Santri Cendekia
Home » Berkaca dari Metode Kritik Hadis untuk Melawan Hoax

Berkaca dari Metode Kritik Hadis untuk Melawan Hoax

Maraknya berita hoax yang tersebar di media sosial tampaknya telah sampai pada titik kulminasi yang sangat mengkhawatirkan. Salah satu penyebab utamanya adalah muncul dan menjamurnya apa yang disebut sebagai media abal-abal. Ketua Dewan Pers Indonesia (DPI), Yosep Adi Prasetyo, mengatakan ada 43.300 media abal-abal di Indonesia (tribunnews.com, 29 Desember 2016). Media abal-abal ini adalah media yang tidak resmi dan tidak berbadan hukum, sehingga berpotensi menyajikan berita asal-asalan, sembarangan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan cenderung mengabaikan standar dan etika jurnalistik. Parahnya, media abal-abal ini justru yang seringkali dijadikan rujukan para pengguna Media Sosial.

Tidak diindahkannya etika berinteraksi dalam media sosial, telah membawa dampak serius bagi tatanan masyarakat kita. Kita mungkin tidak bisa menghentikan nafsu dari oknum-oknum pengguna media sosial yang memang telah menjadikan berita hoax sebagai mata pencaharian atau setidaknya alat untuk mencapai kepentingan. Tapi paling tidak kita dapat melacak kesahihan informasi yang kita terima, dan pada gilirannya jika ternyata tidak valid, kita dapat membendung penyebaran berita hoax tersebut. Untuk itu melacak kesahihan informasi di media sosial menjadi hal penting yang perlu kita lakukan. Beberapa kaidah dalam ilmu kritik hadis barangkali dapat menjadi alternatif.

Kritik hadis (naqd al-hadits) merupakan cabang dari disiplin ilmu hadis yang berfungsi untuk memverifikasi hadis dengan tujuan memisahkan antara yang shahih (valid) dan yang dha’if (lemah). Ia merupakan suatu proses yang harus dilewati sebagai implikasi dari fenomena transmisi hadis dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang tentu melalui berbagai macam karakter perawi (transmiter/pembawa berita). Selain itu kritik hadis juga adalah implikasi dari fenomena pemalsuan hadis yang terjadi dalam sejarah kodifikasi hadis itu sendiri. Dengan kata lain munculnya kritik hadis merupakan konsekuensi dari adanya informasi yang patut untuk dipertanyakan validitasnya.

Baca juga:  Dua Ceklis Istiqamah Pasca Ramadan

Kritik hadis mencakup dua aspek, yaitu kritik sanad (rangkaian perawi) dan kritik matan (isi hadis). Para sarjana telah merumuskan kaidah-kaidah dalam melakukan kritik hadis, baik dari sisi sanad (pembawa berita) maupun matan (isi berita). Di antara kaidah dalam kritik sanad adalah mengetahui perawi secara definitif. Artinya, perawi atau pembawa berita itu bukanlah orang yang majhul atau tidak diketahui identitas dan kredibilitasnya. Jika dalam sanad hadis terdapat perawi demikian, maka hadis tersebut dapat digolongkan sebagai hadis yang lemah.

Dalam menerima suatu informasi dari media sosial, kita dapat mengaplikasikan kaidah ini. Perawi dalam kaitannya dengan media sosial setidaknya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu informan dalam berita dan situs (media) berita itu sendiri. Jika dalam berita tersebut tidak disebutkan secara definitif siapa informannya, maka kita patut untuk mempertanyakan validitasnya. Secara kaidah, informan dalam berita seperti itu dapat dikategorikan sebagai perawi majhul (tidak diketahui identitasnya), karena tidak ada nama dan identitas detailnya. Langkah selanjutnya adalah melacak kredibilitas situs berita yang menjadi sumber dalam media sosial. Dalam ilmu kritik hadis, untuk melacak kredibilitas perawi kita dapat merujuk kepada kitab-kitab Rijal dan Tarikh al-Ruwah (kitab-kitab tentang biografi dan sejarah perawi). Kitab-kitab ini diyakini oleh umat Islam sebagai tempat rujukan paling otoritatif untuk melacak kredibilitas perawi.

Lalu pertanyaannya, bagaimana melacak kredibilitas situs berita? Untuk melakukan ini, kita dapat merujuk kepada data otoritatif tentang nama-nama situs berita yang dimiliki Dewan Pers Indonesia (DPI). Melalui verifikasi yang telah dilakukan oleh DPI dalam website resminya baru-baru ini, kita dapat melakukan pengecekan terhadap situs-situs berita, apakah telah terverifikasi atau belum. Cara ini cukup efektif karena sumber berita hoax salah satunya adalah situs atau media abal-abal yang tidak terverifikasi secara faktual maupun administrasi.

Baca juga:  Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan Upaya Memahami Sunnah Nabi

Selain kritik sanad, kritik matan juga relevan untuk diaplikasikan dalam melacak kesahihan sebuah berita. Shalahuddin al-Adlabi (1983) menyebutkan bahwa hadis yang shahih tidak boleh bertentangan dengan: al-Qur’an, hadis yang telah diterima keotentikannya, akal, dan fakta sejarah. Dengan kata lain di antara kaidah kritik matan adalah mengukur koherensi suatu berita dengan sumber-sumber lain yang telah diterima dan diakui. Untuk itu dalam menilai suatu berita di Media Sosial kita dapat melihat sejauh mana unsur koherensi ada pada berita tersebut. Koherensi ini dapat dicek melalui metode klarifikasi, konfirmasi dan komparasi. Metode klarifikasi dilakukan dengan meminta atau mencari penjelasan tentang kebenaran berita terkait kepada pihak yang memiliki otoritas. Sebagai contoh dalam kasus pemberitaan yang menyangkut tokoh atau individu tertentu, kita dapat meminta atau mencari penjelasan kepada pihak yang bersangkutan terkait pemberitaan tersebut secara langsung. Metode klarifikasi dilakukan untuk memastikan koherensi berita dengan fakta sesungguhnya.

Metode konfirmasi dilakukan dengan cara pengecekan terhadap sumber asli dari kutipan yang dikutip dalam sebuah berita. Sebagai contoh adalah berita yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi menjadi presiden terbaik Asia-Australia 2016 seperti diberitakan beberapa waktu lalu. Situs-situs berita mengutip berita ini dari situs Bloomberg sebagai sumber asli dari berita terkait. Setelah dicek pada situs Bloomberg, ternyata berita tersebut tidak terkonfirmasi. Ada distorsi berita yang terjadi. Yang benar adalah Bloomberg menyebut Presiden Jokowi sebagai presiden dengan performa paling positif bila dibanding tujuh pemimpin negara lain yang masuk daftar penilain. Di sini, metode konfirmasi dilakukan untuk memastikan koherensi suatu berita dengan sumber berita yang telah diterima keotentikannya.

Metode komparasi dilakukan dengan cara memperbandingkan suatu berita yang kita terima dari sumber tertentu dengan berita dari sumber-sumber yang lain. Jika ditemukan perbedaan dengan berita yang ada pada sumber lain, maka kita patut mempertanyakan validitas berita yang kita terima. Setidaknya kita tidak langsung percaya begitu saja dan membagikan berita itu tanpa mencari kebenarannya.

Baca juga:  Kalender Islam Internasional, Sebuah Hutang Peradaban yang Harus Segera Dibayar

Beberapa kaidah kritik hadis di atas hanya sekadar contoh untuk menggambarkan betapa ilmu kritik hadis dapat kita aplikasikan untuk melacak kesahihan informasi yang kita terima di Media Sosial. Tentu masih banyak kaidah lain yang dapat kita manfaatkan. Di sinilah pentingnya mempelajari ilmu hadis yang telah diwariskan para sarjana Islam kepada kita. Melakukan pelacakan kesahihan sebuah berita termasuk salah satu adab bagi seorang penerima berita. Kita dapat dikatakan tidak beradab jika kita dengan mudah menyebarkan suatu informasi yang belum jelas kebenarannya.

Niki Alma Febriana Fauzi

Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar