Santri Cendekia
Home » Al-Qur’an dan Angka (Kritik Terhadap Abu Zahra al-Najdi)

Al-Qur’an dan Angka (Kritik Terhadap Abu Zahra al-Najdi)

Oleh: Muhammad Hasnan Nahar* 

Mukjizat al-Qur’an

Umumnya mukjizat para Nabi dan Rasul berkaitan dengan hal yang dianggap mempunyai nilai tinggi dan diakui sebagai suatu keunggulan oleh umatnya pada suatu masa.

Pada zaman Nabi Musa keunggulan terdapat pada  praktek sihir yang dilakukan oleh para tukang sihir, maka mukjizat utamanya adalah sesuatu yang bisa mengalahkan tukang sihir tersebut, kemudian diberikanlah mukjizat kepada Musa dapat merubah tongkatnya menjadi seekor ular yang sangat besar dan tidak ada yang bisa menyerupainya.

Zaman Nabi Isa adalah zaman kemajuan ilmu kedokteran, maka mukjizat utamanya adalah menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh pengobatan biasa.

Sementara zaman Nabi Muhammad saw adalah zaman kemajuan kesustraan Arab, maka mukjizat utamanya adalah Al-Qur’an, yang mengandung nilai sastra yang amat tinggi di tiap ayatnya.

Berbeda dengan mukjizat lainnya, Al-Qur’an mempunyai keistimewaan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu yang bersifat universal dan abadi.

Memahami kemukjizatan Al-Qur’an tidak hanya melalui indra saja, baik penglihatan atau pendengaran, melainkan kemukjizatan Al-Qur’an juga dapat dicapai dengan kecerdasan fikiran.

Tidak akan mungkin mengenali kecuali bagi orang yang berfikir sehat, berbudi luhur. Penelitian metodologis terhadap Al-Qur’an menjelaskan bahwa keselarasan dan keteraturan tidak terbatas pada makna-makna kata Al-Qur’an saja, tetapi juga pada jumlah kata dan pengulangan huruf-hurufnya.

Abu Zahrah di dalam kitabnya Min al-I’jaz al-Balaghy wa al-Adadiy li al-Qur’an al-Karim berusaha untuk menggali relasi angka dengan kata yang terdapat pada Al-Qur’an.

Abu Zahrah al-Najdi

Ia merupakan salah satu tokoh yang begitu memperhatikan keterlibatan angka-angka untuk menunjukkan mukjizat Al-Qur’an yang dikandungnya, dengan cara menghubungkan antara jumlah penyebutan kata dalam Al-Qur’an dan berbagai fakta terkait kata tersebut.

Beberapa contoh adalah dari hal sehari-hari, seperti jumlah jam dalam sehari. Kata sa’ah/jam disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak 24 kali, sama seperti halnya 24 jam dalam sehari, disebutkan pada Al-A’raf: 187, At-Taubah: 117, Yunus: 45, Al-Hijr: 85, Al-Kahfi: 21, Maryam: 75, Thaha: 15, Al-Anbiya: 49, Al-Mukminun: 7, Al-Furqan: 11 (dua kali), Al-Ahzab: 23, 63, Al-Mukmin: 40, Asy-Syura: 17, 18, Al-Zukhruf: 43, Ad-Dukhan: 32, Al-Jatsiah: 32, Al-Ahqaf: 35, Muhammad:18, Al-Qomar: 46 (dua kali), An-Nazi’at: 42. Ayat-ayat diatas terdapat kata al-sa’ah yang masing-masing didahului dengan harf dan tidak didahului oleh isim atau fi’il.

Atau perihal rangkaian shalat, pertama dari kata shalawat disebut lima kali, sama dengan jumlah shalat wajib sehari semalam, terdapat pada Al-Baqarah: 157, 238, At-Taubah: 99, Al-Hajj: 40, Al-Mukminun: 9.

Jumlah rakaat dari shalat fardhu dengan penyebutan kata faradha (kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan) disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 17 kali, sama dengan jumlah rakaat dalam shalat fardhu selama satu hari, terdapat pada Al-Baqarah: 197, 236 (disebutkan dua kali), 237 (disebutkan tiga kali), Al-Qashash: 85, Al-Ahzab: 38, 50, At-Tahrim: 2, An-Nur: 1, An-Nisa: 7 (disebutkan dua kali), 11, 24 (disebutkan dua kali), At-Taubah: 60.

Kata sujud ditemukan di dalam Al-Qur’an sebanyak 34 kali, sama seperti halnya jumlah sujud yang dilakukan dalam shalat fardhu sebanyak 17 rakaat, dan setiap rakaat dilakukan dua sujud sehingga jumlahnya menjadi 34 kali, terdapat pada Al-Baqarah: 34. Ayat ini merupakan ayat ketiga puluh empat pada surat Al-Baqarah, yaitu surat pertama yang menyebutkan kata sujud yang jumlahnya sama dengan jumlah sujud keseharian, pada ayat Al-A’raf: 11 (disebutkan dua kali), 12, 206,  Al-Isra’: 11, 61 (disebutkan dua kali), Al-Kahfi: 50, 61, Thaha: 116 (disebutkan dua kali), Al-Hajj: 18, 77, Al-Furqan: 60 (disebutkan dua kali), Fushilat: 37, 47, An-Najm: 62, Ali Imran: 43, 113, Al-Hijr: 30, 33, Shad: 73, 75, Al-Baqarah: 24, An-Nisa: 102, Ar-Rad: 15, An-Nahl: 49, An-Naml: 24, 25, Al-Insyiqaq: 21, Al-Insan: 26, Al-Alaq: 19.

Hingga kepada hal detail seperti usapan yang dilakukan dalam  berwudhu, seperti kata imsahu (perintah jamak untuk mengusap) disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 3 kali, sama dengan bilangan usapan yang wajib dalam wudhu, yaitu mengusap kepala, mengusap kaki kanan dan mengusap kaki kiri, terdapat pada An-Nisa: 43, Al-Maidah: 6 (disebutkan dua kali).

Baca juga:  Tadabbur Al-Lahab (Bag. 3)

Paham Syi’ah

Abu Zahrah di dalam kitabnya memasukkan ajaran Syi’ah, seperti pandangan mengenai jumlah khalifah setelah Rasulullah. Dikatakan oleh Abu Zahrah bahwa umat muslim bersepakat di dalam kitab shahih, Rasulullah menyebutkan jumlah khalifah sesudahnya sebanyak 12 orang.

Jumlah mereka sama dengan jumlah nuqaba bani Israil dan sama dengan jumlah hawari Isa.

Dalam Al-Qur’an kata imam disebutkan sebanyak 12 kali, terletak pada Al-Baqarah: 124, Hud: 17, Al-Furqan: 74, Al-Ahqaf: 12, Al-Hijr: 79, Yasin: 12, Al-Isra’: 17, At-Taubah: 12, Al-Anbiya: 73, Al-Qashash: 5, 41, Al-Sajdah: 24.

Seperti halnya sabda Rasulullah yang berwasiat bahwa imam/khalifah setelah beliau wafat berjumlah 12 imam, maka sama dengan jumlah kata wasiat Allah kepada para makhluknya yang disebutkan pada Asy-Syura: 13 (disebutkan dua kali), Al-An’am: 144, 151, 152, 153, An-Nisa: 12, 131, Al-Ankabut: 8, Luqman: 14, Al-Ahqaf: 15, Maryam: 31.

Dilanjutkan kepada keterangan al-musthafun (orang-orang pilihan) setelah Rasulullah.  Kata ishthafa mempunyai pengertian bahwa Allah telah menunjuk orang pilihan “dari” “dan” bagi makhluk-Nya, disebutkan sebanyak 12 kali pada Al-Baqarah: 132, 139, 247, Ali Imran: 33, 42 (disebutkan dua kali), An-Naml: 59, Az-Zumar: 59, Al-A’raf: 144, Fatir: 32, Al-Hajj: 75, Shad: 47.

Abu Zahra menghubungkan kata ya’shimu yang disebutkan 12 kali dengan banyaknya khalifah setelah Rasulullah yang terpelihara serta benar-benar disucikan oleh Allah dari segala dosa, yang terletak pada Al-Ma’idah: 67, Al-Ahzab: 17, Hud: 43, An-Nisa: 146, 175, Ali Imran: 101, 103, Al-Hajj: 78, Yusuf: 32, Yunus: 27, Hud: 3, Ghafir: 33.

Abu Zahrah mengatakan ayat Al-Maidah: 67 ini diturunkan pada haji wada’, setelah Rasulullah kembali dari haji. Di Ghadir Khum Allah menyuruh Muhammad untuk menyampaikan pesan kepada umat bahwa khalifah pertama setelahnya adalah Ali bin Abi Thalib.

Baca juga:  Mencintai Al-Qur'an Dengan Kritis

Kemudian Rasulullah bersabda: “Bukankah aku lebih kamu utamakan ketimbang diri kamu sendiri?”, kemudian mereka menjawab “Tentu ya Rasulullah”, kemudian Nabi melanjutkan sabdanya “Barangsiapa yang memandang aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah pimpinlah orang yang menjadikannya pemimpin, dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinakannya.”.

Untuk menguatkan pemikirannya, Abu Zahrah kemudian banyak mengangkat kata-kata yang berjumlah 12 kali untuk mendukung pandangannya tentang 12 khalifah yang diangkat setelah Rasulullah, seperti kata ali (keluarga) dalam Al-Baqarah: 248 (disebutkan dua kali), Ali Imran: 33 (disebutkan dua kali), An-Nisa: 54, Yusuf: 6, Al-Hijr: 59, 61, Maryam: 6, An-Naml: 56, Saba’: 13, Al-Qamar: 34.

Kata amil (pelaksana perintah) dalam Ali Imran: 95, 136, Al-An’am: 135, Hud: 39, Az-Zumar: 39, 74, Hud: 121, Al-Mukminun: 63, Ash-Shaffat: 61, Fushilat: 5, At-Taubah: 60, Al-Ankabut: 58.

Kata ijtaba’ (mengangkat/dipilih) pada Al-Hajj: 78, An-Nahl: 121, Thaha: 122, Al-Qalam: 50, Al-Qashash: 57, Al-A’raf: 203, Maryam: 58, Al-An’am: 87, Ali Imran: 179, Asy-Syura: 13, Yusuf: 6, Saba’: 13.

Dan kata syi’ah itu sendiri, terletak pada Ash-Saffat: 83, Al-Qashash: 4, 15 (disebutkan dua kali), An-Nur: 19, Maryam: 69, Al-Hijr: 10, Al-An’am: 65, 159, Ar-Rum: 32, Al-Qamar: 51, Saba’: 54.

Kritik Kitab

Penulis memberikan beberapa kritikan yakni: Pertama, Abu Zahrah dalam menentukan hubungan jumlah penyebutan kata di dalam Al-Qur’an dengan keterangannya seperti dipaksakan.

Salah satu contoh ketika sedang mencari kata sa’ah (jam) dicari dalam mu’jam al-mufahras li al-fadh al-qur’anul karim ditemukan kata as-sa’ah sebanyak 48 kali, tidak sesuai dengan jumlah jam dalam sehari yang seharusnya 24 jam.

Baca juga:  Genealogi Karya Tafsir Al-Quran di Nusantara

Karena tidak sesuai dengan seharusnya, angka 24 yang ditunjukkan dari kata al-sa’ah, maka Abu Zahrah mengganti metodenya.

Sebelumnya dicari dengan kata kunci sa’ah saja ditemukan 48 kali, maka ditemukan kata sa’ah 24 kali ketika kata didahului dengan hurf. Berarti dari hal itu sebenarnya kata sa’ah yang berarti jam, disebutkan 24 kali sama dengan 24 jam dalam sehari ketika digunakan kata kunci yang lebih spesifik.

Ketika melihat secara umum kata sa’ah disebutkan maka angka 48 lah yang ditemukan.

Kedua, hubungan penyebutan jumlah kata yang berjumlah 12 dalam Al-Qur’an dengan paham imam 12 banyak sekali disebutkan, yakni kata imam, khalifah, washi (wasiat), al-asyhad (orang-orang yang bersaksi), hum al-muflihun (orang-orang yang beruntung), ashab al-jannah (penghuni surga), ishthafa (memilih), ya’shimu (memelihara kesucian), ali (keluarga), malik (penguasa), amil (pelaksana pemerintahan), ijtaba (mengangkat/memilih), al-birr dari kata al-abrar (baik), syi’ah (pengikut), nujum (bintang), ruhban (orang suci).

Dari 34 bab yang ada disebutkan 17 bab terkait dengan angka 12.

Ketiga, tidak terdapat daftar pustaka didalamnya, sehingga menyulitkan pembaca untuk  mencari sumber-sumber lainnya.

Penutup

Terlepas dari kritik yang penulis berikan, apresiasi terhadap kitab ini tetap diberikan sebagai salah satu bentuk dakwah. Dengan mengkaji angka dalam Al-Qur’an meneguhkan kemukjizatan Al-Qur’an yang bisa ditemui dari segala aspek, serta menyadarkan kita bahwa manusia tidak mungkin membuat mukjizat seperti itu.

Namun tetap saja jangan berlebih-lebihan dalam menyikapi mukjizat angka-angka ini sehingga melupakan aspek mukjizat Al-Qur’an lainnya.

*Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan dan Ketua DPD IMM DIY

 

Muhammad Hasnan Nahar

Dosen Prodi Ilmu Hadis FAI UAD dan Ketua DPD IMM DIY

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar