Santri Cendekia
Home Ā» Bagaimana Menulis Tesis dan Disertasi Islamic Studies dengan Framework Ilmu Sosial Humaniora? (1)

Bagaimana Menulis Tesis dan Disertasi Islamic Studies dengan Framework Ilmu Sosial Humaniora? (1)

Judul dari tulisan ini dibuat sederhana agar Anda tertarik untuk membacanya. Apa yang akan saya sampaikan sebenarnya cukup kompleks dan lumayan panjang, tapi mudah-mudahan bisa tersampaikan dengan baik.

Salah satu corak perkembangan studi Islam dewasa ini adalah sifatnya yang terhubung dengan bidang keilmuan yang lebih luas. Studi Islam tidak lagi melulu soal pengkajian teks-teks klasik, walaupun ini hemat saya tetap bagian yang sangat inti. Dalam perkembangan aktualnya, studi Islam, terutama yang lahir dari dunia akademia Barat, telah berdialog dengan bidang sosial humaniora yang lebih luas.

Ini perubahan yang positif hemat saya dan membawa dampak yang beragam. Pertama, mempertautkan antara studi Islam dengan bidang sosial humaniora akan menciptakan dialog dan percakapan akademik dengan audiens yang lebih luas. Karena berpijak dan menggunakan kerangka kerja ilmu sosial humaniora, maka bidang-bidang seperti studi Quran, hadis, atau fikih, tidak lagi hanya menjadi konsumsi para pengkaji pada bidang itu. Karya tulis pada tiga bidang ini akan menarik minat pula sarjana dari bidang seperti sosiologi, antropologi, politik, dan seterusnya.

Harus diakui, selama ini sarjana bidang-bidang islamic studies berbasis teks mengabaikan isu ini. Mereka hanya berdialog dengan diri mereka sendiri, tidak peduli apakah sarjana non-spesialis bisa mengikuti dan mengambil manfaatnya atau tidak. Mereka hidup dalam bubble (gelembung) dan terisoliasi, sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan sarjana dari disiplin lain.

Dampak positif kedua dari intermingling ini adalah studi Islam tidak lagi sekedar bersifat normatif, namun juga analitis. Studi Islam memang first and foremost harus berangkat dari mentalitas confessional: Islam dikaji untuk diamalkan. Tetapi jangan lupa, Islam selain sebuah doktrin dan jalan hidup, juga adalah fenomena sosial kemasyarakatan dan fakta historis. Bagi orang awam, pemahaman mereka terhadap Islam pada level pertama mungkin cukup. Bagi ilmuwan, Islam dalam tingkatan kedua ini juga harus disadari dan dipahami dengan analitis. Oleh karena itu, dengan membawa studi Islam berdialog dengan bidang sosial budaya, maka kita akan memiliki kekayaan pemahaman tentang Islam sebagai fenomena kemanusiaan yang sangat kompleks.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara mem-frame studi Islam dengan sudut pandang ilmu sosial humaniora? Bagaimana kajian yang kita lakukan bisa menjadi menarik bagi sarjana di luar bidang kita? Bagaimana menambah daya analitis pada diri studi kita? Jawabannya tentu saja bisa beragam.

Baca juga:  Bagaimana Menulis Tesis dan Disertasi Islamic Studies dengan Framework Ilmu Sosial Humaniora? (2)

Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan semua kemungkinan jawaban. Dalam tulisan ini, saya akan fokus menguraikan satu problem yang paling banyak mendapatkan perhatian oleh para pengkaji Islamic Studies di dunia Barat, baik para pengkaji muslim atau non-muslim, yaitu isu kelanjutan dan perubahan. Jadi apa yang kita saksikan pada momen pilpres ini sebenarnya tidak lain adalah refleksi dari perkembangan dalam studi Islam. (Hehe, becanda saja. Yang terakhir ini jangan diambil serius.)

Isu kelanjutan dan perubahanĀ 

Salah satu cara membawa kajian Islamic Studies kita keluar dari zona sempitnya adalah dengan menggunakan sudut pandang isu continuity and change (keberlanjutan dan perubahan). Topik ini berhubungan erat dengan isu kemoderenan, tradisi, dan identitas epistemik umat Islam. Isu ini mengkaji tentang apa yang bertahan dan berubah dalam ruang sejarah dan cara berpikir umat Islam.

As a matter of fact, isu ini sebenarnya dapat dikatakan isu inti yang paling banyak dikaji dalam studi Islam di dunia Barat. Penelitian-penelitian yang mengkaji Islam atau masyarakat muslim dari disiplin sosiologi dan antropologi umumnya melihat obyek studi dengan kacamata isu ini. Bahkan bidang-bidang yang mengkaji Islam dari perspektif teks, seperti tafsir, hadis, sufisme, dan fikih-usul fikih, atau bidang seperti pendidikan, juga banyak menggunakan sudut pandang ini.

Pada tulisan berseri ini saya akan menggambarkan terlebih dahulu apa itu kemoderenan, terutama kemodernan sebagai suatu periode waktu yang berdampak pada perubahan tatanan sosial dan cara berpikir umat manusia. Agar bisa memproblematisasi riset Anda dari sudut pandang isu kemodernan, diperlukan pemahaman terlebih dahulu mengenai apa itu kemodernan. Anda perlu paham dulu urutan berfikirnya.

Memahami apa itu kemodernan?

Dalam kajian sosial humaniora, kemodernan sebenarnya tidak sekedar bermakna satu dimensi waktu, tetapi juga perubahan apapun yang terjadi dan melekat di dalam ruang waktu tersebut. Dari sudut pandang waktu atau kesejarahan, para pengkaji berbeda bendapat tentang kapan kemodernan dimulai. Saya telah menguraikan topik ini dalam buku saya Integrasi Studi Islam, Sains, dan Sosial Humaniora. Saya tidak perlu mengulangnya kembali di sini, pembaca silahkan merujuk ke buku tersebut.

Baca juga:  Perubahan Fikih dan Usul Fikih dalam Kajian Sosial Humaniora (2)

Namun di luar persoalan asal usul waktu, apa fitur yang identik dengan kedatangan zaman baru ini? Saya mengidentifikasi, setidaknya ada lima aspek perubahan dalam masyarakat yang bisa kita sebut sebagai bagian inheren dari kemodernan. Pertama, penciri pokok dari zaman modern adalah kemunculan alat-alat produksi, komunikasi dan transportasi yang berbasis teknologi mutakhir, seperti kereta api, telegraf, telepon kabel, listrik, mesin cetak, dan seterusnya.

Kedua, penciri dari zaman modern adalah perubahan cara berpikir yang diciptakan zaman baru. Menurut sudut pandang ini, zaman modern adalah zaman rasional. Ketiga, penciri zaman modern adalah sistem ekonomi nya yang bersifat kapitalis dan corak birokrasi yang berbasis pada peran pemerintah dalam sistem negara bangsa. Pada bidang terakhir, masyarakat dianggap telah memasuki fase kemodernan ketika corak pemerintahan yang mereka tidak lagi berbasis kesukuan atau kerajaan.

Keempat, penciri kemodernan adalah perubahan pada masyarakat akibat dari tiga aspek yang telah disebutkan sebelumnya. Perubahan komunal tersebut sangat banyak, misalnya terjadinya gelombang peralihan dari desa ke kota atau urbanisasi, dan pergeseran corak profesi atau pekerjaan dari basis agraria ke basis mesin atau disebut sebagai industrialisasi. Perubahan lainnya adalah meningkatnya tingkat literasi. Akibat dari penemuan mesin cetak, maka kemampuan membaca tidak lagi sekedar monopoli kaum elit, khususnya agamawan. Perubahan selanjutnya adalah penyebaran informasi yang masif dan lahirnya kultur media masa.

Kelima, penciri selanjutnya dari zaman modern adalah cara hidup dan cara berfikir. Zaman modern terjadi ketika kita melihat fenomena di mana manusia tidak lagi terikat pada identitas sosial yang komunal. Tetapi ia berdiri sendiri sebagai makhluk otonom. Zaman modern dengan kata lain telah menciptakan individualisme.

Isu lain yang mendasar terkait dengan kemodernan adalah persoalan mengenai di mana ia bermula. Terkait dengan hal ini, para pengkaji cenderung bersepakat bahwa kemodernan adalah produk dunia Barat, terutama jika yang digunakan sebagai ukuran adalah lima manifestasinya di atas.

Namun demikian, sekalipun berasal dari sejarah yang spesifik, seiring dengan berjalan nya waktu, kemodernan kemudian menjadi fenomena global. Di luar Barat, modernisasi terjadi pertama-tama melalui kolonisasi, tetapi kemudian proses ini dilanjutkan oleh agen-agen internal: diteruskan oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan yang menjadi pendiri-pendiri bangsa modern.

Baca juga:  Bermusyawarahlah seperti Ibrahim (Ash-Shaffat : 102)

Dampak kemoderenan

Bagi dunia non-Barat, kemodernan membawa dampak yang sangat dahsyat, yaitu terjadinya perubahan tatanan tradisional. Di dunia Islam, perubahan sendiri sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Perubahan telah terjadi secara terus menerus dalam sejarah. Tapi kata para ahli, tidak ada perubahan yang lebih besar dampaknya daripada perubahan yang dibawa oleh kemodernan yang datang dari Barat. Marshal Hodgson menyebut ini dengan bahasa yang cukup sensasional, yaitu the great Western transmutation.

Perubahan ini memiliki dua wajah sebenarnya, yaitu positif dan negatif sekaligus. Perubahan positif misalnya meningkatnya literasi terhadap al-Quran, hadis, dan tradisi intelektual masa lalu. Akibat dari ditemukannya dan diterimanya mesin cetak di dunia Islam, maka sumber pengetahuan yang bersifat tertulis bisa dicetak secara masif dan kemudian menjadi konsumsi publik sangat luas. Ahmad El-Shamsy menulis satu buku terkait dengan ini. Ia menceritakan bagaimana percetakan telah memungkinkan sarjana muslim dapat membaca karya-karya intelektual yang tidak ada dalam kurikulum pendidikan mereka di madrasah. Mesin cetak telah memungkinkan manusia pada abad dua puluh bisa membaca kitab al-Umm, karya magisterial dari Imam Syafii, yang sebelumnya hanya mereka kenal judulnya melalui sumber sekunder.

Namun demikian, perubahan akibat kemodernan juga telah menciptakan dampak negatif, misalnya tergerusnya peran organik masyarakat dan ulama, digantikan oleh institusi pemerintahan yang hegemonik dalam sistem negara bangsa. Perubahan negatif lainnya adalah tentu saja penjajahan itu sendiri dan kehancuran sistem politik tradisional Islam.

Hanya saja, yang juga perlu dicatat adalah bahwa apa saja yang merupakan perubahan positif dan negatif di tengah masyarakat sebenarnya adalah domain yang contested. Ini ruang terbuka yang selama ini diperdebatkan para aktor sejarah dan masih bisa diperdebatkan oleh kalangan ilmuwan, termasuk oleh Anda yang menulis tesis atau disertasi.

Dalam kesarjanaan Islam, ada beberapa intelektual, seperti Wael Hallaq misalnya, yang cenderung memandang peyoratif dan negatif perubahan-perubahan akibat kemoderenan ini. Saya akan kembali kepada tokoh ini pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini.

Avatar photo

Muhamad Rofiq Muzakkir

Direktur Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar