Santri Cendekia
Yusuf al-Qaradhawi
Yusuf al-Qaradhawi
Home » Biografi Syaikh Yusuf al-Qaradhawi

Biografi Syaikh Yusuf al-Qaradhawi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Yusuf al-Qaradhawi lahir di Desa Shafat at-Turab, Mahallah al-Kubra, Gharbiah, Mesir, pada 7 September 1926. Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. Sedangkan al-Qaradhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah tempat mereka berasal, yakni al-Qarādhah.[1]  Keluarga beliau adalah keluarga yang sederhana. Ayahnya bernamata pencaharian sebagai petani dan juga berdagang, sedangkan pekerjaan keluarga al-Qaradhāwi dari pihak ibu adalah pedagang.[2]
 Ayah al-Qaradhawi meninggal ketika ia berusia dua tahu. Oleh sebab itu beliau dipelihara oleh pamannya. Paman yang memeliharanya itu sangat menyayanginya, sehingga al-Qaradhāwi kecil telah menganggap pamannya sebagai ayahnya sendiri dan anak-anak pamannya dianggapnya saudara sendiri.[3]
Ketika berusia lima tahun al-Qaradhawi diantarkan oleh pamanny ke salah satu guru agama yang disebut al-kuttāb di desanya untuk belajar mengaji dan menghapal Al-Qur’an. Di tempat tersebut al-Al-Qaradhawi terkenal sebagai seorang anak yang sangat cerdas. Dengan kecerdasannya beliau mampu menghafal al-Qur’an dan menguasaihukum-hukum tajwidnya dengan sangat baik.[4] Al-Qaradhawi menyempurnakan hafalan Al-Qur’an pada usia sepuluh tahun, dengan bacaan bertajwid. Karena kemahirannya dalam bidang Al-Qur’an pada masa remajanya, ia justru dipanggil mengajar di masjid-masjid.
Pada usia tujuh tahun, beliau masuk ke Madrasah Ilzamiyyah di bawah kementrian Pendidikan untuk dengan nama”Syaikh Al-Qaradhawi” oleh orang di sekitar kampungnya, bahkan ia selalu ditunjuk menjadi imam shalat, terutama shalat yang jahriyah. Setelah keluar dari madrasah tersebut, beliau melanjutkan ke Madrasah Ibtida-iyyah “Thantha”, yang diselesaikannya dalam waktu empat tahun. Kemudian pindah ke Madrasah Tsanawiyyah yang sama selama lima tahun.[5]
Dia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan itu dan selalu menempati ranking pertama. Kecerdasannya telah tampak sejak dia kecil. Sehingga salah satu gurunya memberi gelar “al-lamah” (sebuah gelar yang biasanya diberikan pada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat luas). Dia meraih ranking kedua untuk tingkat nasional, Mesir, pada saat kelulusannya di sekolah Menengah Umum. Padahal waktu itu dia pernah dipenjarakan.
Setelah itu ia pergi ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi. akhirnya ia masuk Fakultas Ushuluddin di Universitas al-Azhar. Ia berhasil memperoleh ijazah Perguruan Tinggi pada tahun 1952-1953. Beliau meraih ranking pertama dari mahasiswa yang berjumlah seratus delapan puluh. Kemudian dia memperoleh ijazah setingkat S2 dan memperoleh rekomendasi untuk mengajar di fakultas Bahasa dan Sastra pada tahun 1954. Dia kembali meraih ranking pertama dari tiga kuliah yang ada di al-Azhar dengan jumlah siswa lima ratus orang. Pada tahun 1956, Dr. Yusuf al-Qaradhawi bekerja di bagian pengawasan bidang Agama pada Kementrian Perwakafan di Mesir dengan aktivitas ceramah dan belajar berhitung, sejarah, kesehatan dan lain-lain. Kemudian diangkat menjadi penilik lembaga al-A-Immah. Pada tahun 1958 dia memperoleh ijazah diploma dari Ma’had Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah dalam bidang bahasa dan sastra.
Pada tahun 1959 beliaudipindahkan ke bagian administrasi umum untuk Tsaqafah Islamiyyah di Universitas al-Azhar untuk mengawasi penerbitannya, dan bekerja dikantor seni pengelolaan dakwah dan bimbingan. Sedang di tahun 1960 dia mendapatkan ijazah setingkat Master di jurusan Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah di fakultas Ushuluddin. Pada tahun 1973 dia berhasil meraih gelar Doktor dengan peringkat summa cum laude dengan disertasi yang berjudul “az-Zakat wa Atsaruha fi Hill al-Masyakil al-Ijtimaiyyah (Zakat dan Pengaruhnya dalam Memecahkan Masalah-masalah Sosial Kemasyarakatan)”.[6]
Dia terlambat memperoleh gelar doktornya karena situasi politik Mesir yang tidak menentu. Pada tahun ini juga didirikan Fakultas Tarbiyah yang merupakan cikal bakal Universitas Qatar. Kemudian ia dipindahkan ke sana untuk mendirikan sekaligus memimpin bagian Dirasah Islamiyyah (Islamic Studies). Keterlambatannya meraih gelar doktoral itu bukannya tanpa alasan. Sikap kritislah yang membuatnya baru bisa meraih gelar doktor pada tahun 1972. Untuk menghindari kekejaman rezim yang berkuasa di Mesir, Al-Qaradhawi harus meninggalkan tanah kelahirannya menuju Qatar pada tahun 1961. Di sana, ia sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama ia juga mendirikan mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraanQatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.[7]
Namun sebelum itu, ia sudah merasakan kerasnya kehidupan penjara. Saatberusia 23 tahun, Al-Qaradhawi muda harus mendekam di penjara akibat keterlibatannya dalam pergerakan Al-Ikhwānul Muslimn saat Mesir masih dijabat Raja Faruk tahun1949. Setelah bebas dari penjara, ia lagi-lagi menyuarakan kebebasan. Karenakhutbah-khutbahnya yang keras, dan mengecam ketidak adilan yang dilakukan rezim berkuasa, Ia harus berurusan dengan pihak berwajib. Bahkan, ia sempat dilarang untuk memberikan khutbah di sebuah Masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu. Akibatnya, tahun 1956 (April) ia kembali ditangkap saat terjadi Revolusi di Mesir. Setelah beberapa bulan, pada Oktober 1956, Al-Qaradhawi kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun. Setelah berkali-kali mendekam dibalik jeruji besi,
Al-Qaradhawi akhirnya meninggalkan Mesir tahun 1961 menuju Qatar. Di Qatar ini, al-Qaradhawi lebih leluasa mengungkapkan pemikiran-pemikiran nya. Pada tahun 1977, ia merintis dan mendirikan Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyyah di Universitas Qatar. Sebagaimana ia juga telah menjadi Direktur Pusat Pengkajian Sunnah dan Sirah Nabawiyyah di Universitas Qatar, di samping posisinya sebagai dekan fakultas. Melalui bantuan universitas, lembaga-lembaga keagamaan, dan yayasan-yayasan Islam di dunia Arab, Yusuf Al-Qaradhawi sanggup melakukan kunjungan ke berbagai Negara Islam dan non-Islam untuk misi keagamaan. Dalam tugas yang sama pada tahun 1989 ia mengunjungi Indonesia.[8]
Dalam berbagai kunjungannya ke Negara-negara lain, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar danmuktamar. Misalnya, seminar hukum Islam di Libya, Muktamar Pertama tarikh Islam di Beirut, Muktamar Internasional Pertama mengenai ekonomi Islam di Mekkah, dan muktamar hukum Islam di Riyadh. Akhirnya, Dr. Yusuf al-Qaradhawi menjadi salah seorang pengikut Jama’ah Al-Ikhwānul Muslimin yang terkenal. Ia memiliki aktifitas besar dalam penyebaran dakwah jamaah ini di Mesir pada saat dia berada di Mesir, dan juga di luar Mesir, khususnya ketika ia berada di Qatar. Di saat itu Dr. Yusuf al-Qaradhawi mempunyai aktifitas yang besar dan pengaruh yang tidak dapat ditutup-tutupi terhadap masyarakat di sana.  Aktivitas Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak terbatas pada penulisan buku saja, tetapi ia juga terlibat langsung di berbagai media informatika, baik cetak maupun elektronik. Selain itu, ia juga mempunyai andil yang sangat besar dalam beberapa acara di televisi. Acara ini dimanfaatkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi untuk menyebarluaskan pemikiran dan fatwanya.
2.      Latar Belakang Sosial dan Intelektual
Sejak ditaklukan oleh sahabat Amru bin Ash, Mesir telah melahirkan banyak ulama Islam. Dari zaman klasik, ada Ibn al-Atsīr atau Imam Asy-Syāfi’ī yang menghabiskan sebagaian besar umurnya di sana. Di zaman moderen dan kebangkitan Islam ada ulama-ulama pembaharu ; Jamaluddin al-Afghāni, Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha. Hingga hari ini Mesir dengan institusi al-Azhār-nya tetap melahirkan banyak ulama, salah satu ulama Mesir yang terkenal adalah Yūsuf al-Qaradhāwī.  
Al-Qaradhāwi lahir, tumbuh dan berkembang hingga masa anak-anaknya berlalu di sebuah desa bernama Shaft Thurab. Di desa tersebut pernah tinggal salah seorang sahabat Rasulullah saw yang ikut menaklukan Mesir pada saat pemerintahan Khalifah Umar yaitu Abdullah bin Hārits. Sahabat yang mulia ini beristiri wanita Shaft Thurab beranak pinak dan meninggal di sana. Sahabat ini telah menanamkan semangat untuk mendalami agama Islam di kepada penduduk Shaft Thurab. Salah satu tradisi desa itu adalah adanya para guru agama yang bertugas membimbing anak-anak untuk belajar agama dan menghapal Al-Qur’an.[9] Guru-guru agama itu disebut al-kuttāb, seperti dijelaskan di atas di salah satu kuttab itulah al-Qaradhāwi berhasil menghapal al-Qur’an di usia yang cukup belia.
Salah satu bukti betapa kuat tradisi intelektual/keulamaan dan ruh Islam di desa Shaft Thurab menurut Muhammad al-Majdzūb adalah penghargaan mereka terhadap kegiatan menghapal Al-Qutr’an dan orang-orang yang berhasil menghapal Al-Qur’an. Penduduk desa menjuluki al-Qaradhawi sebagai “Syaikh al-Qaradhawi” ketika melihat kecerdasan beliau dan kemampuannya menghapal 30 juz dengan tajwid yang baik. Penduduk desa bahkan mempersilakannya menjadi imam salat agar bacaannya bertambah baik, padahal usia beliau waktu itu masih sekitar sepuluh tahun.[10] Di desa dengan suasana seperti itulah al-Qaradhāwī menghabiskan masa kecilnya sebelum ia berhijrah ke Thanta untuk melanjutkan pendidikannya.
 Di Thanta lah beliau mulai bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna pendiri gerakan al-Ikhwān al-Muslimīn. Persentuahnnya dengan gagasan-gagasan al-Banna membuatnya berani melepaskan diri dari sikap fanatik madzhab., sehingga meskipun ia dididik di dalam lingkungan mazhab Hanafiyah ia tidak menjadi fanatik mazhab. Hal itu karena Hasan al-Banna selalu menganjurkan anggota gerakannya untuk melepaskan diri dari sikap fanatik dan mempertimbangkan pendapat ulama-ulama terdahulu berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Anjuran itu banyak disampaikan di dalam karya a-Banna berjudul Risālah at-Ta’līm.[11]  Sayyid Sābiq melalui bukunya Fiqh as-Sunnah juga mempengaruhi pemikiran al-Qaradhāwī untuk tidak bersikap fanatik dan mengembalikan semua persoalan kepada Al-Qur’an dan sunah.[12]  
Meskipun dikenal sebagai seorang ulama dalam bidang fikih atau syariah, sebenarnya latar belakang akademis al-Qaradhawi adalah ushuluddin yang diselesaikannya pada tahun 52-53 dengan sebagai peringkat pertama dari 180 mahasiswa. Setelah itu beliau melajutkan memperdalam bahasa di Fakultas Bahasa Arab, kemudian memperdalam bidang Tafsir dan Hadis.[13] Beliah mendalami syariat atau bidang hukum lebih pada kegelisahannya ataas berbagai persoalan yang dihadapi umat seperti yang diakuinya sendiri di mukaddimah buku Fatāwa Mu’āshirah. Beliau berhasil mempelajari syariat dengan sangat baik. Buku-buku yang kerap beliau telaah sejak masa kecilnya antara lain al-Lubāb, al-Ikhtiyār, Subul as-Salām, Nail al-Authār, keduanya merupakan buku penjelasan atas hadis-hadis hukum dengan metode perbandingan mazhab. Beliau juga sangat akrab dengan buku al-Muhalla karya Ibn Hazm sejak masa mudanya.[14]  
Ada beberapa tokoh yang cukup berpegangaruh terhadap sikap intelektual al-Qaradhāwi, tokoh yang paling berpengaruh padanya seperti yang diakuinya sendiri adalah Hasan al-Banna. Al-Qaradhwawi kerap mengikuti al-Banna berkeliling ke beberapa tempat dan senantiasa menyimak ceramah dan menelaah buku-bukunya. Tokoh lainnya adalah al-Bahī al-Khailī dan Muhammad al-Ghazālī sebagai dua sosok utama al-Ikhwān al-Muslimīn. Pengaruh gerakan ini memang sangat kuat terhadap al-Qaradhāwi bahkan lebih kuat dari pengaruh pendidikan resminya di al-Azhar.[15]
Dari kalangan ulama al-Azhar, al-Qardhāwi banyak terpengaruh oleh beberapa tokoh antara lain Muhammad ‘Abdullah Darrāz. Al-Qaradhāwi mengagumi tokoh ini karena keluasan dan orisinalitas ilmu dan pemikirannya yang terlihat terutama di dalam bukunya Falsafah al-Akhlāq fi al-Islām. Ulama lain yang mempengaruhinya adalah Muhammad Syaltūt, ‘Abd al-Halīm Muhammad. Pada tokoh yang disebut terakhir, al-Qaradhāwi mendalami filsafat Islam ketika mengikuti kuliah Ushuluddin yang diampu Syaikh al-Azhar tersebut.[16]
3.      Kontribusi dan Karya-Karyanya
Yūsuf al-Qaradhāwi adalah ulama yang memperhatikan hampir semua cabang keilmuan Islam, terutama dalam fikih dan hadis.  Selain itu beliau juga sangat peduli terhadap perkembangna dakwah Islam dan kebangkitan ummat Islam. Beliau banyak mengarang buku tentang kebangkitan Islam, atau as-sahwah al-islāmiyyah. Beliau berkontribusi cukup besar di dalam bidang-bidang tersebut. Gagasannya yang cukup tersebar luas misalnya  Fikih Realitas (Fiqh Wâqi’î),  Fikih Prioritas (Fiqh al-Aulawiyât).  Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah,  Fikih perubahan (Fiqh al-Tagyîr),  dan Fikih Keseimbangan (fiqh al-Muwâzanah).
Karya al-Qaradhawi sesuai yang dilampirkan oleh penerbit Dār asy-Syurūk di salah satu karyanya yang diterbitkan oleh penerbit tersebut berjumlah 150 judul. Di sini hanya akan disebutkan karya-karyanya dalam bidang fikih dan ilmu hadis, karena kedua bidang tersebut lah yang bersentuhan langsung dengan penelitian ini. Di dalam bidang fikih dan ushul fikih, ada banyak karya-karya yang beliau hasilkan. Karya-karya tersebut antara lain :[17]
1.      Al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām
2.      Fatāwa al-Mu’āshirah sebanyak tiga jlid
3.      Taisīr al-Fiqh : Fiqh as-Shiyām
4.      Al-Ijtihād fi asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah
5.      Madhkl li Dirāsah asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah
6.      Min Fiqh ad-Daulah fi al-Islam
7.      Taisir al-Fiqh li Muslimin al-Mu’ashir
8.      Al-Fatwa baina al-Indibat wa at-Tasayyub
9.      ‘Awamil as-Sa’ah wa al-Marunah fi asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah
10.  Al-Fiqhu al-Islamiy Baina al-Ashl wa at-Tajdid
11.  Al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al-Indibath wa al-Infirath
12.  Fiqh az-Zakah
13.  Fiqh al-Jihād
Di dalam bidang ilmu hadis dan Al-Qur’an atau seputar pemahaman terhadap sunah, al-Qaradhawi menuliskan beberapa buku antara lain ;[18]
1.      As-Shabru fi al-Qur’ān al-Karīm
2.      Al-‘Aqlu wa al-Ilmu fi al-Qur’ān al-Karīm
3.      Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Qur’ān al-Karīm
4.      Kaifa Nata’āmal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah
5.      Durūs Fi at-Tafsīr- Tafsīr Surah ar-Ra’d
6.      Al-Madkhal li Dirāsah as-Sunnah an-Nabawiyyah
7.      As-Sunnah an-Nabawiyyah Mashdar al-Ma’rifah wa al-Hadhārah.
Pada bidang-bidang yang lain, al-Qaradhawi juga giat menulis dan menghasilkan banyak karya. Di bidang akidah beliah menuliskan dua karya tentang wujud Allah dan hakikat tauhid.[19]  Beliau juga menulis di bidang akhlak sebanyak empat buku tentang membangun akhlak dan kehifupan rabbani berdasarkan Al-Qur’an.[20] Sebagai aktivis dakwah al-Qaradhāwi menulis banyak buku seputar dakwah dan pembimbingan umat (tarbiyyah) menuju kebangkitan Islam (as-Shahwah al-Islāmiyyah). Pada daftar karyanya di bagian belakang buku Kaifa Nata’āmal disebutkan terdapat 32 judul buku.[21]
Karya-karyanya di dalam tema-tema wacana keislaman umum selain proyek fikih, dakwah dan kebangkitan Islam yang memang ditekuninya ada  sekitar 23 judul. Disamping menulis karya-karya ilmiyah al-Qaradhawi juga menyempatkan diri untuk menuliskan syair-syair dalam diwan. Jumlah syair yang telah ia gubah dan dipublikasikan ada empat judul. Tema-tema yang diangkat al-Qaradhawi di dalam syairnya juga sama dengan tema-tema tulisan “seriusnya”, mulai dari syair tentang Yūsuf as-Shadīq, ilmu,  hingga tema kebngkitan Islam[22].Gagasan-gagasan al-Qaradhawi yang dituangkan di dalam bentuk muhādarah atau makalah tercatat sekitar 15 judul dengan tema yang beragam.
Di dalam penelitian ini, yang menjadi fokus pembahsan adalah pemikiran al-Qaradhāwi mengenai sunah, terutama di dalam hal metode atau kaidah memahaminya. Juga dibahas secara ringkas implikasi metode tersebut di dalam beberapa fatwa-fatwanya yang merupakan produk fikih dari beliau.
Selain berkarya dalam bentuk tulisan, al-Qaradhāwi juga aktif menjadi pengurus bagi lembaga-lembaga keislaman yang tersebar di beberapa negara. Menurut catatan Isham Talimah, sebagaimana dikutip di dalam buku “Otoritas Sunnah Non Tasyri`iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi” karya DR. Tarmizi M.Jakfar, MA, ada beberapa lembaga dimana Al-Qaradhawi menjadi anggotanya.[23]
1.      Anggota pada majelis Tinggi Pendidikan di Qatar dalam masa beberapa tahun.
2.      Anggota Majelis Pusat Riset Kontribusi Kaum Muslimin dalam Peradaban yang berpusat di Qatar.
3.      Anggota Lembaga Fiqh Islam, yang berafiliasi pada Liga Muslim Dunia yang berpusat di Makkah.
4.      Tenaga Ahli Lembaga Riset Fiqh yang berada dibawah naungan Organisasi Konferensi Islam (OKI).
5.      Anggota Lembaga Riset Maliki untukPeradaban Islam “Yayasan Ahli Bait” di Yordania.
6.      Anggota Dewan Penyantun Internasional Islamic University Islamabad Pakistan.
7.      Anggota Dewan Penyantun pada Pusat Studi keislaman di Universitas Oxford.
8.      Anggota Persatuan Sastra Islam.
9.      Anggota Pendiri Organisasi Ekonomi Islam Di Kairo.
10.  Anggota Bantuan Islam Internasional, yang berpusat di Kuwait.
11.  Anggota Dewan Pengawas Internasional untuk Masalah Zakat Kuwait.
12.  Anggota Dewan Penyantun Organisasi Dakwah Islam di Afrika yang Berpusat di Khurthoum, Sudan.
13.  Anggota Majelis Dana Islam untuk Zakat dan Sedekah di Qatar.
14.  Anggota Dewan Penyantun Wakaf Islam untuk Majalah al-muslim al-Mu`ashir.
15.  Ketua Majelis Keilmuan Pada Sekolah Tinggi Eropa untuk Studi Islam, Prancis.
16.  Anggota Dewan Pengawas Pada Perusahaan al-Rajhi untuk investasi yang berpusat di Arab Saudi.
17.  Ketua Dewan Pengawas Bank Islam di Qatar.
18.  Ketua Dewan Pengawas Bank Islam di Qatar Internasional.
19.  Ketua Dewan Pengawas Bank Takwa di Swiss.
20.  Anggota Yayasan Media Islam Internasional di Islamabad, Pakistan.
21.  Ketua Majelis Organisasi Budaya al-Balagh untuk Pengabdian terhadap Islam melalui internet.
22.  Ketua Majelis Fatwa dan Riset untuk Eropa.

[1]Anjar Papaw. “Biografi al-Qardhawi”, http://berita.univpancasila.ac.id/berita-1759-biografi-dr-yusuf-al-qaradhawi.html, akses 24 Mei 2012.
[2] Muhammad al-Majdzūb, ‘Ulamā wa Mufakkirūn ‘Araftuhum, (Riyādh : Dār asy-Syurūk, 1992), hal 421.
[3] Ibid, hal 425.
[4] Ririn Fauziyah, “Pemikiran Yusuf Qardhawi Mengenai Zakat Saham Dan Obligasi”, skripsi Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (2010), hal 55.
[5] Ibid, hal 56.
[6] Umi Zulfah, “Riba dan  Bunga Bank Menurut Yusuf al-Qaradhawi : Kajian Atas Penafsiran Yusuf al-Qaradhawi terhadap Q.S. al-Baqarah : 275 dalam Bukunya Fawāid al-Bunūk Hiya al-Ribā al-Harām”, skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2004), hal 20
[7] Ibid.
[8] Ririn Fauziyah, “Pemikiran Yusuf Qardhawi Mengenai…”, hal 60.
[9] Muhammad al-Majdzūb, ‘Ulamā wa Mufakkirūn….hal 423.
[10] Ibid, hal 464-466.
[11] Yūsuf al-Qaradhāwī, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, cet. ke-9, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal 16.
[12] Ibid, hal 17.
[13] Muhammad al-Majdzūb, ‘Ulamā wa Mufakkirūn….hal 465.
[14] Shalāh ad-Dīn Sulthān, “At-Takwīn al-‘Ilmiyyah wa al-Fikrī li al-Qardhāwī”,   (Qatar : tnp,  1428 H), hal 11.
[15] Ibid, hal 467.
[16] Ibid.
[17] Yūsuf al-Qaradhāwi, Kaifa Nata’āmal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, (Kairo: Dār asy-Syurūk,2004), hal 209.
[18] Ibid, hal 210
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid, hal 211.
[22] Ibid, hal 212.
[23]  
Baca juga:  "Kafir" atau "Non-Muslim"?

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar