Santri Cendekia
Home » Alasan Para Ulama Berbeda Pendapat Menurut Ibnu Rusyd

Alasan Para Ulama Berbeda Pendapat Menurut Ibnu Rusyd

PENDUHULUAN

Kitab Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid ditulis oleh Ibnu Rusyd. Beliau merupakan filosof muslim Barat terbesar di abad pertengahan. Dilahirkan pada tahun 520 H/ 1126 M di kota Cordoba, Spanyol, dan wafat pada tahun 595 H/ 1198 M.

Tujuan Ibnu Rusyd menyusun kitab ini adalah untuk mengingatkan bahwa ada masalah-masalah hukum yang telah disepakati (al-muttafaq), ada pula persoalan hukum yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf) lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Selain itu untuk menunjukan adanya perbedaan di antara para mujtahid dengan cara menyoroti prinsip dan aturan dasar (al-ushul wa al-qawâ’id) yang mereka pakai ketika syari’ah mendiamkan sebuah persoalan (al-masâ’il al-maskutu ‘anhâ). Masalah-masalah tersebut sebagian besar adalah yang terang-terangan telah disebutkan di dalam Qur’an maupun Sunah (al-manqut bihâ) atau yang berkaitan erat dengan dua sumber hukum itu. Menurut Ibnu Rusyd, pada tataran inilah akan diketahui persoalan mana yang telah disepakati (al-ittifaq ‘alaiha), dan persoalan mana yang masih diperdebatkan di antara para ahli fiqh Islam (al-fuqahâ’ al-Islamiyyina) sejak periode sahabat sampai berkembangnya taqlid.

Sebelum masuk ke dalam persoalan di atas, Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa ada beberapa macam metode-metode (turuq) yang dapat diterima dalam pengambilan hukum syariat, ada pula beberapa macam hukum syariah, juga ada beberapa macam alasan yang menjadi penyebab para mujtahid berbeda pendapat yang tidak terelakan ketika berbicara masalah hukum syariat.

Menurut Ibnu Rusyd, ada tiga metode yang dapat diterima dalam pengambilan hukum syariah dari Nabi SAW, yaitu: dari kata-katanya (lafdz), atau tindakannya (fi’l), atau ketetapannya (iqrâr). Menurut Jumhur Ulama, apabila tidak didapati dari ketiga itu maka cara pengambilan hukumnya adalah dengan menggunakan qiyas atau analogi. Pendapat Jumhur ini kemudian ditentang cukup keras oleh madzhab Dzahiri. Menurut mereka, penalaran qiyas dalam pengambilan hukum syariah itu tidak valid (al-qiyâs fi al-syar’I bâthil), sehingga apabila syariah mendiamkan suatu persoalan, maka tidak ada hukum atas persoalan tersebut (wa mâ sakata ‘anhu al-syari’u falâ hukma lahu).

Pandangan madzhab Dzahiri yang menolak penggunaan qiyas sebagai alternative pengambilan hukum ketika syariah mendiamkan suatu pesoalan merupakan langkah yang kurang tepat. Sebab akan ada suatu masa dan peristiwa yang di dalamnya tidak memiliki status hukum. Sebab Qur’an dan Hadist telah selesai sejak Nabi Muhammad wafat, sementara permasalahan hukum akan terus bergulir, yang suatu saat akan membutuhkan status hukumnya.

Menurut Ibnu Rusyd, Qiyas merupakan langkah yang paling logis ketika syariah mendiamkan suatu persoalan, sebab peristiwa-peristiwa di antara individu-individu manusia itu tidak terbatas (ghair mutanahiyat), sedangkan teks-teks (al-nushus), perbuatan-perbuatan (al-af’âl) dan ketetapan-ketetapan (al-iqrirâtu) Nabi SAW itu sifatnya terbatas (mutanâhiyat). Sehingga dalam pandangan Ibnu Rusyd, sangatlah mustahil menghadapi persoalan yang tidak terbatas dengan persoalan yang terbatas (muhâl an yuqâbila mâ lâ yatanâhâ bimâ yatanâhâ).

Dengan kata lain Ibnu Rusyd ingin menyatakan bahwa hanya dengan penalaran rasional (Qiyas), manusia yang hidup di zaman sekarang bisa mengetahui hukum hal-hal baru yang pernah dijumpai pada zaman Nabi SAW hidup.

HUKUM YANG DIAMBIL DARI LAFADZ (LAFDZ)

Lebih lanjut Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ada empat macam cara pengambilan hukum dari apa yang didengar (dari teks atau lafadz). Tiga yang telah disepakati, sementara empat yang masih diperselisihkan. Pertama, ungkapan umum dipahami secara keumumannya (‘am yuhmalu ‘ala ‘umumihi). Kedua, ungkapan khusus dipahami secara kekhususannya (khash yuhmalu ‘ala khushushihi). Ketiga, ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya (‘am yuradu bihi al-khash). Keempat, ungkapan khusus yang dimaknai dengan keumumannya (khash yuradu bihi al-‘umumihi). Hal ini juga mencakup penegasan dari tingkatan yang lebih tinggi kepada tingkatan yang lebih rendah (bi al-a’lâ alâ al-adnâ), tingkatan yang lebih rendah kepada tingkatan yang lebih tinggi (bi al-adnâ alâ al-a’lâ), dan tingkatan yang setara dengan yang setara (bi al-musâwâ alâ al-musâwâ).

Dari kategorisasi di atas, Ibnu Rusyd memberikan tiga contoh.

Pertama, QS. Al-Maidah ayat 3:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.

Para ulama telah sepakat bahwa kata khinzîr (babi) itu mencakup segala jenis babi, selama kata itu bukan kata yang memiliki banyak makna (al-isytirâk), artinya hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama (babi), seperti bulu babi, itu tidak menunjukan keharaman. Jadi yang diharamkan itu segala jenis babi, bukan hewan lain yang meskipun memiliki nama yang sama.

Baca juga:  Menelaah Konsepsi Bid’ah Menurut Muhammadiyah

Kedua, contoh ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya tertera dalam QS. At-Taubah ayat 103:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم

Ambillah zakat dari harta-harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.

Para ulama telah sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta benda. Jadi kata “harta-harta mereka” (amwâlihim) itu harus dimaknai dengan kekhussannya. Artinya tidak semua harta benda diwajibkan untuk dizakati.

Ketiga, contoh ungkapan khusus yang dimaknai dengan keumumannya tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:

فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ

Janganlah mengatakan kepada keduanya (orangtua) perkataan “ah”

Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ayat di atas termasuk dalam ruang lingkup penegasan tingkat yang lebih rendah dengan tingkat yang lebih tinggi (bi al-adnâ alâ al-a’lâ). Sebab firman Allah itu mengandung suatu pengertian berkata “ah” saja tidak boleh, apalagi memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras kepada kedua orangtua.

Perintah dan Larangan

Menurut Ibnu Rusyd, kalimat yang menuntut “pengerjaannya” (fi’luhu) kadang menggunakan kata perintah (al-amr), kadang dengan kalimat berita yang bermakna perintah (bishighati al-khabari yurâdu bihi al-amr). Begitu pula dengan kalimat yang menuntut “peninggalannya” (tarkuhu), kadang menggunakan kata larangan (an-nahy), kadang juga dengan kalimat berita yang bermakna larangan (bishighati al-khabari yurâdu bihi an-nahy).

Hal demikian kemudian menjadi penyebab mengapa para ulama kadang berbeda pendapat terhadap suatu hukum, sebab kalimat perintah (al-amr) itu bisa menunjukan wajib atau mandub. Atau seseorang akan menunggu hingga ditemukan dalil yang menjelaskannya. Hal ini juga berlaku dalam kasus kalimat larangan (an-nahy), apakah harus dihukumi haram atau makruh. Bahasan seperti inilah yang nantinya akan mewarnai khazanah ushul fiqh di dunia Islam.

Ambiguitas Suatu Lafadz (Isytirâk)

Kemudian menurut Ibnu Rusyd, lafadz yang hanya menunjukan satu makna, dalam khazanah ushul fiqh disebut dengan nash. Dalam lafadz ini tidak akan ada perselisihan tentang kewajiban mengerjakan suatu amalan (wa lâ khilâfa fi wujubi al-‘amali bihi). Sementara kata yang memiliki lebih dari satu makna, terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, ada lafadz yang memiliki banyak makna yang semua maknanya itu sama atau setara (al-ma’âni bi al-sawâ’i), dalam khazanah ushul fiqh dikenal dengan mujmal. Dalam lafadz ini telah disepakati bahwa suatu hukum tidak menunjukan kewajiban.

Contoh sederhananya dalam bahasa Indonesia ada pada kalimat, “Ayub datang ke sini memberi tahu.”

Frasa “memberi tahu” dapat mengandung dua arti yang setara yaitu memberi tahu (makanan yang terbuat dari kedelai), ataukah memberikan suatu informasi.

Keambiguan ini muncul karena bunyi yang diucapkan antara “memberi tahu” yang berarti memberikan makanan dan “tahu” yang berarti “memberikan informasi”itu sama dan setara. Oleh karena itu perlu didengarkan pembicaraan secara lengkap.

Kedua, ada lafadz yang memiliki banyak makna, yang maknanya itu lebih kuat/banyak dibanding yang lainnya, dalam istilah Ibnu Rusyd disebut dengan dzahir. Sementara lafadz yang memiliki banyak makna, yang maknanya itu lebih lemah/sedikit, dalam istilah Ibnu Rusyd disebut muhtamal.

Contoh penggunaan kata “Asem”. Secara dzahir, asem adalah salah satu jenis rasa, namun secara muhtamal, asem adalah ekspresi kekecewaan.

Karena itu menurut Ibnu Rusyd, lafadz muthlaq harus diartikan dengan makna dzahirnya atau semestinya, sampai ada dalil yang menunjukkan arti secara muhtamal (muqayyad ?).

Dalam hal ini Ibnu Rusyd ingin menjelaskan bahwa apabila ada lafadz muthlaq, maka harus dimaknai secara dzahirnya. Contoh dalam QS. Al-Mujadalah ayat 3:

 وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak.”

Lafadz raqobah (budak) dalam ayat di atas adalah contoh lafadz muthlaq, sehingga harus diambil makna dzahirnya. Artinya, memerdekakan “budak” yang dimaksud ayat di atas boleh budak yang beriman maupun budak yang dzalim karena tidak ada lafadz muhtamal atau muqayyad yang menjelaskan lebih spesifik dan terperinci.

Hal tersebut berbeda dengan QS. An-Nisa ayat 92 yang berbunyi:

Baca juga:  Menggagas Fikih Ekologi, Mungkinkah?

وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ

Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman.

Ayat di atas adalah contoh dari lafadz muqayyad (muhtamal ?) yang lebih spesifik dibanding ayat sebelumnya, sehingga orang yang telah membunuh seorang mukmin hukumannya adalah memerdekakan budak yang beriman. Artinya, tidak bisa atau tidak sah memerdekakan budak yang kafir atau dzalim.

Kalau kita memahami alur pikir Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa lafadz muthlaq harus ditarik ke lafadz muhtamal (‘ala hamlihi ‘ala muhtamali), maka dapat disimpulkan bahwa  budak yang harus dimerdekakan dalam kasus kafarat zhihar (QS. Al-Mujadalah: 3) yang berbentuk muthlaq itu harus ditarik ke dalam pengertian yang muhtamal (QS. An-Nisa: 92). Jadi dalam pandangan Ibnu Rusyd, suami yang telah menzhihar isterinya, kemudian ia hendak menarik kembali apa yang diucapkannya, maka wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman.

(Bahasan mengenai muthalaq dan muqayyad di dalam ushul fiqh dijelaskan panjang lebar mengenai fungsi dan teknisnya, jadi tidak elok kalau dijelaskan panjang lebar di sini).

Menurut Ibnu Rusyd, ambiguitas sebuah lafadz dapat menjadi sumber perbedaan pendapaat di antara para fuqaha ketika memahami sebuah teks. Dalam hal ini terbagi tiga segi:

Pertama, karena ambigunya suatu lafadz yang berkaitan dengan perkara hukum (al-isytirâk fi lafdzi al-‘aini alladzi ‘ulliqa bihi al-hukmu). Kedua, karena ambigunya makna alif dan lam (al-isytirâk fi alifi wa al-lâmi), yang nantinya apakah harus dimaknai keseluruhan atau sebagian (al-kullu aw al-ba’dhu). Ketiga, karena ambigunya lafadz-lafadz perintah dan larangan (al-isytirâk alladzi fi alfâdzi al-awâmiri wa al-nawâhi).

Ketiga jenis di atas ditinjau dari segi lafadznya atau dari apa yang tertulis. Sementara jalan yang keempat terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli sebab tidak lagi ditinjau dari lafadz yang tertulis, namun mencari makna lain dari suatu kalimat.

Implikasi Logis (Dalil al-Khithâb)

Cara keempat yang menjadi sumber hukum (tapi masih diperselisihkan) adalah implikasi logis. Terma yang dipakai oleh Ibnu Rusyd adalah dalil al-khitâb. Menurut Ibnu Rusyd, dalil al-khitâb adalah ketika seseorang paham akan suatu kewajiban yang berkaitan dengan suatu persoalan, maka menjadi tidak wajib terhadap hal lain, atau sebaliknya, tidak wajibnya suatu persoalan, menjadi hal wajib untuk persoalan lain.

Hal inilah yang menjadi alasan mengapa hanya tiga yang disepakati, dan (yang ke)empat yang diperselisihkan (yaitu: dalil al-khitâb), sebab perbedaan ushul (ashlun mukhtalafun).

Contoh Nabi SAW pernah bersabda:

فى الغنم السائمة زكاة

Dalam kambing yang digembalakan (wajib) zakat”.

Ada suatu kelompok yang memahami hadis di atas dengan logika dalil al-khitâb sehingga membawa sebuah kesimpulan bahwa kambing yang tidak digembalakan tidak wajib bayar zakat.

Jadi untuk mengisi kekosongan hukum (al-maskutu ‘anhâ), ada sebagian ulama yang menggunakan logika ini: bila suatu hal dihukumi wajib, maka menjadi tidak wajib untuk hal lain. Namun penggunaan dalil al-khitâb ini terlihat seperti terburu-buru dalam menghukumi suatu persoalan. Pada bagian inilah kemudian Ibnu Rusyd menjelaskan tentang qiyas sebagai jawaban untuk mencari hukum yang masih didiamkan oleh syâri’.

Analogi (Qiyâs)

Dalam penggunaannya sebagai salah satu metode pengambilan hukum syariah, qiyas menurut Ibnu Rusyd adalah menerapkan apa yang telah menjadi sebuah hukum syariah terhadap suatu persoalan yang tidak diketahui status hukumnya, entah disebabkan oleh beberapa kesamaan (syabh) atau karena ada kesamaan sebab (‘illah). Karenanya dalam kitab Bidâyat al-Mujtahid ini Ibnu Rusyd membagi qiyas ke dalam dua bagian, yaitu: qiyas syabh, dan qiyas ‘illah.

Contoh sederhana qiyas syabh: seorang budak bisa diqiyaskan ke dua tempat: kepada orang merdeka karena sama-sama manusia, dan kepada harta-benda karena sama-sama barang yang dapat diperjual-belikan.

Sementara contoh qiyas ‘illah: haramnya meminum wine karena seperti halnya khamr, minuman itu memabukan. Jadi ada persamaan ‘illat atau sebab, yaitu memabukan.

Perbedaan Antara Qiyas dan ‘Ungkapan Khusus yang Dimaknai Umum’

Menurut Ibnu Rusyd, perbedaan antara qiyas dan ‘ungkapan khusus yang dimaknai umum’ sangatlah dekat, dan terkadang ada pihak yang menyamakan keduanya, padahal ada perbedaan yang cukup jelas di sana.

Perbedaannya adalah qiyas digunakan dengan cara menghubungkan lafadz khusus yang dimaknai dengan kekhususannya (al-khash alladzi uridu bihi al-khashu) kemudian diterapkan ke persoalan yang masih didiamkan oleh syariat. Artinya, menerapkan apa yang telah disebutkan syariat, kepada persoalan yang masih didiamkan oleh syariat, karena ada persamaan (syabh), bukan dengan cara mengembangkan makna suatu lafadz (la min jihhati dilalati al-lafdzi). Karena itu menurut Ibnu Rusyd, mengembangkan makna suatu lafadz itu bukan qiyas (laisa biqiyasin), tetapi ‘ungkapan khusus yang dimaknai umum’.

Baca juga:  Fikih Media Sosial

Karena qiyas bukan bagian dari dilalat al-lafdzi, maka tidak ada teori pertingkatan seperti halnya dalam ‘ungkapan khusus yang dimaknai umum’. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, teori pertingkatan itu terbagi tiga bagian: pertama, tingkatan yang lebih tinggi kepada tingkatan yang lebih rendah (bi al-a’lâ alâ al-adnâ). Kedua, tingkatan yang lebih rendah kepada tingkatan yang lebih tinggi (bi al-adnâ alâ al-a’lâ). Ketiga, tingkatan yang setara dengan yang setara (bi al-musâwâ alâ al-musâwâ).

Contoh, di dalam ‘ungkapan khusus yang dimaknai umum’, kata ufin atau ‘ah’, memiliki  teori pertingkatan, yaitu tingkatan yang lebih rendah kepada tingkatan yang lebih tinggi (bi al-adnâ alâ al-a’lâ), artinya dalam konteks QS. Al-Isra ayat 23 bicara ‘ah’ kepada orang tua saja tidak boleh, apalagi memukulnya, menghardiknya atau menghinanya.

Sementara di dalam qiyas, teori pertingkatan ini tidak berlaku sebab metode pengambilan hukumnya bukan deduktif, melainkan analogi. Contoh: Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 9 yang intinya melarang praktik jual-beli saat akan melaksanakan ibadah shalat jumat. Pelarangan ini tidak hanya berlaku untuk penjual dan pembeli, tetapi berlaku juga untuk kaum muslimin yang sedang membaca, menulis, tidur, membangun rumah, dan lain-lain. Sebab ‘illat dari ayat ini adalah jangan meninggalkan ibadah shalat jumat.

Nampak semakin jelas perbedaan antara qiyas dengan ‘ungkapan khusus yang dimaknai umum’. Karena itulah menurut Ibnu Rusyd, wajar saja kelompok Dzahiriyah menolak qiyas, sebab penolakan terhadap qiyas tidak berarti menolak manthuq (hukum yang telah disebutkan), namun bila menolak kaidah ‘ungkapan khusus yang dimaknai umum’, sama saja dengan menolak satu macam dalam kaidah kebahasaan, sebab masih dalam ruang lingkup teks atau lafadz (min bâb al-sam’i).

HUKUM YANG DIAMBIL DARI PERBUATAN (FI’L)

Jika dalam bahasan lafadz semua bentuk taklifi—seperti wajib, mandub, mubah, makruh dan haram—disebutkan, maka di dalam bahasan ini hanya tiga bentuk saja: wajib, mandub dan mubah, sebab semua perbuatan Nabi SAW mustahil kita hukumi makruh atau bahkan haram. Karena itulah menurut Ibnu Rusyd, sebagian besar umat Islam menerima hal ini sebagai jalan mendapatkan hukum, namun sebagian kaum tidak menyutujuinya sebab menurut mereka perbuatan Nabi SAW tidak memutuskan suatu hukum karena tidak memiliki bentuk (al-af’alu laisat tufidu hukman idz laha shiyagh).

Dengan kata lain, alasan golongan yang menolak perbuatan (af’âl) Nabi SAW sebagai sumber hukum syariah karena tidak jelas bentuk taklifinya, tidak seperti perkataan (lafdz) Nabi SAW yang cukup tegas dalam menentukan bentuk hukum taklifinya (wajib, mandub, mubah, makruh dan haram).

Sementara menurut golongan yang menerima perbuatan (af’âl) Nabi SAW sebagai sumber hukum syariah, mereka berbeda pendapat: ada yang mengatakan bahwa perbuatan Nabi SAW dihukumi wajib, ada pula yang menghukuminya sebagai mandub. Kemudian muhaqqiqin menengahinya menjadi empat bagian, yaitu: Pertama, Jika perbuatan Nabi SAW itu menjelaskan hukum wajib dari teks yang masih mujmal, maka perbuatan Nabi SAW itu berkonotasi wajib. Kedua, jika perbuatan Nabi SAW menjelaskan hukum mandub dari teks yang masih mujmal, maka perbuatan Nabi SAW itu berkonotasi mandub. Ketiga, jika perbuatan Nabi SAW tidak menjelaskan wajib atau mandub hanya mujmal saja, maka apabila perbuatan itu dapat mendekatkan pada Allah (qurbah), dihukumi mandub. Selanjutnya keempat, jika termasuk mubah, berarti perbuatan Nabi SAW tersebut menunjukkan hukum mubah.

HUKUM YANG DIAMBIL DARI KETETAPAN (IQRÂR)

Berbeda dengan lafadz (lafdz) dan perbuatan (fi’l), ketetapan (iqrar) Nabi SAW dalam hukum syariah hanya menunjukan kebolehan saja (al-jawaz). Dan yang dimaksud dengan ketetapan Nabi SAW adalah Nabi Muhammad tidak melarang juga tidak mewajibkan suatu persoalan. Contoh Nabi SAW tidak melarang dan mewajibkan sahabat makan daging biawak.

Demikianlah macam-macam metode yang dapat diterima dalam menyimpulkan sebuah hukum.

Wallahu a’lam…

 

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar