Santri Cendekia
Home » Berquban dan Donasi Covid-19: Memahami Nalar Ijtihad Muhammadiyah

Berquban dan Donasi Covid-19: Memahami Nalar Ijtihad Muhammadiyah

Beberapa hari yang lalu di Indonesia, PP Muhammadiyah kembali menerbitkan edaran terkait Covid-19. Kali ini seputar tuntunan ibadah puasa Arafah, Iduladha, kurban, dan protokol ibadah kurban. Terkait kurban, edaran bernomor 06/2020 ini menyatakan:

  • “Pandemi Covid-19 menimbulkan masalah sosial ekonomi dan meningkatnya jumlah kaum duafa, karena itu sangat disarankan agar umat Islam yang mampu untuk lebih mengutamakan bersedekah berupa uang daripada menyembelih hewan kurban.
  • Bagi mereka yang mampu membantu penanggulangan dampak ekonomi Covid-19 sekaligus mampu berkurban, maka dapat melakukan keduanya.
  • Membantu duafa maupun berkurban keduanya mendapatkan pahala di sisi Allah SWT, namun berdasarkan beberapa dalil, memberi sesuatu yang lebih besar manfaatnya untuk kemaslahatan adalah yang lebih diutamakan.”

Sebelum lanjut, penting diingat bahwa sama sekali edaran ini tidak mengajarkan bahwa ibadah kurban dapat ditunaikan dengan uang tanpa melakukan penyembelihan. Bagaimana pun unsur ta’abbud sangat kuat dalam ibadah kurban, tak bisa disamakan dengan ibadah zakat fitri.

Kita pun sama-sama mengetahui bahwa Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah (MTT PP) sendiri memiliki rumusan manhaj sebagai berikut,

“Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi.”[1]

Hal yang sama juga dinyatakan dalam Himpunan Putusan Tarjih dengan istilah “ibadah mahdhah” sebagai padanan “bidang ta’abbudi[2]. Sebagian kalangan membawa pembahasan ini kepada suatu pertanyaan fikih terkenal: Manakah yang lebih afdal dilakukan di hari-hari kurban, menyembelih hewan kurban ataukah sedekah harta senilai hewan kurban?

Adalah benar bahwa mayoritas ulama dari Mazhab Hanafi[3], Mazhab Maliki[4], Mazhab Syafi’i[5], dan Mazhab Hanbali[6],  berpendapat bahwa berkurban lebih afdal daripada menyedekahkan uang senilai hewan kurban.

Di sisi lain, sebenarnya sebagian generasi awal lebih mengutamakan sedekah. Ini adalah pendapat Bilal radhiyallahu ‘anhu, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Asy-Sya’bi, Abu Tsaur, dan Malik[7].

Baca juga:  Hukum 'Shaf Distancing' demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

Namun sebenarnya pembahasan barusan ini tidaklah terlalu relevan dengan kasus yang sedang kita sekarang hadapi dan yang dimaksudkan oleh warga Indonesia dan dunia. Sebab mendonasikan uang demi membantu tenaga kesehatan dan warga yang terdampak Covid-19 hukumnya wajib, serta merupakan jihad harta, tak seperti berkurban yang sunnah menurut MTT PP Muhammadiyah beserta mayoritas ulama[8].

Al-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam pernah menjelaskan bahwa sedirham amalan wajib lebih besar pahalanya daripada sedirham amalan sunnah[9]. Beliau bahkan mengatakan:

وَأَعْلَى رُتَبِ مَصَالِحِ النَّدْبِ دُونَ أَدْنَى رُتَبِ مَصَالِحِ الْوَاجِبِ

“Setinggi-tingginya derajat kemaslahatan suatu amalan sunnah tetaplah lebih rendah daripada serendah-rendahnya derajat maslahat suatu amalan wajib.”[10]

Taruhlah hukum berkurban adalah wajib, maka tingkatannya dalam maqashid tidaklah mencapai level dharuriyyat, sebab kehidupan dunia maupun keselamatan akhirat manusia tidaklah terganggu tanpanya[11].

Berbeda dengan virus Covid-19, sebuah bencana non-alam[12], masuk ke dalam ranah dharuriyyat nan mengancam jiwa[13], yang jika tak didukung dana besar untuk menanggulanginya, maka ia akan semakin parah atau lamban hilang.

Jika dalam kondisi normal saja Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

لَأَنْ أَضَعَهُ فِي يَتِيمٍ قَدْ تَرِبَ فِيهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُضَحِّيَ بِهِ.

“Aku memberikan uang bagi anak yatim yang sangat miskin nan sangat kelaparan lebih aku sukai daripada aku gunakan untuk berkurban.”[14]

Maka tentu dalam kondisi mendesak semisal Covid-19 saat ini, lebih diprioritaskan lagi untuk mengalihkan donasi menjadi uang untuk semisal membantu tenaga kesehatan dan mereka yang terdampak secara ekonomi.

Memang tidak menutup kemungkinan fakir dapat menjual daging kurban yang mereka peroleh sehingga menjadi uang, dengan fakta bahwa korban Covid-19 lebih membutuhkan bantuan berupa uang daripada pangan daging.

Akan tetapi tetap saja pembagian daging kurban pada kenyataannya cenderung merata di satu wilayah, tidak membedakan antara yang terdampak Covid-19 dengan yang tidak, bahkan sering tidak terlalu membedakan antara fakir dan kaya.

Baca juga:  Khalifah Umar bin Khattab dan Penanggalan Islam

Banyaknya daging kurban yang diperoleh per-penerima pun belum tentu menjadikannya bernilai besar saat dijual dibandingkan jika diberikan langsung berupa uang tunai. Ini belum termasuk pertimbangan memberi bantuan demi mendukung peralatan kesehatan dan tenaga kesehatan.

Barangkali juga ada yang berargumen bahwa waktu kurban terbatas sementara waktu berdonasi untuk Covid-19 lebih longgar. Maka mengapa tidak memrioritaskan kurban? Benar, waktu kurban memang terbatas hanya sekitar empat hari[15], tetapi tidak semua orang dapat memperoleh lagi uang sebesar harga seekor hewan kurban dalam waktu singkat.

Iduladha tahun ini akan jatuh di 31 Juli 2020, akhir bulan. Maka banyak orang baru akan memperoleh uang sebesar itu untuk berdonasi terhadap korban Covid-19 akhir bulan Agustus. Sementara orang yang positif terkena virus ini terus bertambah setiap harinya. Korban pun tak berhenti berjatuhan hari demi hari. Sebulan kita lamban menghentikan virus ini, akan berdampak pada kemudaratan yang besar bahkan bisa semakin lama virus ini mengancam kita.

Sekali lagi, MTT PP Muhammadiyah tidaklah memfatwakan bahwa kurban seperti zakat fitri yang dapat ditunaikan hanya dengan uang tanpa penyembelihan. Tetapi maksudnya ialah bahwa dalam kondisi harus memilih antara kurban ataukah membantu penanggulangan Covid-19 dengan harta, tidak bisa melakukan kedua-duanya, maka disarankan agar memprioritaskan membantu penanggulanganCovid-19.

MTT PP Muhammadiyah pun tidak melarang berkurban bagi mereka, tetapi menyarankan. Bagi yang hendak berkurban pun, hendaklah tetap menjaga protokol kesehatan terkait Covid-19 dalam penjualan hewan kurban, pemotongan, hingga pembagian, berusaha tetap menjaga proporsi ideal antara terwujudnya syiar agama di masing-masing wilayah, menjaga physical distancing, serta memprioritaskan berkurban di daerah yang jauh lebih membutuhkan.

Lagipula MTT PP Muhammadiyah bukan kali ini saja berpendapat demikian. Di tahun 1426 H saat ada bencana tsunami di Aceh dan tahun 1431 H saat tsunami di Mentawai dan erupsi gunung Merapi, Muhammadiyah juga memiliki pendapat yang sama.

Baca juga:  Awal Syakban 1441 H di Tengah Pandemi Corona

Ini sebenarnya juga pesan untuk setiap kita agar lebih mempersiapkan uang untuk kurban sejak jauh hari. Menabung misalnya tiga ratus ribu Rupiah setiap bulannya, sehingga ketika tiba waktunya berkurban, tetap bisa berkurban dan juga berdonasi untuk membantu korban bencana atau semisalnya yang wajib segera dibantu. Sebab bagaimanapun menggabungkan dua kebaikan lebih utama daripada harus memilih salah satunya saja. Tetapi jika diharuskan memilih, maka hendaklah memilih yang lebih penting dari yang penting. Wallahua’lam.

 

Jeddah, 24 Juni 2020

 

[1] Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (h. 12). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

[2] MTT PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (I/280). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017.

[3] Lihat: Ibnu Nujaim, Al-Bahr Ar-Raiq (VIII/200). Beirut: Darul Kitab Al-Islami, tanpa tahun.

[4] Lihat: Ad-Dardir, Asy-Syarh Al-Kabir (II/121). Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun.

[5] Lihat: Ad-Damiri, An-Najm Al-Wahhaj (IX/527). Jeddah: Darul Minhaj, 2004.

[6] Lihat: Asy-Syarh Al-Kabir (IX/421).

[7] Lihat: Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Istidzkar (V/227). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2000 dan Syamsuddin Ibnu Qudamah, Asy-Syarh Al-Kabir (IX/421). Kairo: Dar Hajar, 1995.

[8] Lihat: MTT PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama (IV/186-187). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015 dan fatwa MTT PP Muhammadiyah tanggal 29 Oktober 2010.

[9] Lihat: ‘Izzuddin, Qawa’idul Ahkam (I/29). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1991.

[10] Qawa’idul Ahkam (I/55).

[11] Lihat: Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat (II/17-18). Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1997.

[12] Lihat: MTT PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (III/619). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.

[13] Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih (II/33).

[14] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Quran (XV/107-108). Kairo: Darul Kutubil Mishriyyah, 1964.

[15] Lihat: MTT PP Muhammadiyah (I/135). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015.

Nur Fajri Romadhon

Ketua Majelis Tarjih PCIM Arab Saudi, Anggota Divisi Fatwa MUI Jakarta, dan Mahasiswa Pascasarjana King Abdulaziz University

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar