Santri Cendekia
Home » Kebijakan Antimonopoli Umar bin Khattab

Kebijakan Antimonopoli Umar bin Khattab

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

          Ada hal menarik yang menggelitik saya untuk membuat tulisan malam ini. Mendengar pernyataan Nusron Wahid dalam pegelaran ILC 14 agustus malam tentang silent majority. Tentang 10 orang yang menguasai kekayaan 80% orang Indonesia.

            Tiba-tiba saya teringat seorang pemimpin hebat yang mungkin tidak akan ada lagi yang penggantinya, Umar bin Khattab Al-Faruq ra. Dalam biografi Umar yang ditulis oleh Syeikh Ali Muhammad Ash-shallabi, bisa kita simak bagaimana kebijakan Umar bin Khattab dalam mengelola Kharaj.

            Kharaj memiliki dua makna yaitu makna umum dan makna khusus. Dalam makna umum berarti sumber pendapatan baitul mal selain zakat. Sedangkan dalam makna khusus adalah pajak bumi yang ditarik dari wilayah-wilayah yang ditaklukan oleh pasukan islam dengan kekuatan senjata[1]. Kebijakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kharaj ini, adalah membagi-bagikannya kepada pasukan muslimin setelah peperangan selesai. Hal ini terjadi pada perang Khaibar, perang terakhir melawan yahudi [2].

            Umar bin Khattab, setelah mendapatkan banyak kemenangan, terutama kemenangan terhadap dua kekuatan digdaya, Romawi dan Persia. Tentu mendapatkan banyak kharaj atau tanah tanah yang subur. Awalnya, Kharaj atau tanah-tanah yang subur dan berlimpah ini, akan dibagikan-bagikan Umar kepada pasukan muslimin persis dengan langkah yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW. Namun, Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal tidak setuju dengan pendapat Umar, karena ini akan mengakibatkan terjadinya penguasaan segelintir orang terhadap asset dan pendapatan besar Negara. Tentu ini akan mengakibatkan orang-orang islam yang datang setelah mereka tidak akan mendapatkan sisa apa-apa[1].

Baca juga:  Ilmu Ushul Fikih Pada Periode Imam Syafii

            Akhirnya Umar condong kepada pendapat Ali dan Muadz dan mengqiyaskannya dengan Fa’I yang dibahas pada surat Al-Hasyr ayat 7-10.

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
(Al-hasyr 7-10).

        Bahwa dalam keempat ayat ini, menurut Umar, Fa’I dan kharaj itu diperuntukan bagi muslimin di masa kini dan masa sekarang.

Baca juga:  Mengenal Pendekatan Kontekstualisme ala Abdullah Saeed (2)

         Tentu ada penolakan oleh beberapa sahabat seperti Bilal bin Rabbah, Zubair bin Awwam, dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum. Tentu pendapat mereka juga bisa dimaklumi. Mengapa mereka tidak boleh menerima harta fa’I yang sudah Allah halalkan untuk mereka. Namun dengan argument yang kuat, akhirnya Umar berhasil meluluhkan hati para sahabat mulia itu[1].

          Jika ada yang berpendapat bahwa kebijakan Umar menyelisihi pendapat Rasulullah SAW. Ini adalah pendapat yang nyeleneh, ngawur, gagal paham. Rasulullah memang pernah membagikan harta kharaj di perang Khaibar. Tapi ingat, ketika Rasulullah menaklukan makkah, Rasulullah tidak membagi-bagikan tanah makkah kepada muslimin. Ini artinya, kebijakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membagikan tanah kharaj hukumnya adalah ibahah (boleh), bukan wajib. Itulah mengapa Umar berani mengambil kebijakan untuk tidak membagi-bagikan tanah kharaj kepada muslimin[1].

          Sebuah hikmah dan keteladanan yang Umar tunjukan dalam kebijakan ini, adalah sebuah kebijakan luar biasa yang dapat menjadi contoh bahwa Islam itu adalah agama yang sudah menyiapkan solusi untuk mencegah terjadi dan tumbuhnya oligopoli atau monopoli yang dianggap sebagai bibit kapitalisme. Kita tidak bisa mengatakan, “ya ini kan bukan kebijakan yang orisinil dari Islam, ini kebijakannya Umar”. Kita perlu ingat bahwa Umar menggunakan Al-Qur’an sebagai hujjah (Al-Hasyr 7-10) untuk menegaskan kebijakannya itu. Ditambah lagi dengan sunnah Rasulullah yang dihadirkan Syaikh Ash-shallabi tentang fathu makkah[1]. Al-Qur’an memberikan general guidance bahwa yang namanya harta dan kekayaan Negara, tidak boleh jatuh ke tangan segelintir orang, yang ada di segelintir jaman.

“supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (59:7)

Baca juga:  Perempuan Haid Boleh Puasa?

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor) (59:10)

        Dan begitu jernihnya bashiroh para sahabat yang berada di sekeliling Umar, sehingga pandangan mereka begitu jauh ke depan untuk kemaslahatan umat islam yang mereka cintai. Bashiroh yang jernih seperti ini, tidak mungkin lahir dari jiwa yang dipenuhi oleh syahwat dan tamak terhadap kehidupan dunia. Bashiroh jernih ini hanya dapat mungkin lahir dari jiwa – jiwa yang begitu dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla, ikhlas, dan yang mencintai umat dan rakyat sepenuh hati.  Lalu bagaimana dengan kita?

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi :

[1] “Biografi Umar bin Khattab”, Syaikh Ali Muhammad Ash-shallabi.

[2] “Ar-rahiqul Makhtum”, Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfury.

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar