Santri Cendekia
Home » Al-Qur’an dan Para Penjaganya (Al-Hijr : 9)

Al-Qur’an dan Para Penjaganya (Al-Hijr : 9)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

 Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr:9)

Ada tiga hal penting yang Allah tekankan dalam ayat ini.

Pertama, Allah ‘azza wa jalla menjamin bahwa Al-Qur’an itu benar-benar turun dari sisi Allah melalui perantara Jibril dan disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat dan terus disampaikan turun menurun hingga akhirnya sampai secara mutawwatir kepada kita. Maka telah nyata kesesatan bagi siapapun yang berkata bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Muhammad. Seperti yang dikatakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Akhirnya Front Ulama Al-Azhar yang berisi 2000 ‘Alim ‘Ulama meminta pemerintah Mesir turun tangan untuk memberikan pilihan taubat atau hukuman mati. Status perkawinannya dengan istrinya juga dibatalkan, karena pria murtad tidak boleh menikah dengan wanita muslimah. Namun akhirnya dia melarikan diri ke Belanda dan segera mendapatkan posisi penting di Universitas Leiden[1].

Ada pula opini bodoh yang datang dari Yahudi-yahudi madinah yang dengki terhadap kerasulan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memusuhi Jibril karena mereka menganggap jibril salah menurunkan Wahyu terhadap Rasulullah. Hal ini pun mendapatkan tanggapan dari Allah dalam surat Al-Baqarah 97-98 “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir

Kedua, Allah ‘azza wa jalla menjamin kemurnian Al-Qur’an hingga akhir zaman. Maka sesat juga mereka yang berkata Al-Qur’an perlu direvisi, seperti yang dikatakan Taslima Nasrin di Bangladesh dalam sebuah surat kabar (1994). Akhirnya dia divonis untuk dihukum mati[2]. Kita pun tahu, mulut-mulut kotor serupa masih berkeliaran dengan sesukanya di negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia yang kita tempati ini. Salah satunya adalah perkataan seorang gembong JIL, Ulil Abshar Abdalla, “90% Quran yg ada dlm sejarah Islam memamakai pendapatnya pengarang. Kalau ngga pake pendapat, ya ndak bisa.”. Semoga kelak Indonesia punya hukum serupa seperti yang menimpa Taslima Nasrin di Bangladesh.

Baca juga:  Nabi pun Berijtihad

Ketiga, Allah ‘azza wa jalla memuliakan makhluk-makhluk-Nya yang memiliki kontribusi dalam penurunan dan penjagaan Al-Qur’an. Itu mengapa Allah menggunakan dhomir ‘Kami’ dan bukan ‘Aku’. Allah menyertakan campur tangan makhluknya dalam redaksi di ayat ini. Allah menurunkan Al-Qur’an melalui perantara makhluknya, malaikat, lauhl mahfuz hingga langit dunia. Allah menjaga Al-Qur’an juga melalu perantara makhluk-Nya, para Sahabat, Tabi’in, Ulama-ulama ahli tafsir, hingga para penghafal Al-Qur’an. Dan karena itu juga, orang-orang yang menghafalkan Al-Qur’an, disebut sebagai seorang hafizh (penjaga). Untuk mengetahui betapa mulianya para penghafal Al-Qur’an di sisi Allah, kita bisa merujuk kepada beberapa hadist Rasulullah,

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya” (HR Bukhari no. 4639)

“Orang yang tidak punya hafalan Al-Qur’an sedikitpun adalah seperti rumah kumuh yang mau runtuh (HR Tirmidzi)

“Barang siapa yang membaca (hafal) Al-Qur’an, maka sungguh dirinya telah menaiki derajat kenabian, hanya saja tidak diwahyukan kepadanya” (HR Hakim)

Adalah Nabi mengumpulkan di antara orang syuhada uhud, kemudian beliau bersabda, “manakah diantara keduanya yang lebih banyak hafal Al-Qur’an?” ketika ditunjuk salah satunya, maka beliau mendahulukan peletakannya di liang lahat. (HR Al-Bukhari)

“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara para manusia”, para sahabat bertanya, “siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Para ahli Al-Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya.” (HR Ahmad)

“yang menjadi imam suatu kaum, yang paling banyak hafalannya.” (HR Muslim)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil mengenai keutamaan mengahafalkan Al-Qur’an dan para penghafalnya yang tidak mungkin penulis sebutkan di sini.

Dengan begitu tingginya Allah memuliakan para Hufazh (Penghafal Al-Qur’an), maka tidak sepantasnya jika kita justru memandang sebelah mata terhadap mereka. Tidak tahukah kita bahwa ‘Ulama berbeda pendapat soal jumlah minimal hafalan hadist agar seseorang mencapai derajat mufti, namun tidak pernah berbeda pendapat soal menghafal seluruh Al-Qur’an sebagai syarat agar seseorang mencapai derajat mufti? Bahkan menurut Dr. Isnan Anshory dari tim Rumah Fiqih, Al-Qur’an merupakan dasar dari setiap disiplin ilmu dalam Islam[3]. Itu berarti, Al-Qur’an merupakan sumber data primer bagi umat muslim. Atau jika menurut Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an adalah fitrah munazzalah (yang diturunkan). Al-Qur’an hadir sebagai sarana untuk menjaga fitrah manusia.

Baca juga:  Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 1)

Maka tidak sepantasnya, apabila aktivitas menghafal Al-Qur’an kita hadap-hadapkan atau bahkan kita pertentangkan terhadap disiplin ilmu lain di dalam Islam. Induknya ilmu tidak bisa disejajarkan dengan cabang-cabangnya. Misalnya pernah ada opini dari seorang tokoh , “daripada mementingkan hafalan Qur’an, islamisasi ilmu lebih harus ditanamkan di dalam sekolah-sekolah”, atau opini lain “menjadi penghafal Al-Qur’an bukan jaminan bla bla bla”. Hafizh juga manusia, tentu bisa salah dan pernah khilaf. Jika mereka memiliki poin minus, jangan iseng menyalahkan dan menyenggol aktivitasnya menghafal Al-Qur’an. Karena bagi kita yang tidak menerjunkan diri dalam dunia menghafal Al-Qur’an, kita tidak pernah tahu beratnya perjuangan untuk menjaga hafalan Al-Qur’an. Semoga Allah matikan kita semua dalam proses menghafal Al-Qur’an, meski hanya segelintir ayat. Amin Ya Robbal’alamin

.

Allahu a’lam bishshawab

 

[1] “Kisah Nasr Hamid Abu Zayd, Pengusung Tafsir Hermeuneutika”, Dr. Syamsudin Arif

[2] Koran The Statesman (tahun 1994)

[3] Web Rumah Fiqih Indonesia, “Al-Qur’an sebagai Objek Ilmu Ushul Fiqih”, Dr Isnan Anshory, Lc, MA

 

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar