Santri Cendekia
Home » Bencana dan Dilematisasi Muslim

Bencana dan Dilematisasi Muslim

Oleh: Muhammad Azzam Al Faruq

Adalah sebuah keniscayaan, meyakini waktu terus berputar. Tak pelak, sekalian rekaman yang lalu pastinya turut membekas seiring langkah maju ke hadapan. Masih teringat di benak kita, bagaimana dunia ditimpa musibah virus corona (covid-19) di tahun 2020 silam. Tak dapat disangkal, bahwa manusia dengan ‘kedigdayaanya’ di muka bumi dibuat tunduk takluk dihadapan makhluk Tuhan sebesar lensa mikroskop dapat memandang. Nyaris, peradaban manusia lumpuh tak bisa berdiri tegak seperti semula. Ribuan nyawa melayang, dan selebihnya merenggang lara di pembaringan.

Meskipun demikian, usaha demi usaha terus diberikan. Muslihat manusia berpadu daya berusaha ‘bernegosiasi’ dengan makhluk hidup tak kasat mata. Beragam upaya dan rekayasa konstruk sosial dibuatnya. Tak lain dengan tujuan memulihkan dunia sama sedia kala. Pun, hasilnya yang dinanti tak kunjung jua. Tentunya, manusia tak kehabisan akal membendung wabah virus ini semakin meraja lela.

Sampai memasuki tahun 2021 yang diharapkan ‘lebih baik’, toh ternyata harus rela ekspetasi manusia terbalik. Khususnya di Indonesia, rentetan kejadian menyedihkan terus mentiruskan wajah ibu pertiwi. Sejak jatuhya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu (9/1/2021), tanah air terkaget-kaget bak disambar petir. Belum selesai sampai disitu, tanah longsor di Sumedang (9/1/2021), erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta (14/1/2021), dan banjir di beberapa wilayah di Kalimantan Selatan (14/1/2021) ikut menyusul kepedihan bangsa. Seterusnya,  gempa bumi di Majene dan Mamuju (15/1/2021), erupsi gunung Semeru di Lumajang (16/1/2021), dan terakhir banjir dan tanah longsong yang mendera Kota Manado (16/1/2021) waktu setempat. [dihimpun dari berbagai sumber].

Beradu Sudut Pandang

Serangkain bencana-bencana yang terjadi secara beruntun ini menyisakan rasa beraneka ragam pada masing-masing kepala manusia. Oleh sebagian kaum beriman, mereka meyakini sekiranya bencana yang terjadi merupakan teguran dari Sang Pencipta disebabkan kesalahan dan dosa yang telah diperbuat nyata. Maka, untuk menebus akibat ‘kemarahan’ Tuhan tersebut, manusia diperkenankan untuk bertaubat dan bersabar menanggung penderitaan. Sekilas, narasi demikian terdengar melakonlis dan membuat manusia menjadi pasif menerima kenyataan. Manusia digambarkan lunglai, pasrah, dan akhirnya hanya bisa menyerah sembari memupuk rasa ikhlas di dada. Dan agama di jadikan sandaran dan legitimasi oleh mereka.

Baca juga:  Usul Fikih dan Penemuan Hukum Berbasis Paradigma Maqasidi

Sebaliknya, Bagi sebagian lain beranggapan bila bencana tidak datang dengan sendirinya. Pastinya, terdapat kausa logis yang sebagian berakibat pada insiden tragis. Misalnya, malapetaka tanah longsor disebabkan minimnya daerah resapan air di dataran tinggi suatu wilayah. Penyebabnya beragam, pembalakan hutan liar, masifnya pembuatan lahan menjadi ladang, pembangunan tanpa memperhatikan sistem irigasi, dll. Pemahamannya, air yang turun dari hujan tidak langsung meresap ke dalam tanah. Sebagai dampak, postur tanah menjadi lentur dan mudah bergerak meluncur seiring hukum gravitasi bumi. Sehingga, longsor (terbis) pun tak terhindarkan lagi.

Dari kerangka konsepsi ini, tak ayal bila terdapat suara miring atas pemahaman keagamaan sebelumnya. Alih-alih perbaikan etika dapat memaknai bencana ke arah yang positif, bagi kalangan ini melihatnya dengan pemandangan yang sumbang. Mereka lebih memilih untuk menginvestigasi kronologis dan mengusut tuntas biang keladi pemicu perkara terlaksana. Jalan ini dirasa lebih rasional dan beralasan, daripada mengisarkan dan mentanggungkan kepada entitas sakral dan supranatural. Kacamata mereka menyiratkan agama membelenggu kesadaran merdeka manusia. Persis yang diucap Dipa Nusantara Aidit, tokoh komunis Indonesia, “agama itu candu masyarakat !”.

Rantai yang Tak Terputus

Tak pelak, jika dirunut ke belakang kedua fragmen golongan ini masih memiliki korelasi kuat atas pemikiran pada tradisi intelektual di masa lampau. Khususnya Islam yang telang malang melintang di penjuru buana raya. Dalam diskursus Ilmu Kalam, tersebutlah sekte Jabariyah dan Qodariyah. Secara garis besar, paham Jabariyah menitik beratkan setiap perbuatan manusia semata pada kehendak Allah swt (fatalisme). Manusia laksana wayang yang senantiasa digerakkan oleh dalang pada panggung pementasan. Dengan begitu, menurut aliran ini manusia terbebas dari pelbagai klaim dosa-pahala, dan tidak ada tanggung jawab berarti di akhirat kelak.

Berseberangan dengan kelompok berikutnya, Qadariyah mengamini setiap perbuatan yang terlahir semata berasal dari kehendak manusia. Sedangkan, Allah swt tidak dapat mengintervensi setiap takdir yang tercipta. Dan pada akhirnya, manusia memilki beban tanggungan atas perbuatan yang mereka kerjakan. Sementara Allah swt memiliki kans untuk mengganjar atau menghukum setiap perbuatan manusia di dunia dengan setimpal. Doktrin ini pun, selanjutnya diadopsi oleh paham Mu’tazilah dalam prinsip lima (Ushul al-Khamsah) mereka.

Alhasil, dua gejolak ini mengisyaratkan segi pemikirannya yang terkesan berada di ujung dan berlebihan. Bagi yang memahami gerak langkah kehidupan tak lain hanyalah ilusi dari kekuasaan ilahi, telah terjebak pada bekas pemikiran Jabariyah. Adapun yang mencoba mengkontra-narasikan aspek kehidupan dapat ditelusuri secara faktual, di samping melupakan qudrah dan iradah Tuhan semesta alam, pula terjerembat pada liang aliran Qadariyah. Kedua ragam berpikir ini lah yang pada konteks kebencanaan mengemuka dan baku tuduh mendakwa anti-produktifitas dalam menjawab problematika yang ada.

Baca juga:  Harapan Ulama Muhammadiyah Untuk Presiden Jokowi

Itikad Mengompromikan

Sekalipun untuk saat ini belum terjadi polarisasi di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi ada baiknya stigma-stigma yang telah beredar perlu didudukan bersahaja dan dicari titik temunya. Menyikapi persimpangan cara memandang ini, penulis teringat akan konsep sebab-akibat (kausalitas) yang dicetuskan Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali. Sepintas, Imam Al-Ghazali melihat alam -dengan segala lini dimensi- tidak terlepas dari pengaruh Tuhan. Termasuk rumusan yang berjalan di kehidupan ini (sunnatullah). Tuhan memiliki andil yang signifikan dalam menentukan konklusi akhir sebab-akibat. Sebab, jika alam dengan sendirinya mengatur mestinya mekanisme yang berjalan menatijahkan hasil yang pasti. Akan tetapi, realitanya berbicara lain. Seperti dalam kisah Nabi Ibrahim as tatkala dibakar, api tidak menghanguskan jasad sang nabi. Ataupun, kelahiran Nabi Isa as dari rahim maryam yang tidak diawali oleh aktivitas bilogis pada umumnya. Artinya, hubungan sebab-akibat tidak bersifat absolut melainkan probabilistik. Dan kesemuanya, dikembalikan kepada Allah swt yang memiliki hak prerogatif atas ciptaanya semuanya.

 Terkait bencana alam, tentunya tak keluar dari otoritas-Nya yang aktual di luar. Sebagai orang yang mengimani eksistensi Allah swt, dari sekian kemungkinan yang bakalan terjadi mutlak bahwasanya Dialah causa prima (sebab utama). Selain-Nya, tak lain ialah causa proxima yang menggiringi sebab utama. Jadi, perusakan lingkungan bukanlah penentu satu-satunya bencana yang berlangsung. Makanya, memadakan pada penelisikan fisikal saja adalah suatu perbuatan tak adil kepada Yang Maha Kuasa. Andaikata disertai cibiran pada praktek keagamaan yang dikira dogmatis lagi mengekang seputar tindak tanduk sabar-ikhlas-tawakkal. Lebih-lebih menggugat dan memungkiri kewenangan-Nya.

Akan tetapi, memusatkan pada-Nya tanpa ada niatan ikhtiar memperbaiki termasuk pula tindakan tercela. Ajaran moral agama yang menghendaki pemeluknya menghiasi diri dengan segenap akhlak terpuji, bukanlah dijadikan pembenaran alias destinasi terakhir yang dipunyai. Islam sendiri, tidak membatasi peranan individu dalam berbuat sesuatu. Sekalipun hal tersebut bukan sebab pemutus segala sesuatu. Maksudnya, kriminalisasi terhadap pelaku perusakan lingkungan harusnya tetap digencarkan. Guna menanggulangi efek bencana yang pastinya tak diinginkan bersama.

Baca juga:  Ketentuan Puasa dalam Mazhab Syafii dan Hambali

Khulashah

Akhir kata, keimanan akan takdir/nasib wajiblah seimbang. Tidak condong ke kanan yang bertalian semboyan pasrah, sadrah, sumarah kepada Tuhan. Maupun condong ke kiri dengan menafikkan kedigdayaan Tuhan. Prinsip yang dipegang ummat adalah yang mencirikan sikap tengah dan moderasi beragama. Dalam hal ini, Muhammadiyah telah jauh-jauh hari menekankan pentingnya konsep “ummatan wasatan” lewat produk ijtihadnya nan terbaharukan, yaitu Fikih Kebencanaan hasil godokan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dan disahkan pada Musyawarah Nasional Tarjih melalui SK No. 102/KEP/I.0/B/2015 tertanggal 29 Syakban 1436 H bertepatan dengan 16 Juni 2015. (www.m.republika.co.id).

‘Ala kulli hal, diluar semua dialektika sekitar musibah dan posisi yang harus dipilih, seorang muslim seyogyanya dapat mengambil ibrah dan hikmah yang tesembunyi di balik penciptaan-Nya. ‘Ulul Albab, agaknya begitu Allah swt menyematkan pada tiap-tiap muslim yang konsisten mengaitkan Allah swt di setiap ahwal kehidupan (Qs. 3:190-191). Dan mengenai wabah dan musibah, sikap terbaik yang harus ditempuh muslim tak lain tak bukan men-istirja’-kan keyakinan, lisan, dan perbuatan. Syahdan, kesabaran adalah jawaban atas penderitaan (Qs. 2:155-156). Iyyaka na’budu wa iyyaka nast’ain.[]

*Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Fakultas Ushuluddin, Alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019).

Muhammad Azzam Al Faruq

Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019. Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar