Santri Cendekia
Home » Bermusyawarahlah seperti Ibrahim (Ash-Shaffat : 102)

Bermusyawarahlah seperti Ibrahim (Ash-Shaffat : 102)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (As-Shaffat : 102)

 

            Nabi Ibrahim as mendapatkan wahyu dari Allah ‘azza wa jalla melalui mimpi yang haq. Sebagai seorang Nabi yang dilimpahkan ilmu, tentu Nabi Ibrahim saat itu paham betul bahwa mimpi itu adalah perintah yang harus dilaksanakan. Yang memerintahkan adalah Rabb semesta alam.

            Namun ternyata Ibrahim mendialogkan perintah ini terlebih dahulu dengan anaknya, Nabi Ismail as. Apakah iya Ibrahim menunggu persetujuan Isma’il untuk melaksanakan perintah Allah? Bukankah perintah Allah mutlak? Apakah saat itu Ibrahim bermaksiat kepada Allah karena tak langsung saja “sami’na wa atha’na!” lalu memenggal Isma’il begitu saja? Sekali-kali tidak, karena Allah sudah memuji Ibrahim sebagai seorang yang muslim dan begitu besar kepatuhannya kepada Allah. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “berserah dirilah!” Ibrahim menjawab: “Aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam”. (Al-Baqarah 131).

Hikmah pertama, Nabi Ibrahim pun manusia, yang tentu memiliki kasih sayang yang dalam terhadap anaknya. Maka sejatinya syariat ini tak pernah mengajarkan manusia menjadi tidak manusiawi atau membunuh perasaannya. Hanya saja syariat ini akan terus menguji, siapakah yang hendak kalah terhadap rasa dan berpaling dari-Nya? Dan siapakah yang hendak melawan rasa dan patuh terhadap perintah-Nya? Ibrahim tentu tak bisa main penggal saja terhadap anak kesayangannya. Ada perasaan beliau yang mendalam yang tak bisa hilang, namun disitulah hebatnya seorang Ibrahim. Dengan perasaan yang begitu dalam, ia tetap memilih patuh dan berserah diri terhadap perintah Allah ‘azza wa jalla. Maka tak heran Allah mengangkat derajat beliau begitu tinggi hingga nama beliau masih kita shalawati bersama dengan nama Rasulullah di setiap salat kita.

Baca juga:  Tadabbur Ali Imran : 110-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, Imun Sebuah Peradaban

Hikmah kedua, bahwa Ibrahim mengajarkan kita, dialog dan musyawarah itu harus selalu ada antara pihak yang ‘di atas’ dan ‘di bawah’. Meskipun saat itu Ibrahim adalah seorang Nabi dan mendapatkan perintah dari Allah ‘azza wa jalla, Ibrahim tetap berdialog dan meminta pendapat Isma’il. Dari sekian banyak hikmah yang tersembunyi, beberapa diantaranya adalah bahwa dialog dan musyawarah itu lebih membuka akal dan pemahaman dari pihak yang akan kita bebani dengan sebuah perintah. Selain itu, pihak eksekutor atau pelaksana bisa mendapatkan feedback yang baik sekiranya masih ada hal-hal terbaik yang mungkin belum terpikirkan ketika akan melaksanakan perintah tersebut. Hal ini juga menjadi contoh buat kita, bahwa setinggi apapun kekuasaan dan mandat yang kita punya, kita tak boleh lupa bahwa mereka yang berada di bawah kita adalah pihak-pihak yang punya hak untuk menyuarakan dan menyampaikan aspirasinya. Jangan jabatan baru naik sedikit, gayanya udah mau ngalah-ngalahin Tuhan macam Fir’aun.

            Bahkan Allah Subhana wa ta’ala, Dzat Yang Paling Tinggi, Perkasa, Besar, Berkuasa, tetap berdialog dengan malaikat ketika hendak menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Padahal siapa pula yang bisa menentang kehendak Allah? Siapa malaikat di sisi Allah? Tak 0,0000000000 sekian persen pun saham kekuasaan Allah terbagi dengan selain-Nya, Maka Allah sangat berhak untuk menentukan apapun tanpa persetujuan siapapun selain-Nya. Namun sungguhpun begitu, Alah tetap berdialog dengan malaikat “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah : 30).

Allahu a’lam bishshawab

 

 

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar