symbolic AI menggunakan apa yang disebut sebagai first-order logic. Namun untuk kesederhanaan tulisan, contoh di atas penulis anggap sudah bisa mewakilkan argumen yang ingin disampaikan.

[6] Herbert A. Simon and Allen Newell, “Information Processing in Computer and Man”, American Scientist, vol. 2, no. 3 (1964), 281. Cetak tebal oleh penulis.

[7] Lihat Stevan Harnad, “The Symbol Grounding Problem,” Physica D, vol. 42 (1990), 335-346.

[8] John Haugeland, Artificial Intelligence: The Very Idea (Cambridge: The MIT Press, 1985), 100.

[9] Melanie Mitchell, Artificial Intelligence: A Guide for Thinking Humans (London, Pelican, 2019), 232-51.

[10] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islām: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islām (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995). Bab keempat berjudul The Nature of Man and the Psychology of Human Soul.

[11] Ibid, 121-23.

[12] Ibid, 133.

[13] Ibid, 14.

[14] Ibid, 143-44.

[15] Ibid, 148. Cetak tebal oleh penulis.

[16] Ibid.

[17] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, On Justice and the Nature of Man: A Commentary on Sūrah Al-Nisā’ (4): 58 and Sūrah Al-Mu’minūn (23) :12-14 (Kuala Lumpur: IBFIM, 2015), 32. Lihat juga Al-Attas, Prolegomena, 147-48.

[18] Al-Attas, Prolegomena, 150. Penulis kesulitan untuk mencari padanan bahasa Indonesia dari particulars dan universals sehingga memilih untuk tidak menerjemahkannya.

[19] Ibid, 154-55.

[20] Ibid, 163. Cetak tebal oleh penulis.

[21] Ibid, 164.

[22] Ibid, 161, 164.

[23] Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (London: Penguin Books, 1989 [1958]), 1.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar