Santri Cendekia
Home » Analisa Isi Kandungan dan Terjemahan al-Burdah kedalam Basa Sunda

Analisa Isi Kandungan dan Terjemahan al-Burdah kedalam Basa Sunda

Al-Burdah merupakan salah satu karya sastra penting yang lahir dari buah tangan pujangga besar asal Mesir Imam al-Busyiri. Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah Syaraf ad-Din Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin Muhsin bin ‘Abdillah bin al-Shanhaj bin Mallal al-Busyir. Lahir pada tahun 1211 masehi, al-Busyiri dinisbahkan pada tempat kelahirannya, yaitu Busyir. Ayah al-Busyiri berasal dari Dallash, sehingga oleh as-Suyuti misalnya, ia juga dipanggil dengan al-Dilasi.[1]

Menurut Fadhil Munawwar Mashur, syair al-Burdah sendiri telah ditulis pada abad ke 13 Masehi, yakni pada masa transisi perpindahan kekuasaan Dinasti Ayyubiyah ke Dinasti Mamluk.[2] Keindahan susunan bahasanya yang teratur membuat syair yang menggunakan akhiran “mimiyat” ini mudah dihafal. Selain itu burdah juga dapat dibaca dengan berbagai lagu. Sehingga menurut Eko Setiawan, al-Burdah menjadi satu-satunya puisi kesusastraan bahasa Arab yang paling kuat bertahan.[3]

Menurut Asep Solikin, bait-bait al-Burdah dapat dikategorikan sebagai karya sastra Islam karena di dalam kandungan teksnya memuat cerita biografi Nabi Muhammad SAW dan berisi ajaran-ajaran tasawuf yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menjadi pijakan kehidupan spiritualnya.[4] Sementara menurut Nawiroh Vera, syair al-Burdah adalah karya sastra yang diilhami oleh keadaan sosiologis dan kondisi psikologis pengarangnya.[5]

Seorang kritikus sastra Arab, Zaki Mubarok, pernah menganggap remeh al-Burdah, ternyata berbalik mengakui nilai-nilai estetika yang amat tinggi pada karya Imam Busyiri ini. Bahkan De Tascy, seorang pengamat sastra Arab dari Universitas Sorbonne Prancis, yang pertama kali menerjemahkan Burdah dalam bahasa Prancis, menyatakan sampai saat ini belum ada penyair kontemporer Arab yang dapat menirukan teks-teks al-Burdah.[6]

Isi kandungan syair al-Burdah yang berjumlah 160 bait secara keseluruhan mengungkapkan perasaan cinta Imam al-Busyiri yang dalam kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk untaian pujian. Struktur pujian tersebut disampaikan dengan suasana dan perasaan takzim, haru, sedih, dan menyesal serta diungkapkan dalam nada bercerita, berdoa, dan menasehati. Tidak hanya itu, syair yang ditulis oleh Muhammad al-Busyiri ini juga berisikan tema-tema sufistik, yaitu sekitar taubat, zuhud, khauf dan raja’, dan mahabbah. Hal tersebut dikarenakan menurut Rose Aslan, Imam al-Busyiri merupakan seorang praktisi tasawuf.[7]

Di Indonesia, syair al-Burdah begitu popular lantaran menjadi salah satu kitab-kitab maulid yang sering dibaca pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Kecenderungan Imam al-Busyiri dalam orientasi sufistik juga menjadi faktor utama mengapa umat Islam di Nusantara dapat menerima syair al-Burdah dengan mudah.[8] Di Jawabarat, tepatnya di Ciamis, pada abad ke-19 syair al-Burdah diterjemahkan ke dalam basa Sunda lengkap dengan keadaan sosio-budayanya oleh KH. Ahmad Fadlil.

Baca juga:  Pandangan Edward Said tentang Orientalisme (Bagian I)

KH. Ahmad Fadlil adalah seorang kiayi dari Ciamis yang sangat menyukai karya sastra Islam. Pada tahun 1929, KH. Ahmad Fadlil mendirikan pondok pesantren Darussalam Ciamis. Di tahun 1950 KH. Ahmad Fadlil meninggal dunia dalam usia 40 tahun. Sayangnya keberadaan makam sang kiayi berkarakter unik ini urung ditemukan, namun karya sastranya berupa penerjemahan syair al-Burdah kedalam basa Sunda dapat dinikmati hingga saat ini di pesantren-pesantren Jawabarat.[9]

Motif utama KH. Ahmad Fadlil menerjemahkan syair al-Burdah kedalam basa Sunda lantaran dirinya sangat menyukai sastra Arab yang kaya akan bahasa metafor (Majaz). Di sisi lain, kiprah KH. Ahmad Fadlil tersebut merupakan upaya yang ”berani” di tengah khilafiyah ihwal eksistensi berkesenian di kalangan para ulama, terutama seni musik sufistik. Tampaknya Ahmad Fadil mengambil jalan moderat dalam menyikapi khilafiyah tersebut.[10]

Menurut Fadlil Yani, untuk dapat menerjemahkan teks al-Burdah dengan baik dan benar, seseorang perlu mempelajari ilmu balaghah terlebih dahulu.[11] Sebab kalau syair al-Burdah ditinjau dari sisi ekspresif termasuk genre puisi perasaan, yaitu perasaan penyairnya (Imam al-Busyiri), sedangkan ditinjau dari sisi objektif termasuk puisi cerita, yaitu teks yang bercerita tentang pujian penyair terhadap Nabi Muhammad SAW. Adapun dari segi bentuk, al-Burdah termasuk puisi tradisional yang terikat dengan aturan wazan (rhyme).[12] Oleh karenanya, tidak sembarang orang dapat memahami dan menerjemahkan bait-bait al-Burdah.

Terjemahan kedalam basa Sunda yang dilakukan oleh KH. Ahmad Fadlil ternyata mendapat perhatian khusus dari para penyambutnya, terutama dari kalangan santri yang hidup di pesantren-pesantren Jawabarat, lantaran teks al-Burdah diterjemahkan dengan gaya bahasa terjemahan yang natural, tersampaikannya amanat secara komunikatif. Keindahan lainnya yang terkandung dalam terjemahannya adalah adanya kesamaan irama antara teks al-Burdah dengan teks terjemahannya.

Mari kita perhatikan dan telaah bagaimana KH. Ahmad Fadlil menerjemahkan bait al-Burdah dari 13 sampai 19 di bawah ini:

فَإِنّ أَمّارَتِ بِالسّـوءِ مَا اتّعَظَتْ ۞ مِنْ جَهْلِهَا بِنَذِيرِ الشّيْبِ وَالَهَرَمِ
وَلَا أَعَدَّتْ مِنَ الفِعْلِ الَجَمِيْلِ قِرَى ۞ ضَيْفٍ أَلَمَّ بِرَأْسِي غَيْرَ مُحْتَشِمِ
لَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنِّـي مَــا أُوَقّـــــــــِرُهُ ۞ كَتَمْتُ سِرًّا بَدَا لِيْ مَنْهُ بِالكَتَمِ
مَنْ لِي بِرَدِّ جِمَاحٍ مِنْ غَوَايَتِهَا ۞ كَمَا يُرَدُّ جِمَاحُ الَخَيْلِ بِاللُّجُمِ
فَلاَ تَرُمْ بِالْمَعَاصِيْ كَسْرَ شَهْوَتِهَا ۞ إِنّ الطَّعَامَ يُقَوِّيْ شَهْوَةَ النَّهِمِ
وَالنّفْسُ كَالطّفِلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى ۞ حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
فَاصْرِفْ هَوَاهَا وَحَاذِرْ أَنْ تُوَلِّيَهُ ۞ إِنّ الْهَوَى مَا تَوَلَّى يُصِمْ أَوْ يَصِمِ

Baca juga:  Khilafah di antara Trauma dan Nostalgia

“Nafsu kuring nu ngaberung tina kabodoan mangprang. Teu nampi piwuruk huis reujeung pikun oge sami.

Henteu daek amal soleh kanggo nyuguh tamu linggih. Bodas baas dina sirah estu teu ngaraos lami.

Mun kasusul ku panemu kuring mo hormat ka tamu. Pengheulanan huis teras ditutup pacar katami.

Cing saha atuh bisa ngered nafsu nu keur merod. Cara ngered kuda merod ku kadali nu utami.

Ulah neja ku ma’siat megatan hawa nafsuna. Da dahar gening nguatan kana kagembulan jalmi.

Nafsu cara orok lamun teu disapih tonggoy resep. Kana nyusu mun disapih tangtos eureun moal lami.

Kered bekuk hawa nafsu montong tunduk sabab hawa. Nafsu matak nyacad atawa mateni jalmi-jalmi.”

Gaya terjemahan yang digubah oleh KH. Ahmad Fadlil mengikuti ritme teks asli dari al-Burdah yaitu menggunakan akhiran “mimiyat” atau berima i-i-i-i. Dalam karya-karya amatiran, rima biasanya digunakan sebagai pemanis suatu puisi atau syair. Biasanya penggunaan tersebut tidak memperhatikan pola-pola dan struktur yang ada. Namun, KH. Ahmad Fadlil dengan cermat dapat membuat suatu terjemahan yang tidak kalah indah dengan teks aslinya, bahkan struktur naratifnya sangat berpola, secara makna juga sarat mendalam. Sehingga terjemahan yang dihasilkan justru seolah melahirkan karya sastra yang baru.

Oleh karenanya, terjemahan al-Burdah kedalam basa Sunda dapat kita pandang sebagai bagian dari warisan khazanah intelektual Islam yang ada di Nusantara. KH. Ahmad Fadlil memang piawai dalam mengolah kata menjadi kalimat yang terstruktur dan rapi, sehingga melahirkan karya terjemahan yang diapresiasi oleh banyak orang, terutama kalangan santri yang bermukim di pesantren-pesantren Jawabarat.

Selain itu, karya KH. Ahmad Fadlil merupakan sumbangan terhadap kesusastraan tatar Sunda, sebab mampu menghadirkan diksi yang dibangun dengan kreativitas pilihan kata yang seringkali tak terduga. Istilah-istilah Jawa juga kerap digunakan secara kreatif, seperti kata mateni, dan pengaruh bahasa Arab bercitarasa sufistik juga kerap menghiasi terjemahan basa Sunda al-Burdah karya KH. Ahmad Fadlil ini.

Penerjemahan al-Burdah yang dilakukan oleh KH. Ahmad Fadlil ini juga seolah mewakili ekspresi lokalitas sufistik yang diungkapkan dengan rasa dan sastra Sunda. KH. Ahmad Fadlil seakan ingin menunjukan bahwa orang Sunda cenderung lebih didominasi perasaan keislamannya. Tidak seperti Jawa yang didominasi budaya Jawa kraton, orang sunda merasa ‘tidak memiliki’ pusat kekuasaan tradisional pasca runtuhnya Kerajaan Sunda tahun 1579, sehingga Islam mengambil alih peran itu.

Baca juga:  Kritik Wael B Hallaq terhadap Fondasi Orientalisme (Bagian III)

Upaya yang dilakukan oleh KH. Ahmad Fadlil kemudian ditumbuh-kembangkan oleh putranya: KH. Irfan Hielmy. Olehnya, pengajian al-Burdah yang satu paket lengkap dengan terjemahan Sunda serta penjelasannya secara intens diajarkan di depan ribuan santri Darussalam Ciamis. Pengajian al-Burdah kemudian dikembangkan lebih jauh lagi oleh KH. Fadlil Yani Ainusyamsi (putra KH. Irfan Hielmy dan cucu KH. Ahmad Fadlil) dengan memberikan sentuhan musik modern, dan kerap dijadikan media terapi alternatife.[13]

Dengan demikian kesimpilannya adalah terjemahan al-Burdah karya Imam al-Busyiri kedalam basa Sunda oleh KH. Ahmad Fadlil pada abad ke-19 semakin menambah khazanah intelektual Islam Nusantara dan kesusastraan tatar Sunda. Terjemahannya sangat indah hingga diapresiasi oleh banyak orang.

—-

[1] Ulin Nihayah, “Qasidah Burdah Imam Al-bushiri; Model Alternatif Dakwah Pesantren”, dalam Jurnal ANNIDA, Vol. 7, No. 1, 2015, hlm. 22-23.

[2] Fadhil Munawwar Mashur, “Resepsi Kasidah Burdah Al bushiri dalam masyarakat pesantren”, dalam HUMANIORA Vol. 18, No. 2, 2006, hlm. 102.

[3] Eko Setiawan, “Nilai-Nilai Religius dalam Syair Shalawat Burdah”, dalam LiNGUA Vol. X, No. 1, 2015, hlm. 2.

[4] Asep Solikin, “Nilai-Nilai Spiritual Sufistik Qasidah Burdah dalam Meningkatkan Religiusitas”, dalam Anterior Jurnal, Vol. 15, No. 1, 2015, hlm. 23.

[5] Nawiroh Vera, “Derrida’s Deconstruction Analysis To Representation Of Love And Longing Message in “Burdah” Text”, dalam International Journal of Management and Applied Science Vol. 3, No. IV, 2017, hlm. 101.

[6] Muhammad Baharun, Burdah Madah Rosul dan Pesan Moral, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1996), hlm. 19.

[7] Rose Aslan, “Understanding The Poem Of The Burdah In Sufi Commentaries”, dalam Thesis di The American University in Cairo, 2008, hlm. 30.

[8] Muhammad Adib, Burdah: antara kasidah, mistis, dan sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), hlm. 29.

[9] Admin Pondok Pesantren Darussalam Ciamis, “Sejarah”, 16 Maret 2013 – 11:42 WIB, http://www.darussalamciamis.or.id/post/read/3/sejarah.html, diakses pada 20 Agustus 2017 – 09:29.

[10] Fadlil Yani Ainusyamsi, “Internalisasi Nilai-Nilai Sufistik Melalui Musikalisasi Qashidah Burdah”, dalam EDUCATIONIST Vol. III, No. 1, 2009, hlm. 50.

[11] Fadlil Yani Ainusyamsi, “Internalisasi Nilai-Nilai Sufistik…” hlm. 49.

[12] Fadhil Munawwar Mashur, “Resepsi Kasidah Burdah…” hlm. 106.

[13] Fadlil Yani Ainusyamsi, “Internalisasi Nilai-Nilai Sufistik Melalui Musikalisasi Qashidah Burdah”, dalam EDUCATIONIST Vol. III, No. 1, 2009, hlm. 52-55.

Sosok Fadlil Yani Ainusyamsi

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar