Santri Cendekia
Home » Kalau Islam itu Sempurna, Mengapa Masih ada Squid Game?

Kalau Islam itu Sempurna, Mengapa Masih ada Squid Game?

Seong Gi-hun adalah seorang laki-laki yang hidupnya berantakan. Menumpang di rumah orang tuanya, cerai dengan istrinya, berpisah dengan anak perempuan, hobi berjudi, dan gagal dalam berbisnis. Kehidupan yang berantakan ini membuatnya terperangkap dalam jeratan utang yang kronis. Ingin keluar dari kemiskinan dan kejaran utang, Gi-hun memutuskan ikut dalam permainan yang mengancam nyawa di sebuah lokasi misterius.

Ternyata tak hanya Gi-hun, di tempat isolasi permainan yang misterius itu ia bertemu dengan 455 peserta lainnya. Semua peserta datang dari latar belakang yang sangat beragam. Masing-masing punya kepribadian, kisah hidup, dan rahasianya sendiri. Namun, semua peserta harus terpaksa mengikuti permainan berdarah demi mendapatkan uang untuk kembali mendapatkan rasa hormat dari lingkungan dan keluarganya. Pemenang dari permainan ini berkesempatan mendapatkan hadiah 45,6 juta won Korea. Besaran hadiah tersebut didapat dari nyawa setiap peserta yang dihargai sebesar 100 juta won kemudian dikali 456 peserta.

Permainan yang harus dilakoni amat sederhana, namun hadiah yang ditawarkan membuat peserta rela melakukan apa saja dan menghalalkan segala cara. Meski setiap peserta tidak harus memainkan permainan yang rumit dan merepotkan, kepolosan ini justru menjadi arena yang menantang maut: mereka tidak segan membunuh peserta lain, kalau tidak demikian mereka akan dibunuh. Setiap orang yang gagal dalam permainan pasti akan berujung kematian.

Begitulah kira-kira gambaran umum permainan bernama Squid Game ini. Banyak yang mengira itu hanya film. Jangan percaya orang semacam itu, mereka termakan hoaks! Buktinya, apa yang dikatakan si bapak tua kurang asem itu memang benar;

“Apa persamaan antara orang yang tidak memiliki uang dan orang yang memiliki terlalu banyak uang? Hidup tidak menyenangkan bagi mereka. Jika Anda memiliki banyak uang, apa pun yang Anda beli akan membosankan pada akhirnya,”

Baca juga:  Alokasi Zakat untuk Jihad Medis Melawan Covid-19

Tapi kebenarannya hanya pada bagian orang kaya itu. Setidaknya, jauh lebih nikmat dikejar-kejar duit daripada dikejar-kejar hutang. Nah, masalah hutang ini memang bikin mumet. Itulah yang membuat David Graeber, si antropolog-ekonom sekaligus aktivis Anarkis itu menulis Debt: The First 5000 Years.

Lilitan hutang yang menghilangkan kehormatan kemanusiaan tidak hanya duri dalam daging bagi mereka yang kejebak ikut Squid Game, tapi seluruh peradaban umat manusia hingga saat ini. Fenomena usury alias riba menjadi durinya yang paling tajam.  Banyak sistem yang muncul untuk meresponnya, salah satu yang disebut oleh Greaber adalah Islam dan sistem kembar masjid-bazaarnya. Jika ingin tahu lebih jauh, bacalah sendiri. Intinya, Islam melancarkan ‘serangan moral’ besar-besaran kepada sistem riba ini, bahkan institusi paling merendahkan seperti perbudakan pun, dibebaskan Islam dari sistem ini; kamu tidak jadi budak karena kebanyakan hutang.

Jika kita lihat memang salah satu upaya Islam membuktikan premisnya bahwa karamatul insaniyyah adalah God-given dan tidak bisa diambil siapapun. Termasuk oleh yang menghutangi. Mau dia tetangga kek, atau hantu dibalik apliaksi pinjol. Makanya, tak heran kalau salah satu yang behak dapat zakat adalah para gharimin. Sayangnya, Baznas, LazisMU, atau LazisNu tidak sempat mendengar kisah Seong Gi-hun.

Dengan zakat, Islam telah menunjukkan semangat sosial dan perlindungan antara mereka yang kaya untuk memperhatikan mereka yang miskin sehingga tidak adanya ketimpangan sosial yang terlalu menganga. Sebab di dalam zakat terdapat usaha penataan struktur sosial yang secara bertahap namun masif dilakukan oleh Islam.

Dasar perintah menunaikan zakat ini berawal dari keyakinan bahwa semua harta kekayaan yang ada di bumi merupakan milik Allah, sementara kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi (QS. Thaha: 20). Kepemilikan manusia dalam batas-batas menikmati dan memperdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik mutlak. Konsekuensi yuridisnya ialah tidak semua harta yang dimiliki adalah miliknya secara mutlak, melainkan di dalamnya terdapat hak orang lain (QS. Al-Dzariyat: 19).

Baca juga:  Fenomenologi Kebudayaan Muslim Zaman Kiwari

Mengutip Fikih Zakat Kontemporer yang disusun Majelis Tarjih, dalam QS. Al-Taubah ayat 60, sasaran zakat (mustahik) dalam ruang lingkup individu diberlakukan untuk enam golongan, di antaranya: pertama, orang-orang fakir (al-fuqara), yaitu orang yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, lansia yang tidak memiliki kekayaan dan penghasilan, dan kaum imigran yang menunggu penempatan di negara-negara tujuan.

Kedua, orang-orang miskin (al-masakin), yaitu orang yang kekurangan modal untuk usaha, dan orang yang menderita sakit dan tidak memiliki kemampuan berobat. Ketiga, pengelola zakat (al-‘amilin ‘alaiha), yaitu gaji/honorarium pimpinan/pegawai lembaga zakat. Keempat, muallaf (al-mu’allafat qulubuhum), yaitu pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan kerohanian kepada muallaf, lobby pengembangan dakwah dan spiritualitas, dan pelaksanaan dakwah komunitas.

Kelima, orang-orang yang memiliki utang (al-gharimin), yaitu memberikan bantuan biaya pelunasan utang kepada rentenir, membantu pelunasan biaya rumah sakit, dan membantu pelunasan biaya pendidikan tinggi. Keenam, ibnu sabil, yaitu memberikan bantuan kepada mahasiswa yang kekurangan biaya di perantauan di mana dia menempuh pendidikan tinggi, orang yang kehabisan bekal di perjalanan, membantu pemulangan TKI yang terlantar di luar negeri, dan membantu pemulangan jamaah haji yang terlantar di luar negeri.

Dengan adanya golongan-golongan yang berhak mendapatkan zakat, Islam tidak hanya memandang kekurangan harta sebagai sebuah sunnatullah yang berlaku pada manusia, namun juga menawarkan solusi pengentasannya. Meskipun kemiskinan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihilangkan secara mutlak, tetapi dengan adanya zakat dapat diatasi dan diperbaiki kualitasnya sehingga tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan.

Dengan demikian, bila masyarakat disiplin menunaikan zakat dan memberikan zakat tersebut secara tepat sasaran, maka orang-orang tidak perlu berlomba dalam permainan mematikan di Squid Game. Seong Gi-hun, seorang pengangguran yang terjerat utang, sangat berhak mendapatkan zakat.

Baca juga:  Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 3)

Tapi pertanyaannya, seperti pertanyaan yang kita tanyakan setiap kali berbicara tentang “yang seharusnya” dalam ajaran Islam; terus dimana lembaga zakat? Kenapa banyak yang ikut Squid Game?

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar