Santri Cendekia
Home » Apa Guna punya Anak jika tak Soleh (As-Shaffat 100)

Apa Guna punya Anak jika tak Soleh (As-Shaffat 100)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

Ya Tuhanku, karuniakan aku anak yang shaleh”. (As-Shaffat : 100)

 

     Ketika Allah ‘Azza wa Jalla merekam doa-doa yang disampaikan oleh Rasul dan hamba-hamba-Nya yang shaleh di dalam Al-Qur’an, itu berarti doa tersebut memiliki makna yang dalam dan begitu indah apabila kita tadabburi. Sehingga memang salah satu keutamaan apabila kita berdoa dengan menggunakan lafadz-lafadz yang di rekan di dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah doa Nabi Ibrahim as ini. Doa untuk memohon keturunan yang sholeh.

     Manusiawi apabila kita merindukan hadirnya anak ditengah-tengah kita. Namun ada urusan yang lebih penting dari pada soal punya atau tidak punya anak. Yaitu apa motivasi kita untuk memiliki keturunan, dan mimpi apa yang kita tanamkan pada keturunan kita kelak, begitu menurut Ustad Herfi Ghulam Faizi Lc. Maka memiliki anak itu janganlah sekedar memiliki anak dalam arti biologis, namun juga harus dalam arti ideologis.

      Nabi Ibrahim, di usianya yang semakin senja, sudah mulai gelisah dan begitu merindukan kehadiran keturunan yang hadir di tengah-tengah keluarganya. Namun, kegelisahan Ibrahim bukanlah kegelisahan seperti manusia pada umumnya yang hanya berkutat pada persoalan punya atau tidak punya anak. Ibrahim gelisah, karena beliau khawatir siapakah yang kelak akan melanjutkan perjuangannya menegakan tauhid di muka bumi. Kegelisahan beliau begitu bermakna dan jauh di atas kegelisahan para pasutri kebanyakan hari ini. Itulah mengapa, doa yang beliau panjatkan bukan hanya sekedar “Robii hablii minal waladin/ auladin (anak/anak-anak)”. Tapi “Robbii hablii minashshalihiin (anak-anak yang sholih). Ibrahim memohon kehadiran anak yang soleh. Yang siap menjadi mewarisi perjuangan kesolehannya dan misi besarnya di muka bumi. Maka hadirlah Isma’il dan Ishaq yang sholeh dan meneruskan perjuangan tauhid ayahnya. Anak-anak biologis dan ideologis dari Nabi Ibrahim. Hingga lahir banyak Nabi dari rantai keturunan mereka, hingga terakhir sampai ke Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sayyidul anbiya wa khotamannabiyyin.

Baca juga:  Cinta Ramadhan 08: Sahur dengan Kurma

      Apa guna punya anak, jika tak soleh. Sudah lama dirindu kehadirannya, ketika datang hanya membawa masalah bagi orang tua, keluarga, dan orang-orang disekitarnya. Bahkan betapa banyak sekarang, orang-orang tua yang tidak memiliki ilmu yang cukup dalam mendidik anak. Prinsip dan ilmu yang ia tahu, “banyak anak banyak rezeki”. Akhirnya dia bikin anak sebanyak-banyaknya, tapi ia ‘lepas’ sehari-harinya, pagi keluar main, pulang hanya untuk makan atau ketika hari sudah gelap. Membesarkan anak hampir mirip dengan membesarkan ayam. Anak tidak diajari tentang fungsi hidupnya sebagai seorang hamba atau seorang khalifah di muka bumi. Akhirnya, yang ada hanya menambah jumlah sampah dan penyakit masyarakat. Lalu jika sudah seperti ini? Apa gunanya punya anak?

      Maka pun ketika kita sudah berdoa memohon anak yang sholeh, otomatis kita pun harus berusaha memantaskan diri dan keluarga kita agar siap menjadi wadah atau media yang kondusif bagi pertumbuhan anak-anak kita agar ia bisa menjadi anak yang sholeh. Ingat hadist Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yg menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Bukhari&Muslim). Orang tua dan keluarga lah yang memiliki andil paling pertama dan utama dalam perkembangan anak-anaknya. Lalu bagaimana soal lingkungan? Even dalam tahap tertentu, serusak apapun lingkungan masyarakat kita, jika orang tua berhasil menanamkan karakter-karakter kesolehan yang kuat pada anak, maka atas izin Allah, sang anak akan berhasil menghadapi dan mengatasi semua itu. Itulah mengapa sekarang mulai marak campaign-campaign soal parenting dan peran ayah untuk anak-anak dalam menghadapi kerusakan zaman yang makin menjadi ini.

Baca juga:  Doa yang Memenuhi Segala Hajat (Al-Baqarah 200-202 part 2)

      Maka, semoga pasangan-pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak hingga sekarang, Allah gerakan lisan dan hatinya untuk melafadzkan dan memaknai doa Nabi Ibrahim as ini. Jikapun akhirnya Allah menakdirkan hingga akhir hayat tidak memiliki anak biologis, maka kita selalu memiliki peluang untuk memiliki anak-anak ideologis. Karena sungguh kesolehan itu selalu akan dapat diwariskan. Banyak saya mendengar kisah pasutri yang ditakdirkan tidak memiliki anak, akhirnya memutuskan untuk mengadopsi atau mengasuh anak-anak yatim dan sebagainya. Jangan putus asa, tanpa anak biologis pun, kita masih memiliki peluang untuk beramal yang tak putus pahalanya dengan memiliki anak ideologis.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim)

Dengan anak ideologis, kita masih bisa mendapatkan peluang untuk memiliki pahala yang tidak terputus dengan sedekah jariyah kita dan ilmu bermanfaat yang kita wariskan kepada mereka. Misal kita sekolahkan anak-anak yatim atau kita asuh mereka dan kita ajarkan mereka ilmu-ilmu yang bermanfaat.

     Begitupun sebaliknya, tak usah terlalu berbungan dan membuncah-buncah rasa bangga di dada jika banyak anak. Karena punya banyak anak, namun tak bisa mendidik. Kelak malah akan menjadikan beban berlipat-lipat di hari akhir yang bisa menyeret kita ke neraka, na’udzubillahi min dzalik.

 

Allahu a’lam bishshawab

 

 

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar