Santri Cendekia
Home » Zhalimnya Berhukum Selain dengan Hukum Allah (Al-Maaidah 45)

Zhalimnya Berhukum Selain dengan Hukum Allah (Al-Maaidah 45)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang mensedekahkan (merelakan) (hak qisas) nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Maidah : 45)

Dalam surat Al-Maidah, Allah membahas tentang klasifikasi dari orang-orang yang tidak berhukum dengan hokum yang Allah turunkan. Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah disebut sebagai orang yang kafir (5:44) atau orang yang zalim (5:45) atau orang yang fasiq (5:47). Kali ini ijinkan penulis untuk menyajikan tadabbur khusus untuk Al-Maidah ayat 45.

Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa ayat-ayat ini ditujukan kepada Ahli kitab[1]. Begitupun menurut Imam Ath-thabari[2]. Namun Imam Ar-razi melemahkan pendapat ini, karena menurut beliau kandungan ayat diambil dari keumuman lafadz dan bukan dari kekhususan sebab[3]

Menurut penjelasan Syaikh Wahbah Az-zuhaili, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah orang yang melakukan kezaliman, karena ia telah menzalimi dirinya sendiri, orang lain, melanggar batasan-batasan Allah, dan meletakan sesuatu tidak pada tempatnya [1]. Ya, Pendapat beliau ini benar adanya. Seperti yang kita tahu, menurut Imam Asy-syatibi, maqashid as-syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah) pada level dhoruriyah ada 5,

  1. Hifdzu ad-din (menjaga agama), Seperti hukuman mati bagi seorang yang murtad atau menghina Allah dan Rasul-Nya dengan terang-terangan. Bolehnya berperang dan membunuh ketika Agama diperangi
  2. hifdzu An-nafs (menjaga jiwa), Seperti hukum qishash atau diyat terhadap pelaku pembunuhan tanpa alasan yang haq.
  3. Hifdzu al-mal (menjaga harta), seperti hukum potong tangan terhadap pencuri, larangan transaksi riba, gharar, judi, ghiys, tadlisul ‘aib.
  4. Hifdzu al-‘aql (menjaga akal), seperti pengharaman miras.
  5. Hifdzu an-nasl (menjaga keturunan), seperti hukuman rajam dan cambuk pada pezina.
Baca juga:  Ma'lum Minad Diin Bidh Dharurah

Jika hukum dan syariat Allah ‘azza wa jalla tidak dilaksanakan dengan baik, sudah pasti akan menimbulkan banyak pihak yang terzalimi. Baik kezaliman terhadap Allah karena sebagai hamba tidak menjalankan kewajiban kepada sang Rabb. Kezaliman terhadap orang lain karena banyak hukum syariat yang berhubungan dengan hak orang lain. Ataupun kezaliman terhadap diri sendiri karena syariah pasti diturunkan sesuai dengan fitrah manusia, melanggar syariat pasti akan melanggar fitrah diri.

Contoh saja hukum waris dan zakat. Hukum menjalankan dua hal ini adalah fardhu’ain. Selain itu adalah hudud Allah, di situ juga terdapat hak orang lain. Jika dua hukum ini tidak dijalankan dengan baik, maka jelas kita pasti akan menzalimin orang-orang yang seharusnya menjadi ahli waris (dalam konteks hukum waris), dan menzalimin orang-orang yang seharusnya mendapatkan jatah zakat (dalam konteks hukum zakat). Dan masih banyak hukum yang lain.

Sehingga tidak bisa tidak, menjadi sebuah kepastian, mereka yang tidak berusaha untuk menegakan dan menjalankan hukum Allah, pasti akan melakukan sebuah kezaliman, baik dia sengaja atau tidak, baik dia bermaksud atau tidak.

Dari sinilah seharusnya kita sadar, bahwa Negara dan syariat itu saling membutuhkan sama lain. Negara tanpa syariat pasti akan menjadi Negara yang zalim, syariat tanpa Negara pasti akan terkebiri dan tidak mengikat. Betapa banyak hukum yang tidak mampu diterapkan oleh muslimin yang tinggal di Negara yang tidak berlandaskan hukum Islam. Misalnya orang-orang macam Sumanto Al-Qurtubi yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah hasil kreativitas Muhammad dalam menterjemahkan bahasa Allah, selama Negara kita tidak memiliki mahkamah syariah atau hukum yang tegas sesuai Islam untuk menangani orang macam ini, kita akan jadi buah simalakama. Mau menjudge kafir dan halal darahnya kita tak punya hak, karena yang berhak ya mahkamah syariah yang seharusnya disahkan Negara. Tapi mahkamah syariah sendiri kita juga tak punya. Yasudah, kita hanya bisa meladeni dia dengan argument dan hujjah yang kuat, entah sampai kapan.

Baca juga:  Inspirasi Kepemimpinan Dzulqarnain (Al-Kahfi 92-98)

Semoga tulisan ini semakin membuka pikiran kita, agar kita terus bermimpi dan berusaha agar Negara kita ini kelak bisa menjadi Negara yang berlandaskan hukum islam seperti cita-cita piagam Jakarta yang tertunda itu. Meski sulit, meski tak mudah, mengubur mimpi bukanlah sikap seorang mukmin. Karena putus asa itu adalah ajakan syaithan.

Allahu a’lam bishshawab

Referensi:

[1] “Tafsir Al-Munir”, Dr. Wahbah Zuhaili

[2] Tafsir Ath-thabari

[3] Tafsir Ar-razi

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar