Santri Cendekia
Home » Bagimu yang Belum Mengenal Sunnah

Bagimu yang Belum Mengenal Sunnah

Pengertian Sunnah

Secara etimologis sunnah (Arab ; sunnah) berarti jalan, tradisi, adat kebiasaan, model atau pola bertindak dalam menjalani hidup secara umum mencakup  yang baik atau pun  yang buruk.  Misalnya penggunaan kata sunnah di dalam hadis Nabi saw man sanna sunnatan sayyiatan[1]. Sebagian ahli bahasa seperti al-Azharī menghususkan pemakaian kata sunnah kepada tradisi yang baik atau jalan yang lurus saja.

Dalam Al-Qur’an, kata sunnah dan sunan (yang kedua, dalam bahasa Arab, jamak dari yang pertama) digunakan sebanyak enam belas kali. Dalam seluruh kasus ini, kata ini digunakan dalam pengertian “aturan, model kehidupan, dan garis perilaku yang baku.” [2] Di dalam literatur bahasa Arab awal hingga kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fikih pada masa awal kata sunnah digunakan dalam pengertian yang beragam, misalnya (1) praktik keagamaan non-wajib yakni yang dibuktikan melalui sunnah, salah satu dari empat sumber hukum; (2) model perilaku Nabi saw.[3]

Abu al-Bāqi menyatkan bahwa kata sunnah juga digunakan untuk tradisi-tradis lain selain yang berasal dari Nabi saw dan para sahabatnya. Sedangan menurut asy-Syāfi’ī, kata sunnah memang dihusukan pemakaiannya kepada apa yang berasal dari Rasulullah. Karena sunnah sebagaimana telah kita lihat tadi berarti ‘model kehidupan’ dan seterusnya. Maka ketika Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjadikan Rasullah saw sebagai suri teladan, ungkapan ‘sunnah Nabi’ pun mulai digunakan. Hal ini telah dimulai sejak masa hidupnya Nabi dan dilakukan oleh Nabi sendiri[4] yang bisa dilihat di dalam beberapa  hadisnya. Argumen untuk itu juga tersirat di dalam riwayat al-Bukhārī  dari Ibn Syīhab ketika ia bertanya kepada Sālim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, mengenai makna kata as-sunnah di dalam perkataan Sālim

ان تريد السنة فهجر بالصلاة

Sālim menjawab bahwa yang diikuti di dalam perkara tersebut adalah sunnah Rasulullah. As-Suyūthi ketika mengomentari riwayat ini menyatakan bahwa perkataan Sālim yang merupakan salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah menunjukan bahwa penggunaak kata sunnah bagi mereka (ulama awal) dikhususkan kepada sunnah Nabi saw[5].

Kedua pendapat di atas dapat dijembatani oleh kesimpulan M. M. Azami, bahwa untuk menunjukan sunnah yang berasal dari Nabi digunakan kata as-sunnah dengan ditambahkan huruf alif lam. Dua pola penggunaan kata sunnah ini terus berlangsung kedati penggunaan sunnah dalam artian umum semakin hari semakin berkurang. Pada akhir abad ke-2 Hijriyah penggunaan kata sunnah sudah hampir secara khusus untuk norma-norma yang berasal dari Nabi saw atau hadis deduksi dari petunjuk Nabi saw.[6]

Secara umum ulama telah mereduksi makna tradisi atau model kehidupan yang terkandung di dalam sunnah, menjadi makana yang lebih khusus dari pengertian kebahasaannya. Mereka menggunakannya untuk perbuatan-perbuatan yang membentuk tradisi dalam kehidupan keagamaan yang berasal dari Nabi saw atau para sahabatnya.[7] Namun demikian terdapat perberdaan pengertian sunnah secara terminologis di antara ulama ushul fikih, fikih, dan ulama hadis sendiri.

Bagi ulama usuhul fikih sunnah adalah sumber tasyrī’ kedua setelah Al-Qur’an, mereka mendefenisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan atas suatu perkara. Asmsi mereka adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw merupakan petunjuk atas cara Nabi saw mengamalkan Islam.[8]  Oleh karena itu mereka menyatakan bahwa asal (ushūl) syariat adalah al-Kitāb dan as-Sunnah.  

Penggunaan kata sunnah yang lain ada pada terminologi ulama fikih. Bagi mereka sunnah merupakan sifat syar’i dari amalan-amalan agama yang diperintahkan oleh syāri’ tanpa keharusan. Dimana orang yang mengerjakannya mendapatkan pahal sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapatkan hukuman. Sunnah adalah kebalikan dari wajib, dalam pengertain ini sunnah berarti sesuatu yang dianjurkan (al-mandūb atau al-mustahab).

Para ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat, atau pun perilaku hidupnya. Sunnah bagi ulama hadis mencakup kelima aspek ini.

Sunnah dan Hadis

Pengertian sunnah secara bahasa telah dijelaskan di atas. Adapun hadis (Arab: hadits), secara etimologis berarti ‘komunikasi’, ‘kisah’, ‘percakapan’ ; baik yang religius, sekular, historis, maupun kontemporer. Bila dgunakan sebagai sifat, hadits berarti baru. Di dalam Al-Qur’an kata ini digunakan sebanyak 23 kali dengan pengertian beragam sebagaimana arti etimologisnya, begitu pula penggunaannya di dalam hadis-hadis Nabi saw.[9] M. M. Azami menyimpulkan bahwa kata hadis dalam pemakaiannya di dalam riwayat-riwayat mengandung arti ‘kisah’ atau ‘komunikasi’. Pada masa awal-awal Islam , kisah dan komunikasi Nabi saw mendominasi seluruh komunikasi saat itu, maka kata hadis pun mulai digunakan hampir secara khusus untuk riwayat tentang atau dari Nabi saw[10].

Ulama hadis terutama kalangan mutaakhirīn dominana menggunakan kata sunnah dan hadis dalam pengertian yang sama, yang satu dapat menggantikan tempat yang lainnya. Mereka menggunakan kedua kata ini jika merujuk pada ucapan, perbuatan, atau ketetapan  yang khusus untuk Nabi saw.[11] Sedangkan ulama hadis yang lain menggunakan kata sunnah secara khusus yakni meliputi perbuatannya saja, atau aplikasi syariat sejak masa Rasulullah hingga akhit periode sahabat[12].  Di dalam penelitan ini, kata sunnah dan hadis digunakan dengan makna yang sama mengikuti penggunaan ulama hadis mutakhirīn.

Kehujahan Sunnah

Baca juga:  Pembaruan dalam Studi Hadis dan Astronomi

Para ulama muhaqqiq telah menetapkan banyak hukum-hukum syariat dengan berlandaskan sunnah, hal itu karena mereka telah menetapkan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam dan sah dijadikan hujah.[13] Memang ada kelompok yang disebut inkaār as-sunnah yaitu mereka yang tidak mengkui status kehujahan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Namun kelompok yang cikal bakalnya telah ada sejak periode tābi’īn ini adalah kelompok yang kecil, argumen-argumen mereka lemah dan telah dibantah oleh para ulama[14].

Kehujahan sunnah ditetapkan  berdasarkan otoritas yang dibrikan Allah swt kepada Rasul-Nya yang diekspresikan di dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah mewajibkan umat Islam untuk taat kepada Rasul-Nya, bahkan menyertakan ketaatan kepada diri-Nya sendiri misalnya di dalam ayat berikut ;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[15]

Allah memerintahkan kita untuk mejawab dan tidak menyalahi seruan Rasul-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu”[16

Tidak boleh bagi setiap mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, memilih dan memilah hukum yang telah ditetapkam oleh Rasululah ;

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”[17]

Allah swt bersumpah bahwa tidak ada keimanan bagi siapa saja yang berpaling dari hukum yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya. Begitu juga mereka yang tidak mau menerimanya secara sukarela dan penuh ketundukan. Lebih dari itu, menerima atau menolak ketetapan hukum dari Rasulullah merupakan garis pemisah antara keimanan dan kemunafikan :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[18]

وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ  وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم مُّعْرِضُونَ

“Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)”. Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.”[19]

Selain dalil-dalil dari Al-Qur’an di atas, juga terdapat banyak hadis yang menunjukan kehujahan sunnah. Salah satu hadis yang cukup terkenal adalah hadis mengenai wejangan Rasulullah saw kepada sahabat Muadz bin Jābal ketika hendak mengutusnya ke Yaman. Di dalam hadis tersebut Rasulullah saw meridhai jawaban Muadz bahwa ia akan menjadikan sunnah sebagai sumber menetapkan hukum setelah Al-Qur’ān.[20]

Kehujahan sunnah juga ditunjukan oleh ijma’ atau konsensus dari para sahabat, dan hal itu terlihat dari cara mereka menetapkan hukum sepeninggal Rasulullah saw dimana mereka melaksanakan perintah-perintah serta menjauhi larangan-larangan yang diajarkan Rasulullah baik yang tertulis di dalam Al-Qur’an maupun yang bersumber dari Rasulullah sendiri[21]. Para Khalifah Rāsyidīn bila menghadapi persoalan yang tidak mereka temui penjelasannya secara eksplisit di dalam Al-Qur’an akan merujuk kepada sunnah Rasulullah. Misalnya ketika Khalifah Abu Bakar dihadapkan pada persoalan kewarisan seorang nenek yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an, Abu Bakar akhirnya memberikan nenek itu satu per enam sesuai dengan sunnah yang disampaikan oleh al-Mughīrah dan Muhammad bin Maslamah.[22]

Fungsi dan Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an

Secara umum, sunnah dapat dikatan sebagai sumber kedua ajaran Islam di dalam semua aspeknya dari akidah, ibadah, akhlak hingga muamalah. Sunnah menduduki kedudukan yang istimewa terhadapa Al-Qur’an.,  Sayyidah ‘Aisyah ra menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw adalah Al-Qur’an, dan Rasulullah adalah sumber dari sunnah. Sehingga sunnah dapat dikatakan sebagai   tafsiran praktis dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an[23]. Selain itu sunnah juga menjelaskan hal-hal yang masih samar di dalam Al-Qur’an, menjabarkan yang masih global, dan menunjukan maksud dari lafal-lafal yang maknanya tidak dijelskan. Bahkan sunnah juga punya otoritas menetapkan hukum-hukum serta kaidah-kaidah sendiri yang tidak ditetapkan di dalam Al-Qur’an namun tetap sejalan dengannya.[24]

Baca juga:  Cinta Ramadhan 11: Dengki Yang Boleh

Para ulama telah menjelaskan kedudukan suhan terhadap Al-Qur’an di dalam tiga bentuk.[25] Pertama : sunnah menetapkan kembali untuk menguatkan ketetapan-ketetapan hukum yang telah diletakan oleh Al-Qur’an, misalnya hadis-hadis yang menjelaskan lima kewajiban yang merupakan rukun agama Islam. Di dalam hadis-hadis seperti itu ditegaskan kembali kewajiban salat, puasa, zakat, dan haji. Padalah ketetapan wajibnya perkara-perkara tersebut telah dijelaksan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.[26]

Kedua :  sunnah adalah penjelas bagi ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi diutusnya Rasulullah saw sebagaimana yang disebutan di dalam ayat :

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”[27]

Sunnah menjelaskan Al-Qur’an di dalam beberapa segi;

(1) Memerinci ketentuan yang masih global. Di dalam Al-Qur’an ada banyak amalan-amalan ibadah yang wajib namun tidak dijelaskan secara rinci mengenai tata cara atau waktu pelaksaannya misalnya salat, haji atau zakat. Ketentuan rinci dan praktis dari ibadah-ibadah tersebut dapat diketahui dari sunnah ;

(2)Menghususkan ketentuan-ketentuan yang masih umum. Misalnya Al-Qur’an menghalalkan jual beli secara umum di dalam ayat 275 surah al-Baqarah, kemudian sunnah mengeluarkan jenis-jensi jual berli tertentu yang terlarang dari kehalalan jual beli;

(3) Memberikan batasan (taqyīd) kepada ketentuan yang masih mutlak, misalnya ketentuan tentang wasiat di dalam Al-Qur’an tidak dibatasi jumlah tertentu, sunnah lalu memberikan batasan bahwa harta yang diwasiatkan maksimal sepertiga ;

(4) menerangkan ayat-ayat yang problematis. Misalnya ayat 82 surah al-An’ām yang berbunyi :

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Pernyataan dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman di dalan ayat tersebut sulit dipahami oleh para sahabat karena mereka merasa bahwa mereka pasti pernah berbuat zalim di dalam hidup mereka. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa makna kata ظُلْمٍ di dalam ayat tersebut adalah kesyirikan;[28]

(5) sunnah menjabarkan hal-hal yang dibahasa secara ringkas di dalam Al-Qur’an. Kisah sekelompok orang-orang beriman yang disiksa di dalam parit yang disebut Ashāb al-Ukhdūd hanya disampaikan secara ringkas di dalam Al-Qur’an, sunnah kemdian menceritakan panjang lebar peristiwa tersebut[29];

(6) sunnah menasakh hukum-hukum tertentu yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Annaskh adalah menghilangkan hukum syariat dengan perintah syariat yang datang belakangan.[30] Permasalahan menasakh Al-Qur’an dengan sunnah masih diperselisihkan oleh para ulama, namun salah satu contoh yang dapat diajukan adalah persoalan wasiat kepada ahli waris. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah swt memerintahkan untuk  mewasiatkan harta termasuk kepada orang tua yang termasuk ahli waris,[31] hukum ini kemudian dinasakh oleh hadis Rasulullah saw bahwa seorang ahli waris tidak boleh mendapatkan harta wasiat;

(7) sunnah menetapkan cabang-cabang hukum (al-furū’) bagi pokok-pokok hukum (al-ushūl) yang ditetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya hukum haramnya jual beli ijon yang ditetapkan oleh sunnah adalah hukum cabang dari haramnya jual beli dengan zalim dan tanpa keridhaan yang tertera di dalam Al-Qu’an[32].

Sebagaiana yang dijelakan oleh asy-Syāfi’ī, dua fungsi sunnah di atas yakni sebagai penguat dan penjelas Al-Qur’an adalah fungsi sunnah yang telah disepakati oleh para ulama [33]. Fungsi ketiga yakni sunnah sebagai pembuat ketetapan baru yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an merupakan fungsi sunnah yang masih diperselisihkan.[34].  Ada empat pendapat ulama dalam hal ini, namun menurut as-Sibā’ī, perbedaan pendapat bukanlah tentang keberadaan sunnah yang menetapkan ketentuan yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Perbedaan  tersebut sebenarnya mengerucut kepada satu pertanyaan ; mungkinkah sunnah menetapkan suatu ketentuan syariat secara independen ataukah ketentuan-ketentuan tersebut sebenarnya masih merupakan kandungan dari ayat-ayat Al-Qur’an?[35]

Para ulama yang menyatakan bahwa sunnah dapat menetapkan suatu ketetapan syariat secara independen bergargumen bahwa hal itu sangat rasional karena Rasulullah saw adalah seorang yang maksum, jadi tidak mungkin beliau berbuat salah. Allah swt memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah kenabian dengan metode apa saja yang baik, entah itu dengan menyampaikan kandungan Al-Qur’an atau beliau memberikan ketentuan sendiri. Disamping itu ada banyak sekali ayat-ayat yang menyertakan ketaatan kepada Allah dengan ketaatan kepada Rasul-Nya, ketaatan kepada Allah swt adalah taat kepada Al-Qur’an sedangkan ketaatan keada Rasulullah berarti mematuhi sunnah-sunnahnya. Jika sunnah tidak independen dalam beberapa penetapan syariat, tentu yang disebutkan hanya ketaatan kepada Allah saja. Ada banyak hadis yang menunjukan bahwa  syariat Islam dibangun di atas dua pondasi secara bersama-sama yaitu Al-Qur’an dan sunnah.[36]

Ulama yang berpendapat bahwa sunnah tidak bisa menetapkan sesuatu secara independen juga memiliki argumen mereka sendiri. Asy-Syāthibī  sebagai salah satu ulama yang berpendapat demikian menyatakan bahwa makna sunnah akan selalu kembali kepada ketentuan Al-Qur’an.  Karena sunnah adalah penjelas bagi Al-Qur’an sesuai tugas Rasulullah yang disebutkan di dalam surah an-Nahl : 44. Maka tidak akan ditemukan suatu ketetapan di dalam sunnah yang tidak ditunjukan maknanya oleh Al-Qur’an, meskipun hanya ditunjukan secara tersirat saja. Pembesar mazhab Mālikiyah di Andalusia ini juga berdalil dengan keterangan singkat yang padat dari ‘Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an. Akhlak mencakup perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang meruapakan komponen sunnah. Jadi semua yang ada di dalam sunnah telah terckup oleh Al-Qur’an. Dalil lainnya adalah ayat-ayat yang menunjukan bahwa Al-Qur’an menerangkan segala sesuatu misalnya surah al-An’ām ayat 38 atau al-Māidah ayat 3 mengenai telah sempurnanya pewahyuan Al-Qur’an. Jadi sunnah pun dicakup oleh Al-Qur’an[37].

Baca juga:  Sehebat Itukah Imam Syafi'i?; Kritik Pada Tesis Schacht

Menurut Musthāfa as-Sibāb’ī perbedaan yang terjadi di antara kedua kelompok ulama di atas hanyalah perdebatan lafdzī. Karena pada hakikatnya kedua kelompok itu mengakui adanya fungsi sunnah untuk meletakan hukum-hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Akan tetapi kelompok pertama menyebut penetapan tersebut sebagai penetapan yang independen, sedangkan yang lainnya menganggap hukum-hukum tersebut sebenarnya telah disinggung oleh Al-Qur’an secara implisit.[38]

Penyebutan secara implisit yang dimasudkan di atas bisa dilihat dari lima sisi. (1) Al-Qur’an menunjukan wajibnya menaati Rasulullah saw yang berarti mengamalkan sunnahnya, jadi setiap pengamalan terhadap sunnah secara tidak langsung juga merupakan pengamalan terhadap Al-Qur’an ;  (2)Al-Qur’an mnyebutkan sesuatu secara global dan sunnah menjabarkannya. Segi ini telah masyhur di kalangan ulama; (3) Al-Qur’an menetapkan maksud-maksud umum syariat (maqāshid asy-syar’iyyah), hukum-hukum yang ditetapkan sunnah adalah untuk mewujudkan makdsud-maksud tersebut ; (4) Al-Qur’an menetakan hukum-hukum yang mengandung illat tertentu, kemudian sunnah menetapkan suatu hukum berdasarkan illat tersebut dengan cara ‘qiyas’ ; (5) hukum-hukum terperinci yang ditetapkan sunnah kembali kepada ketetapan tertentu di dalam Al-Qur’an. Misalnya ketika Ibn ‘Umar menceraikan istrinya dalam keadaan haid kemudian Rasulullah saw memerintahkannya rujuk kembali dan menunggu sampai tiga kali quru’ sebelum ia mengambil keputusan apakah diceraikan atau dipertahankan. Tuntunan Rasul tersebut kembali kepada nas Al-Qur’an yaitu ayat pertama surah at-Thalāq ayat.[39]  

[1] Ibn Manzhūr, Lisān al-‘Arab, (Kairo : Dār al-Ma’ārif, tt), hal 2124 ; M. M. Azami, Memahami Ilmu Hadis, alih bahasa Meth Kieraha, cet. ke-3,(Jakarta: Lentera Basritama, 2003), hal 25 ; ‘Abd al-Ghanī ‘Abd al-Khāliq, Hujjiyah as-Sunnah, (al-Manshūrah: Mathāli’ al-Wafā, tt), hal. 45 ; Badran Abu al-‘Ainaini Badran, Ushūl al-Fiqhi al-Islāmī, (Iskandariyah: Muassasah Syabāb al-Jamā’ah, tt), hal. 75.

[2] M. M. Azami, Memahami Ilmu Hadis…hal. 25.

[3] Ibid,

[4] Ibid, hal 26.

[5] Al-Amīn ash-Shādiq al-Amīn, Mauqif al-Madrasah al-‘Aqliyyah min as-Sunnah an-Nabawiyyah, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1997), hal 26.

[6] Ibid.

[7] Badran Abu al-‘Ainaini Badran, Ushūl al-Fiqhi al-Islāmī,….hal, 85.

[8] Ibid, hal 86 ; Yūsuf al-Qaradhāwi, Pengantar Studi Hadis, alih bahasa Agus Suyadi. R dan Dede Rodin, cet. ke-1, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal 20.

[9] M. M. Azami, Memahami Ilmu Hadis…hal. 23.

[10] Ibid.

[11] Subhi as-Shālih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, alih bahasa Tim Pustaka Firdaus, cet. ke-8, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2006), hal 21.

[12] Al-Amīn ash-Shādiq al-Amīn, Mauqif al-Madrasah al-‘Aqliyyah….hal, 30.

[13] Badran Abu al-‘Ainaini Badran, Ushūl al-Fiqhi al-Islāmī,….hal, 81.

[14] Ali Mustafa Yakub, Kritk Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hal 41 ; Yūsuf al-Qaradhāwi, Kaifa Nat’āmal ma’a as-Sunnah an-Nabwiyah, (Kiro : Dār asy-Syurūk, 2004), hal 50.

[15] Q. S. An-Nisā (04): 59, juga terdapat misalnya di dalam ; Q.S. An-Nisā (04) : 80 ; Q. S. An-Nūr (24): 54; Q. S. Al-A’rāf (7) : 158;Q. S. Ali ‘Imran(3) :  31; Q. S. Al-Hasyr (57): 7.

[16] Q. S. Al-Anfāl (8): 24.

[17] Q. S. Al-Ahzāb (33): 36.

[18] Q. S. An-Nisā’ (4): 65.

[19] Q. S. An-Nūr (24): 47-48.

[20] Badran Abu al-‘Ainaini Badran, Ushūl al-Fiqhi al-Islāmī,….hal, 81, riwayat dari Muadz bin Jābal tersebut diriwayatkan oleh at-Tirmīdzi dan Abū Dawud, ia berkata sanadnya padaku tidak bersambung. Al-Jurjāni bahkan menganggapnya hadis yang bāthil, tetapi dikuatkan oleh Ibn al-‘Arabī bahwa ia adalah hadis yang masyhūr. Meskipun hadis ini diperselisihkan, tetapi amalan para sahabat telah cukup sebagai pegangan terhadap kehujahan sunnah. Lihat keterangannya di ;  Musthāfa as-Sibā’i, as-Sunnah wa Makānatuhā fī Tasyrī’ al-Islāmī, (ttp : Dār al-Warrāq, 2000), hal 412.

[21] Ibid, hal 82.

[22] Yūsuf al-Qaradhāwi, Pengantar Studi Hadis…hal, 83.

[23] Yūsuf al-Qaradhāwi, Kaifa Nata’āmal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, (Kairo: Dār asy-Syurūk, 2004), hal 25.

[24] Al-Amīn ash-Shādiq al-Amīn, Mauqif al-Madrasah al-‘Aqliyyah….hal, 39.

[25] Muhammad bin Idrīs asy-Syāfi’ī, ar-Risālah, edisi Ahmād Muhammad Syākir, (Beirut : Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, t.t. ), I:91 ; Musthāfa as-Sibā’i, as-Sunnah wa Makānatuhā…,hal 414.

[26] Ibid,

[27] Q. S. Al-Anfāl (16) : 45.

[28] Imād ad-Dīn Abū al-Fidā’ Ismā’il ibn al-Katsīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qurān al-‘Azhīm, (Beirut: Dār al-Kutūb al-‘Ilmiyyah, 2009), II:139.

[29] SAHIH MUSLIM BAB QISAH ASHAB UKHDUD, KITAB ZUHUD

[30] ‘Abd al-Karīm Zaidan, al-Wajīz fi Ushūl al-Fiqh, (Beirut : Muassasah ar-Risālah Nāsyirūn, 2009), hal 306.

[31] Q. S. Al-Baqarah (2) : 180.

[32] Q. S. An-Nisā’ (4) : 29.

[33] Muhammad bin Idrīs asy-Syāfi’ī, ar-Risālah,…hal, I:93.

[34] Ibid.

[35] Musthāfa as-Sibā’i, as-Sunnah wa Makānatuhā…,hal 415.

[36] Ibid, hal. 419.

[37] Asy-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, (ttp : Dār Ibn ‘Affān, 1997), IV : 314.

[38] Musthāfa as-Sibā’i, as-Sunnah wa Makānatuhā…,hal, 420.

[39] Ibid, hal 421-425.

 

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

2 komentar

Tinggalkan komentar