Santri Cendekia
Home » Empat Alasan Mengagumi Gus Mus

Empat Alasan Mengagumi Gus Mus

Dalam salah satu episodenya, tayangan Mata Najwa mengundang seorang ulama khatismatik bernama Musthofa Bisri atau yang lebih akrab disapa Gus Mus. Tulisan ini merupakan wujud rasa hormat dan takzim saya pada beliau sang ulama sejati, sekaligus bapak bangsa bagi anak-anak negeri. Menonton rekaman ulang Mata Najwa edisi “Panggung Gus Mus” membuat saya betul-betul terpesona dengan sosok pimpinan pondok Raudhatut Talibin, Rembang, ini. Terlepas dari  kekurangan yang memang ada pada tiap insan, bagi saya ada beberapa sisi kehidupan Gus Mus yang perlu kita perhatikan dan layak kita jadikan contoh.

Pertama, semangat dakwah yang santun. Di tengah fenomena dakwah Islam di Indonesia yang riuh dengan caci-maki dan penuh dengan klaim takfiri, dakwah Gus Mus terasa sangat menyejukkan. Tidak ada kata-kata cacian yang terlontar dari kalimatnya pada kelompok yang tidak segolongan dengannya. Ajakannya pun mengedepankan kasih sayang daripada pemaksaan. Dakwahnya tidak terbatas melalui mimbar-mimbar, tapi juga melalui karya seni dan sastra. Tidak hanya berdakwah, karya-karyanya kerap kali mengkritisi segala bentuk penindasan, kesemena-menaan, ketidakmanusiaan, dan kebengisan sosial yang merajalela di bumi pertiwi. Lihat saja beberapa karya puisi beliau, misalnya yang berjudul “Sajak Atas Nama” dan “Bila Kutitipkan”. Gaya Gus Mus dalam berdakwah, menegur dan menasehati ini terasa teduh, tanpa ada kesan menggurui.

Apa yang dilakukan Gus Mus tersebut barangkali merupakan manifestasi dari apa yang digagas oleh Imam al-Ghazali dalam karyanya “The Alchemy of Happiness” tentang perlunya agama berharmoni dengan seni. Menurut al-Ghazali, hati manusia telah diciptakan oleh Tuhan seperti batu api, di mana ia hanya bisa menyala dengan cara dipantik musik atau harmoni (seni). Seni merupakan gaung keindahan dunia yg biasa kita sebut sebagai alam spiritual. Ia mengingatkan manusia tentang hubungannya dengan Tuhan dan pada saat yg sama menghasilkan emosi yg begitu mendalam dan kuat hingga tidak dapat dijelaskan oleh kata-kata. Seni memiliki efek yg dahsyat dalam kehidupan beragama karena ia dapat menghembuskan nyala api ke dalam hati yg tertidur dan terbengkalai.

Baca juga:  Membincang Geliat Bangkit Komunisme Bersama Taufiq Ismail

Penjelasan al-Ghazali ini semakin membuktikan bahwa Islam dapat berjalan beriringan dengan seni. Bahkan seni dapat menuntun dan mengarahkan manusia untuk menjalani kehidupan beragama secara lebih indah dan artistik. Saat seseorang sudah dapat mengharmonikan antara kehidupan beragama dengan seni, maka apa yang ia katakan, ia tulis dan ia sampaikan, akan selalu terasa indah dan menyejukkan. Gus Mus dalam hal ini bisa dikatakan telah sampai pada maqam tersebut.

Kedua, selalu merasa bodoh. Inilah hal kedua yang harus kita contoh dari karakter Gus Mus. Ada hal menarik saat Najwa Shihab bertanya pada Gus Mus, “Apa hal yang belum banyak diketahui orang tentang anda, Gus?” Jawaban Gus Mus saat itu cukup membuat saya tercengang. “Yang belum banyak orang ketahui tentang saya bahwa saya sebenarnya itu adalah orang bodoh”. Tentu jawaban itu bukan jawaban yang dibuat-buat. Ada kesadaran dalam diri yang tumbuh secara naluriah saat seseorang telah sampai pada derajat keilmuan tertentu. Dalam wawancaranya itu, Gus Mus pun resah dan menyayangkan tentang muncul dan menjamurnya apa yang ia sebut sebagai Orang Pintar Baru (OPB). OPB ini kata Gus Mus adalah orang-orang yang baru belajar namun sudah terburu-buru untuk merasa pintar. Mereka merasa pintar karena sudah merasa banyak diikuti ‘followers’ dan ‘omongannya’ telah dikutip di mana-mana. Parahnya, orang yang merasa pintar ini seringkali berpuas diri sampai akhirnya berhenti belajar.

Ketiga, sadar teknologi dan media sosial. Salah satu ulama ‘beneran’ yang memiliki jumlah followers melimpah di akun media sosialnya adalah beliau, Musthafa Bisri. Ia sadar betul bahwa globalisasi telah membawa perubahan sosial di muka bumi ini secara radikal, termasuk dalam dunia dakwah. Tantangan ini direspon oleh Gus Mus dengan mengaktifkan diri di media sosial untuk menyebarkan kabajikan dengan berlandaskan nilai-nilai Islam. Di usianya yang senja, kesadarannya akan pentingnya media sosial dan teknologi sebagai sarana dakwah sangat patut diacungi jempol.

Baca juga:  #IstandWithAhmed; Hastag Untuk Membela Remaja Muslim Jenius yang Ditangkap Polisi AS

Para ulama generasi muda sudah seharusnya mengikuti apa yang telah dimulai oleh Gus Mus ini. Sayangnya sampai hari ini kesadaran itu belum banyak muncul dari diri para ulama-ulama muda. Mereka lebih sibuk berdakwah secara konvensional, tanpa terlalu mengindahkan dakwah media sosial. Padahal sadar atau tidak sadar, cara berpikir masyarakat telah bergeser. Dari yang tadinya bertanya kepada ustadz atau kyai secara langsung, sekarang cukup buka gadget, ketik pertanyaan, dan syaikh Google sudah menyiapkan berbagai jawaban. Jika tantangan ini dibiarkan, maka lahan ini akan menjadi peluang bagi kelompok-kelompok tertentu yang tidak selaras dengan nafas islami.

Dan terakhir tapi bukan yang paling akhir, karakter lain dari sosok Gus Mus yang patut kita teladani adalah keromantisannya pada pasangan. Istri beliau yang pada episode Mata Najwa itu turut diundang memberikan kesaksian betapa romantisnya beliau. Di rumah, Gus Mus sering membuatkan puisi-puisi cinta untuk sang istri. Bahkan di ulang tahun Istrinya beberapa waktu lalu, Gus Mus sengaja menyiapkan puisi khusus dan kado istimewa untuknya.

Itulah Musthafa Bisri, sosok ulama sejati yang memberikan nafas keteduhan dalam setiap ceramah dan karya-karyanya yang indah.

Menutup tulisan ini, mari kita menikmati beberapa bait puisi cinta karya Gus Mus berjudul “Sajak Cinta”.

***

Sajak Cinta

cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya

cinta romeo kepada juliet si majnun qais kepada laila

belum apa-apa

temu pisah kita lebih bermakna

dibandingkan temu-pisah Yusuf dan Zulaikha

rindu-dendam kita melebihi rindu-dendam Adam

dan Hawa

 

aku adalah ombak samuderamu

yang lari datang bagimu

hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu

aku adalah wangi bungamu

luka berdarah-darah durimu

semilir bagai badai anginmu

 

aku adalah kicau burungmu

kabut puncak gunungmu

tuah tenungmu

aku adalah titik-titik hurufmu

kata-kata maknamu

 

aku adalah sinar silau panasmu

dan bayang-bayang hangat mentarimu

bumi pasrah langitmu

 

Baca juga:  "Netizen" dan Media Islam

Niki Alma Febriana Fauzi

Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar