Santri Cendekia
Home » Bisakah “Mengantisipasi Covid-19” Dikategorikan Sebagai Keadaan Darurat?

Bisakah “Mengantisipasi Covid-19” Dikategorikan Sebagai Keadaan Darurat?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan edaran mengenai tuntunan beribadah bagi warga persyarikatan dalam Kondisi Darurat Covid-19 (SE No 03/EDR/I.0/E/2020, 31 Maret 2020).

Penulis menyebut tuntunan ini sebagai contoh pengamalan fikih berkemajuan, yaitu upaya memanfaatkan hasil pengetahuan ilmiah untuk merumuskan ketentuan-ketentuan fikih, termasuk ketentuan-ketentuan untuk mengantisipasi keadaan buruk yang kuat dugaan akan terjadi, berdasarkan penelitian dan kajian ilmiah.

Dalam kasus Covid-19 sekarang Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menjadikan upaya dan kegiatan antisipatif menghindari wabah (yang didasarkan kepada hasil penelitian ilmiah), sebagai keadaan darurat.

Kaidah-kaidah Umum tentang Keadaan Darurat

Darurat merupakan prinsip yang sudah dikenal luas di dalam kajian fikih, sejak masa awal kelahirannya.

Ada beberapa prinsip umum di dalam fikih (kaidah fikih kulliyyah) yang berhubungan dengan darurat seperti yang maknanya lebih kurang; (1) keadaan darurat (bahaya) mesti dihilangkan; (2) keadaan darurat mesti diatasi sekuat kemampuan; (3) keadaan darurat tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan darurat lain; (4) keadaan darurat menjadikan hal yang dilarang boleh dilakukan; dan (5) kesukaran tingkat hajiyat ada yang dapat ditingkatkan, masuk ke dalam darurat.

Contoh ekstrim pengamalan prinsip ini, yang ditulis di dalam kitab-kitab al-qawa`id al-fiqhiyyah,  sekiranya beberapa orang jatuh ke dalam gua yang dalam, sehingga susah keluar dari dalamnya, mereka dianggap berada dalam keadaan darurat. Sekiranya tidak ada makanan lain mereka boleh memakan mayat kawannya yang meninggal terlebih dahulu. Mereka boleh memakan mayat kawannya, tetapi tidak boleh membunuhnya (saling bunuh), karena nyawa manusia yang satu tidak lebih berharga dari nyawa yang lainnya. Mereka boleh memakan mayat tersebut sampai kenyang, bahkan sampai kuat, sehingga mempunyai tenaga untuk memanjat keluar dari gua, atau sanggup bertahan hidup sampai pertolongan datang.

Contoh lainnya, orang yang karam di laut tidak boleh merebut pelampung yang sudah dipakai orang lain untuk menyelamatkan diri, karena nyawa orang yang merebut tidak lebih berharga dari nyawa orang yang direbut. Namun mereka boleh berlomba merebut pelampung yang tidak/belum digunakan oleh seseorang.

Di dalam literatur fikih, darurat adalah sebuah keadaan yang menyebabkan jiwa seseorang terancam akan meninggal dunia, yang tidak dapat diatasi kecuali dengan melakukan perbuatan tidak normal (terlarang).

Keadaan darurat menyebabkan sesuatu yang terlarang (haram dikerjakan) dalam keadaan normal menjadi boleh dikerjakan.

Misalnya memakan bangkai, menggunakan benda haram untuk berobat, dan mengubah tata cara beribadah. Walaupun sebetulnya untuk cara beribadah ada keringanan yang lebih longgar. Ada tata cara beribadah yang boleh diubah ketika keadaan belum sampai ke tingkat darurat.

Upaya Menghindari Covid = Keadaan Darurat

Pertanyaannya, dapatkah upaya menghindari wabah Covid-19, yang menyebar dengan cepat, yang menyebabkan kematian antara 3 % – 8 % dianggap sebagai keadaan darurat. Kapan keadaan darurat ini mulai diberlakukan?

Baca juga:  Doa dan Tata Cara Qunut Nazilah dalam Kondisi Darurat Covid-19

Apakah ketika wabah betul-betul sudah menyebar (sudah zona merah, sudah menerapkan PSBB) atau lebih awal dari itu? Apakah upaya untuk mencegah suatu daerah berubah dari zona hijau menjadi zona merah bahkan kuning, sudah dapat dianggap sebagai keadaan darurat?

Sebagai perbandingan, pada Oktober tahun 2019 yang lalu, di Banda Aceh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bekerja sama dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Aceh dan Pemerintah Aceh, melaksanakan Halaqah Fikih Nasional, megenai zakat dan istihalah (salah satunya masalah imunisasi MR).

Dari laporan statistik diketahui dalam sepuluh tahun terakhir ada beberapa orang yang meninggal setiap tahun atau cacat karena terserang virus MR. Setlh Setelah berdiskusi hangat, pada akhirnya halaqah menyimpulkan bahwa laporan statistik tersebut dapat dijadikan landasan telah terjadi keadaan keadaan darurat.

Maksudnya semua anak wajib diberi vaksin rubella, walaupun ada (bahkan kuat) anaggapan vaksin tersebut tidak halal karena dalam prosesnnya menggunakan unsur babi. Pemberian vaksin ini dianggap boleh bahkan wajib dengan alasan darurat, untuk menghindarkan beberapa orang dari kematian atau cacat, sesua laporan statitik tadi.

Yang menarik bagi penulis, keadaan darurat di sini tidak didasarkan halaqah kepada kedaaan nyata pada sebuah desa, kecamatan atau kabupaten, tetapi laporan statistik untuk sebuah provinsi bahkan negara selama waktu tertentu.

Ada sejumlah anak yang setiap tahun meninggal dunia atau cacat permanen, disebabkan oleh penyakit tertentu (dalam kasus ini MR). Walaupun desa tempat tinggal anak yang meninggal ini berbeda-beda dari tahun ke tahun, tetapi jumlahnya pada tingkat provinsi atau negara relatif sama setiap tahunnya.

Karena jumlahnya relatif sama dan lokasinya juga sama (sebuah provinsi atau satuan lainnya), maka kejadian ini telah merupakan fakta, telah dapat dianggap sebagai keadaan darurat untuk seluruh daerah di wilayah tersebut.

Berhubung cara efektif untuk menghindari keadaan darurat di atas (menurut pengetahuan ilmiah) hanyalah vaksinasi menyeluruh, maka secara agama, boleh bahkan wajib melakukan vaksinasi seluruh anak, walaupun menggunakan serum yang dianggap haram (bersentuhan dengan unsur babi dalam proses pembuatannya).

Memang keputusan ini tidak diambil dengan suara bulat. Sebagian peserta halaqah menolak kesimpulan di atas dengan alasan di desa bahkan kecamatan mereka, tidak ada satu kematian pun seperti dilaporkan statistik di atas. Dengan demikian kecamatan mereka tidak dapat dianggap berada dalam keadaan darurat. Mereka tidak setuju vaksin tersebut dihalalkan dengan alasan darurat dan tidak setuju semua anak di daerah mereka wajib diimunisasi.

Perlu disebutkan, ada juga lembaga lain yang sampai pada kesimpulan sama, halal menggunakan vaksin yang dianggap tidak halal tersebut. Tetapi sekali lagi, yang menarik untuk penulis, Halaqah Fikih Nasional ini menggunakan statistik sebagai salah satu landasan fatwa, yang selama ini jarang bahkan mungkin belum pernah dipakai.

Baca juga:  Hukum 'Shaf Distancing' demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

Kelihatannya jalan pikiran dalam halaqah di atas digunakan juga dalam fatwa Majelis Tarjih mengenai tuntunan beribadah bagi warga persyarikatan dalam kondisi darurat Covid-19, yang diberlakukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui surat edaran di atas.

Kalau dalam keputusan halaqah yang lalu pencegahan kematian dilakukan dengan vaksinasi masal (menyeluruh) menggunakan serum yang berasal dari benda haram, maka dalam kasus penanggulangan wabah Covid-19 sekarang, dilakukan dengan mengubah tata cara beribadah.

Hal yang mesti diperhatikan secara ungguh-sungguh dalam kasus Covid-19, adalah penyebarannya yang relatif sangat mudah sehingga menjadi luar biasa cepat. Inilah yang menjadikan wabah ini relatif sangat ditakuti, dibandingkan  dengan penyakit lain.

Sekiranya virus ini dibiarkan berkembang tanpa upaya pencegahan secara sungguh-sungguh, di suatu kota yang relatif padat, seperti Jakarta, maka mungkin sekali orang yang tertular akan mencapai jutaan orang, hanya dalam hitungan pekan.

Dengan demikian angka kematian yang 3 % tersebut akan menjadi sangat tinggi, karena jumlah penderitanya relatif banyak sekali. Mungkin sekali prosentase ini pun akan naik, karena fasilitas kesehatan tidak mampu menampung dan menolong para penderita yang relatif akan sangat banyak tersebut.

Menurut penulis, fatwa Majelis Tarjih mengenai kebolehan tidak melakukan shalat fardhu berjamaah di masjid dan kebolehan tidak menyelenggarakan shalat Jumat (dan menggantinya dengan shalat Zuhur), begitu juga mengenai kebolehan penyelenggaraan jenazah secara darurat (boleh tidak dimandikan, boleh dikafani dengan cara seadanya asalkan menutup seluruh tubuh, dan boleh dishalatkan tidak di depan jenazah, baik sebelum atau setelah penguburan), sudah boleh bahkan mesti digunakan untuk mencegah sebuah daerah menjadi zona merah.

Jadi fatwa di atas bukan hanya untuk daerah yang sudah ditetapkan sebagai zona merah oleh Pemeritah. Sekali lagi diulangi, fatwa ini boleh bahkan wajib diberlakukan di daerah hijau atau kuning untuk mencegah jangan sampai meningkat menjadi zona merah.

Kewajiban ini menjadi lebih mudah dipahami apabila kita sadar bahwa fasilitas ksehatan dan tenaga medis yang kita miliki, tidak cukup untuk melayani pasien Covid-19 sekiranya mereka datang dalam jumlah yang banyak pada waktu bersamaan.

Keadaan akan menjadi lebih parah lagi apabila biaya perawatan yang relatif mahal, kita masukkan juga sebagai bahan pertimbangan. Kalau hal ini betul-betul terjadi maka prosentase kematian yang sekarang ini menurut statistik berkisar pada kisaran angka 3-8 %, mungkin sekali akan naik beberapa digit lagi.

Fikih Antisipatif: Kolaborasi Kaidah Ushul Fikih dan Temuan Ilmiah

Ini yang penulis sebut sebagai fikih antsipatif, dan inilah yang merupakan cara berpikir baru yang ingin diperkenalkan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih, yang sering diberi nama dengan fikih berkemajuan.

Baca juga:  Melawan Kerusakan Struktural adalah Bentuk Moderasi Beragama

Keputusan di atas dibuat setelah dilakukan pembahasan, diskusi dan musyawarah oleh beberapa majelis dan lembaga pada tingkat Pimpinan Pusat, yang meliputi Majelis Tarjih dan Tajdid, Majelis Tabligh, Majelis Pembina Kesehatan Umum, Lembaga Penanggulangan Bencana, dan Muhammadiyah Covid-19 Command Center.

Penulis rasa pembahasan ini telah melibatkan para pakar dari berbagai bidang dan disiplin pengetahuan ilmiah, sehingga kredibilitasnya dapat dipercaya.

Menurut penulis, penggunaan cara berpikir baru melalui penggunaan hasil pengetahuan ilmiah sebagai salah satu bahan pertimbangan penting dalam penyusunan fatwa, yang penulis sebut sebagai fikih berkemajuan, tidaklah berarti akan mengabaikan sama sekali kaidah-kaidah ushul fikih yang selama ini digunakan oleh para ulama.

Kaidah-kaidah ini akan tetap digunakan, akan tetapi mengalalami sedikit pergeseran dari menonjolkan kaidah-kaidah lughawiyah menjadi lebih mengutamakan kaidah-kaidah ta’liliyah ataupun kaidah-kaidah istishlahiyah. Bahkan dalam beberapa keadaan kaidah-kaidah ini pun ikut disempurnakan dan ditata kembali.

Dengan demikian, bagaimana pun juga sebuah ijtihad (terobosan ijtihad) telah dilakukan secara sungguh-sunguh. Sekiranya kesimpulan di atas dapat diterima, maka sesuai dengan hadis, kegiatan dan kesimpulan Majelis Tarjih di atas akan diberi dua pahala. Namun sekiranya keliru, tetap akan dihargai, tetapi diberi satu pahala saja.

Semoga apa yang sudah kita lakukan secara bertangung jawab, tulus, sungguh-sungguh, sesuai dengan kapasitas dan kewenangan yang ada, akan dihargai sebagai amal jariah dan ilmu yang bermanfaat, yang akan diberi pahala berkelanjutan oleh Allah SWT. Wallahu a`lam bish-shawab.

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona
  7. Tanya Jawab soal Corona, Azab, dan Masjid (1)
  8. Tanya Jawab soal Masjid dan Corona (2)
  9. Surat Terbuka bagi Mereka yang Bilang jangan Takut Corona Takutlah kepada Allah

  10. Hukum ‘Shaf Distancing’ demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

  11. Syahidkah orang yang Meninggal Karena Virus Corona? 

  12. Hukum Salat Jamaah via Video Call atau Sejenisnya

  13. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)
  14. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)
  15. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)
  16. Bantahan atas Cocokologi ‘Arti Corona dalam al-Quran’

  17. Tata Cara Adzan Saat Darurat Covid-19

  18. Doa dan Tata Cara Qunut Nazilah dalam Kondisi Darurat Covid-19

  19. Pandemi Corona sebagai Titik Konflik Agama dan Sains

  20. Alokasi Zakat untuk Jihad Medis Melawan Covid-19

 

Al Yasa' Abubakar

Penasehat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh dan Guru Besar Hukum Islam pada UIN ar-Raniry Banda Aceh

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar