Santri Cendekia
Home » Beragama Perspektif Psikologi

Beragama Perspektif Psikologi

Oleh: Muhammad Hasnan Nahar*

Berbagai cabang ilmu mempelajari agama sebagai salah satu bentuk usaha untuk menerapkan analisis ilmiah pada agama. Setiap cabang ilmu mengambil data terkait keagamaan dan mempelajarinya dari sudut pandangnya sendiri, salah satunya adalah psikologi.

Secara khusus psikologi agama memusatkan perhatian pada semua kegiatan dan ide keagamaan sebagai bentuk penjagaan watak dan budaya manusia. Sehingga yang didekati oleh pikologi bukanlah kepada Tuhan di dalam agama itu sendiri, melainkan kepada perilaku agama yang ditunjukkan pemeluknya. Psikologi dalam kapasitasnya tidak berada pada posisi mengurusi kebenaran agama tetapi kepada bagaimana agama berperan dalam kehidupan manusia.

Tentang Psikologi

Psikologi berasal dari bahasa Yunani “psyche” yang berarti jiwa dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Secara etimologi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. Secara umum psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan berbagai proses mental.

Sejarah psikologi dapat kita klasifikasi menjadi dua waktu, yakni waktu sebelum psikologi menjadi ilmu dan sesudah psikologi menjadi sebuah ilmu. Dua waktu ini dibatasi dengan berdirinya laboratorium psikologi yang pertama di Leipzig pada tahun 1879 oleh Wilhem Wundt.

Sebelum berdiri sendiri menjadi suatu ilmu, psikologi merupakan bagian dari ranah kajian filsafat yang konsen terhadap jiwa dan ranah kajian ilmu faal (pengetahuan alam). Sehingga pendekatan yang digunakan pada psikologi sebelum menjadi suatu ilmu banyak menggunakan pendekatan dari keduanya.

Para filsuf yang kemudian mempunyai minat dengan hal kejiwaan mencoba untuk merancang hal yang terkait dengan jiwa. Seperti halnya Plato dan Aristoteles.

Plato (427-347 SM) menganggap manusia memiliki tiga kekuatan rohaniyah yang disebut dengan trichotomi, yakni kekuatan pikiran yang ada di kepala, kekuatan kemauan yang ada di dada dan kekuatan keinginan yang berada diperut. Aristoteles (384-322 SM) membagi jiwa manusia dalam dua hal yang disebut dengan dichotomy yaitu berfikir dan berkehendak.

Berangsur-angsur psikologi melepaskan diri dari corak filsafat dan bersentuhan dengan ilmu pengetahuan alam. Pertemuan psikologi dengan ilmu pengetahuan alam kemudian memunculkan sebuah aliran baru psikologi, yakni psikologi asosiasi.

dalam mempelajari jiwa, psikologi asosiasi menggunakan metode analitik sintesis, yaitu memandang alam ini terdiri dari unsur-unsur dan dengan demikian, menganggap jiwa itu  pun terdiri dari unsur-unsur. John Stuart Mill (1806-1873) asal Inggris merupakan salah satu tokohnya.

Baca juga:  "Aisyah", Musik, dan Hijrah Casing

Menurutnya, jiwa diibaratkan sebagai sebuah mesin yang bergerak secara mekanis menurut hukum-hukum tertentu. Dan jiwa merupakan sesuatu yang bersifat pasif dan hukum-hukum yang menggerakkan jiwalah yang aktif.

Kemudian masuklah kepada periode psikologi memisahkan diri dan menjadi sebuah ilmu. Wilhem Wundt mengatakan, mengapa sudah tidak selarasnya faal menaungi psikologi “Jiwa dan badan berdiri sendiri tidak saling mempengaruhi, karenanya ilmu pengetahuan alam tidak ada hubungannya dengan psikologi.”

Jiwa disini adalah psikologi yang membahas mengenai jiwa dan badan yang merupakan bentuk dari perumpamaan ilmu pengetahuan alam yang mengkaji mengenai unsur (fisika, biologi, kimia).

Psikologi Agama

Kata psikologi dan agama adalah dua kata yang memiliki makna dan penggunaan yang berbeda, namun sama dalam aspek kajiannya yaitu batin manusia. Menurut Zakiyah Daradjat definisi dari psikologi agama, adalah “Ilmu yang mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya.”

Yang menjadi persoalan pokok dari psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama dan tingkah laku agama. Dengan demikian psikologi agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi dengan kajian empiris.

Psikologi agama bermula dari terbitnya buku berjudul The Psychology of Religion: An Empirical Study of Growth of Religion Counsciousness pada tahun 1899. Karya Edwin Diller Starbuck ini dipandang sebagai awal diletakkannya dasar penelitian psikologi agama.

Buku tersebut berisikan tentang pertumbuhan perasaan agama. William James pada tahun 1902 juga menulis The Varietes of Religious Experience yang merupakan kumpulan dari materi kuliah yang berisikan pengalaman keagamaan berbagai tokoh.

Sumber-sumber Barat pada umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama kepada dua karya di atas. Namun sebenarnya dunia Islam sudah terlebih dahulu memuat tulisan terkait masalah yang erat kaitannya dengan psikologi agama jauh sebelumnya.

Seperti halnya Al-Siyar wa Al-Maghazi karya Muhammad Ishaq ibn Yasardi (abad ke-7 M), Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al-Hikmat Al-Masyrigyyat karya Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malik ibn Tufail (1106-1188 M), Ihya Ulum Al-Din karya Al-Ghazali (1059-1111 M). Namun sayangnya karya-karya tersebut tidak dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, seperti yang dilakukan oleh ilmuwan barat.

Sasaran yang dijadikan sebagai bahan penelitian psikologi agama adalah sebagai berikut: (1) Kesadaran agama (religious consciousness) pada seseorang, yaitu seberapa banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh seseorang, setelah menganut suatu agama. Dalam tingkatan alam sadar (reaksi dari diri terhadap dunia luar), alam tidak sadar (desakan yang tidak kita sadari tetapi ternyata mendorong perkataan, perbuatan, perasaan kita) dan alam bawah sadar (suatu persepsi yang dilakukan oleh orang sadar yang dilakukan tanpa melalui pemikiran panjang).

Baca juga:  "Pancasila" Dakwah Menurut Ust Farid Okbah

(2) Pengalaman agama (religious experience), yaitu apa saja kejadian kehidupan seseorang yang berkaitan dengan petunjuk agama. (3) Kesehatan jiwa (mental health), yaitu seberapa dalam ketenangan batin seseorang yang diperoleh ketika melakukan perbuatan berdasarkan ajaran agama.

(4) Keberanian (courage), yaitu keberanian seseorang menghadapi sesuatu lewat memegang nilai agama. (5) Keimanan terhadap Tuhan (faith to supernatural), yaitu seberapa dalam dan kuatnya keimanan seseorang terhadap adanya Tuhan sebagai kekuatan tertinggi serta alasannya. (6) Perubahan (conversion), perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan yang semula.

Contoh Pendekatan Psikologi Agama

1) Hukum Pidana

Di dalam Al-Qur’an beberapa ayat menjelaskan mengenai hukuman atas tindak kejahatan di antaranya:  hukuman berzina (An-Nur: 2); hukuman mencuri (Al-Ma’idah: 38); hukuman merampok (Al-Ma’idah: 33); hukuman membunuh (Al-Baqarah: 178).

Hukuman tersebut tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku akibat dari kejahatannya, melainkan juga adanya sebuah harapan untuk dapat dijadikan pembelajaran bagi orang lain sehingga tidak melakukan hal yang sama dikemudian hari.

Dalam kajian psikologi dijelaskan bahwa terdapat faktor-faktor seseorang melakukan kejahatan dengan rumus SU= (pS + G) – (pF+ L)

Dari rumus yang tertera diatas bahwa suatu kejahatan terjadi karena hasil pertimbangan pelaku terhadap (pS) dan (pF), beserta faktor yang menyertainya. Misalkan saja karena tidak ketatnya keamanan, ketidak siapan para petugas maka tindak kejahatan kemudian akan cenderung dilakukan. Atau sebaliknya karena ketatnya keamanan, kesiapan dari para petugas maka tindak kejahatan akan diurungkan melihat situasi kemungkinan gagal lebih besar. Dan juga mengenai (L) kerugian yang berkaitan dengan berat ringannya hukuman yang akan diganjarkan jika tertangkap. Semakin beratnya hukuman maka semakin kecil keberanian untuk melakukan tindak kejahatan.

Kemudian apabila rumus diatas kita gunakan terhadap sistem hukum pidana Islam maka dapat kita ketahui bagaimana keefektifitasnya. Hukuman yang sudah dtentukan dalam ajaran agama Islam dapat sangat mempengaruhi SU dari pelaku. Dengan hukuman Islam yang dianggap berat oleh pelaku sehingga dapat memberikan efek jera bagi yang melakukannya dan bagi yang akan mencoba melakukannya dikemudian hari.

Baca juga:  Mengislamkan Homo Economicus

Selain pendekatan psikologi yang dilakukan terhadap studi Islam maka perlu ditunjukkan juga mengenai bukti empiriknya terkait perihal keefektifitas dari hukum pidana Islam untuk menekan kejahatan. Misal yang disampaikan oleh Huzaimah T Yanggo (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dilansir dalam sebuat situs berita online “Penerapan syariat Islam ini telah berhasil mengurangi perilaku tak baik yang ada di tengah masyarakat Aceh. Dulu orang-orang yang minum minuman keras maupun bermain judi terlihat di jalan-jalan. Namun, sejak diberlakukannya syariat Islam, hal itu tak terlihat lagi.” Dan buku yang menjadi refrensi penulis juga memberikan data terkait itu, disampaikan oleh Charles Mitchell melaporkan bahwa sejak berlakunya hukum Islam di Sudan rentang waktu satu tahun terjadi penurunan kejahatan, kasus pembunuhan turun 71%, perampokan 55%.

2) Kesehatan Mental

Teringat saat penulis akan melakukan operasi jari tangan yang patah di sebuah RSI di Yogjakarta. Sebelum dilakukan operasi, pihak RS mendatangkan seorang ustadz ke kamar rawat inap, kurang lebih ustadz tersebut mengatakan untuk tidak usah khawatir menghadapi operasi, tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh-Nya selama kita berserah diri dan meyakini akan kehendak-Nya. Kalimat yang sederhana namun kemudian dampaknya sangat besar, perasaan menjadi tenang, badan menjadi rileks, pembuluh darah yang apabila merasa takut akan sukar ditemukan, dengan adanya ketenangan tersebut menjadi mudah ditemukan.

Ketika proses penyembuhan pun suasana kamar pasien dikondisikan sedemikian rupa untuk bersinggungan dengan agama, seperti kaligrafi ayat Al-Qur’an “Wa idza maridhtu fahuwa yasyfiini”, dan terdapat pula Al-Qur’an yang disediakan untuk dibaca. Pengalaman penulis diatas menyadarkan kita akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Dan dalam hal ini kemudian agama mempunyai peran dalam menangani penyakit dari psikis manusianya.

Penutup

Agama merupakan salah satu kodrat yang dimiliki manusia sejak dilahirkan, ketidakmampuan manusia untuk menghadapi segala bentuk tekanan dalam kehidupan menjadikan manusia membutuhkan agama untuk memberikan rasa tenang bagi pikiran dan hati mereka. Namun tiap manusia berbeda-beda dalam mengekspresikan agamanya, sesuai dengan kadar religious consciousness (kesadaran agama) yang dimiliki

*Dosen Prodi Ilmu Hadis FAI UAD dan Ketua DPD IMM DIY

Muhammad Hasnan Nahar

Dosen Prodi Ilmu Hadis FAI UAD dan Ketua DPD IMM DIY

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar