Santri Cendekia
Home » Bolehkah Melamar Perempuan yang Sudah Dilamar Orang Lain?

Bolehkah Melamar Perempuan yang Sudah Dilamar Orang Lain?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
11419060_1580966808837301_2127302624_n
Jatuh cinta adalah penyakit. Sakitnya  menyiksa namun manis rasanya. Obatnya macam-macam, tapi yang halal hanya satu ; menikah. Lalu bagaimana jika kau jatuh cinta pada satu gadis yang ternyata juga dicintai orang lain? Lalu karena kamu masih mau focus menganggur, kau menunda meminangnya. Kau santai saja. Hingga suatu hari ketika kau sedang asyik nonton Uttaran, tiba-tiba datanglah pesan lewat wassap, “Mas  Aliando, aku udah dilamar si Boi” Kau pun galau. Segera saja ingin melamarnya juga. 
Namun detik berikutnya, akal nuranimu mengambil kendali, dan kau pasti akan ragu dengan niatmu sebab telah kau dengarkan bahwa ada hadis yang melarang melakukan itu. Yap, betul memang ada hadis yang membahas masalah ini. Hadis-hadis itu disusun oleh Imam Muslim dalam sebuah bab yang judulnya cukup seram bagi kamu yang sedang dalam keadaan “kompetisi”, bab itu berbunyi “Bab larangan bagi seseorang untuk melamar di atas lamaran saudaranya hingga ia diizinkan atau lamaran tersebut ditinggalkan” hadis-hadis itu antara lain ;
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلاَ يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ بَعْضٍ ».
Dari Ibnu Umar, dari Nabi saw, “Janganlah kalian melakukan transaksi jual beli di atas transaksi sebagian yang lain, dan janganlah kalian meminang perempuan yang sedang dipinang oleh orang lain” (HR. Muslim)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ ».
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, “Seorang lelaki tidak boleh melakukan transaksi atas barang yang sedang dalam transaksi saudaranya, dan tidak boleh pula ia meminang di atas pinangan saudaranya. Kecuali bila saudaranya itu telah mengizinkannya” (HR. Muslim)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شُمَاسَةَ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ ».
Dari Abdurrahman bin Syumamah, ia berkata bahwa ia pernah mendengarkan Uqbah bin Amir yang mengutip ucapan Rasulullah saw, “Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, maka tidak halal bagi seorang mukmin untuk melakukan transaksi jual beli atas barang yang sedang ditawar oleh saudaranya, dan janganlah ia melamar perempuan yang tengah dilamar saudaranya, kecuali bila lamaran itu telah ditinggalkan” (HR. Muslim)
Dari tiga hadis di atas plus judul bab yang diberikan oleh Imam Muslim, sebenarnya jawaban bagi galaumu itu sudah agak jelas. Memang tidak boleh melamar perempuan yang sedang dilamar orang, kecuali bila lamaran itu telah dibatalkan atau orang tersebut mengizinkanmu melakukannya. Tapi biar makna hadis ini bisa ditangkap dengan lebih paripurna, marilah kita bertanya kepada ulama yang saking cinta ilmunya, tetap jomblo sampai akhir hayat ; Imam Nawawi. 
Begini penjelasan Imam Nawawi dalam Syarhul Muslim li an-Nawawi yang saya terjemahkan dengan agak bebas. tanpa mengubah substansinya seperti perasaanmu yang akan tetap utuh meski tak bisa merengkuh ;
Menurut Imam Nawawi, hadis-hadis ini sudah jelas sekali menunjukan haramnya melamar di atas lamaran orang lain. Para ulama pun telah bersepakat dengan ijma’ atas keharaman lamaran semacam itu bila si pelamar pertama telah mendapatkan jawaban jelas berupa “yes I do” dari pihak perempuan sedang ia sendiri tidak meninggalkan lamarannya itu, juga tidak memberikan izin bagi pelamar kedua. 
Bila si pelamar kedua tetap nekat melamar dan perempuannya ternyata menerima juga lalu terjadi pernikahan, maka pernikahan itu tetap sah dan tidak dilakukan fasakh  alias pembatalan nikah. Inilah mazhab Imam Nawawi dan jumhur ulama. Eits, jangan senang dulu, mblo, dengar pula pendapat dari ulama-ulama lain. Daud az-Zahiri berpendapat pernikahan semacam itu harus dibatalkan, mesti dilakukan fasakh. Dari Imam Malik, ada dua riwayat soal pendapat beliau, salah satunya menyatakan bahwa perniakahan itu harus dibatalkan. Sebagian pengikut Imam Malik memberikan perincian; jika belum terjadi persetubuhan, maka pernikahannya dibatalkan. Tapi jika sudah terjadi, ya tidak usah dibatalkan. 
Ulama memang beda pendapat soal apakah pernikahan orang yang nekat melamar di atas lamran saudaranya itu sah atau batal. Namun bahkan Imam Nawawi yang menyatakan pernikahan itu sah secara hukum  tetap menegaskan, hal itu adalah sebuah maksiat. Emang kamu mau nikahmu sudah maksiat sejak sebelum malam pertama? Bisa dibayangin dong neraka seperti apa yang sedang kamu bangun.
Itu tadi jika si pelamar pertama sudah jelas mendapat jawaban “iyes” dan ia sendiri tidak membatalkan lamarannya. Nah bagaimana jika si pelamar pertama belum mendapatkan jawaban yang jelas dari pihak perempuan? Apakah kamu masih ada peluang? Hehe. Imam Nawawi, sebagai seorang pengikut mazhab Syafiiyah, menyatakan ada dua pendapat Imam Syafi’I soal ini. Pendapat yang paling sahih menyatakan bahwa lamaran semacam itu boleh alias tidak haram. 
Dalil yang menunjukan bahwa lamaran yang belum jelas jawabannya boleh ditimpali lamaran lain adalah hadis dari Fatimah binti Qais. Beliau berkisah bahwa ia pernah dipinang oleh Abu Jahm dan Muawiyah, meski mengetahui hal itu Nabi saw tidak mengingkari kenyataan bahwa telah terjadi tumpang tindih  lamaran di antara dua orang tersebut (keduanya adalah sahabat Nabi). Bahkan Nabi justru mengajukan ke Fatimah binti Qais lamaran ketiga  buat Usamah. 
Gimana mblo? Kok senyum-senyum sendiri. Lega ya? Oh jadi dia belum memberi jawaban ke pelamar pertama itu? Tapi jangan terlalu lega dulu, sebab kata Imam Nawawi hadis Fatimah binti Qais di atas ternyata bisa dipahami lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa bisa saja Abu Jahm dan Muawiyah tidak saling mengetahui soal lamaran mereka sehingga tidak dianggap melamar di atas lamaran saudaranya. Soal lamran ketiga itu, sebenarnya Nabi tidak melamarnya untuk Usamah, hanya saran/petunujuk saja agar Fatimah binti Qais menolak dua lamaran itu dan menikahi Usamah. 
Terlepas dari interpretasi lain atas hadis Fatimah binti Qais itu, jika kamu  mengikuti pendapat Imam Syafii, berarti lamaran yang belum ada jawaban jelasnya dari pihak perempuan, masih boleh ditimpali lamaran dari lelaki lain.  Kecuali… nah ada kecualinya nih hehe, Ini pengecualian dari Ibnul Qasim al-Maliki. Menurut beliau, jika pelamar pertama ternyata orang yang fasik, maka lamarannya boleh saja ditimpali sebab hadis-hadis soal ini memang bicara tentang etika sesama mukmin. Jadi jika orangnya fasik, ya sudah langkahin aja!
 Itu menurut Ibnul Qasim al-Maliki, tapi menurut Imam Nawawi sih, hadis ini berlaku umum. Jadi gimana dong kalo ternyata pelamar pertama orangnya fasik atau bahkan kafir? Ya sutra… si gadis dan keluarganyalah yang menolak dengan tegas lalu berikan jalan bagi si jomblo soleh rajin menabung dan hafal Pancasila itu untuk maju. Masalahnya, kamu masih takut maju sih mblo, mana studi belum rampung lagi.. yah, nasib nasiiib…
Sekian, jelas yak..
Wallahu a’lam.

Jadi, pembahasan ini diambil dari kitab al-Minhaj Syarhu Sahihi Muslim bin Hajjaj atau yang lebih kondang sebagai Syarhul Muslim lin Nawawi bab Nikah, juz V sekitar halaman 108. Kitabnya saya lihat di Maktabah Syamilah. l
 Maksaih “Lensa Dakwah” untuk gambarnya yang memprovokasi itu..
Baca juga:  MASALAH LAFADZ TAKBIR HARI RAYA (Fatwa MTT Muhammadiyah)

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar