Santri Cendekia
Home ยป Bukan Euthanasia, tapi Palliative Care

Bukan Euthanasia, tapi Palliative Care

Kamis 18 Maret 2020 handphone saya bergetar tanda telepon masuk. Tak seperti biasanya saya mendapat telepon dari bapak. Saya menyernyitkan dahi dan mengangkat telepon dadakan itu.

Kebanyakan ibu-ibu sering bertele-tele dalam menyampaikan maksud dan tujuan, bapak biasanya langsung to the point. Berlama-lama dalam obrolan bukanlah ciri khas bapak.

Pesan singkat dalam telepon itu cukup mengagetkan bagi saya. Secara sepihak bapak menyuruh saya gegas pulang lantaran kakek kami sedang dalam fase kritis.

Menutup telepon dan saya mulai mikir memutuskan untuk pulang atau tidak. Lamunan itu memancing memori saya saat-saat di pesantren sekitar delapan tahun yang lalu.

Ketika teman saya meminta izin pulang setelah mendapat kabar bapak kandungnya sekarat, ia ditolak pengurus pesantren. Alasannya cukup sederhana namun sangat menyakitkan: kepulangannya ke rumah tak berpengaruh pada usia bapaknya.

Bila kematian itu telah datang tak seorang pun dapat menghentikannya. Akhirnya teman saya tak jadi pulang karena dipaksa untuk pasrah. Induk dari segala sunyi menyambanginya di sepanjang malam, dirinya dihantui perasaan cemas dan gelisah.

Menengok dari pengalaman itu sebagai dasar pertimbangan, saya memutuskan pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, saya memutar lagu Banda Neira judulnya Sampai Jadi Debu.

Ada perasaan melankolis sekaligus cemas dari jalan-jalan yang kosong. Pandemi global membuat jalanan itu jadi tampak sepi dan sunyi. Wabah corona juga membuat perjalanan pulang saya jadi lebih berat.

Dalam situasi seperti ini saya harus menganggap semua orang sebagai agen penyebar corona. Namun, pulang dalam misi menemani hari-hari terakhir hidup kakek adalah perkara yang lebih berat lagi.

Pada hari Jumat 19 Maret 2020 pukul 03.00 WIB saya tiba di rumah dan berusaha menguasai emosi dengan tetap tenang. Saya langsung mengamati tubuh rapuhnya mengalami sesak nafas, penurunan berat badan, dan gangguan aktivitas.

Baca juga:  Euthanasia dalam Tinjauan Etika dan Pidana

Aktivitas organ tubuhnya telah menurun drastis akibat penuaan. Ada rasa nyeri tak tertahan yang coba dihadapi kakek. Beberapa hari sebelumnya kakek dirawat-inap di rumah.

Dokter memastikan kakek berada di fase stadium terminal, yang berarti sudah divonis tak bisa lagi diobati. Cepat atau lambat kakek tidak mampu bertahan. Tinggal menghitung mundur hari berpulang.

Posisi Kakek yang terbaring di ruang tengah telah dikerumuni anggota keluarga yang lain. Mereka memanjatkan doa-doa dan membaca al-Quran senandung suara isak tangis yang mengharukan.

Sebagian anggota keluarga mencoba berkomunikasi dengan kakek. Walau matanya tertutup rapat namun pendengarannya masih cukup aktif.

Kami memanfaatkannya untuk bercengkrama tentang hal-hal yang disukainya seperti memancing ikan di kolam dan menanam bunga di depan rumah, sambil tak lupa membimbingnya mengucap tahlil. Kami seolah ingin menghiburnya di ujung ajal.

Di hari yang sama pada pukul 09.12 WIB kakek menghembuskan nafas terakhir. Tangis keluarga besar membanjiri seisi rumah. Histeria tangisan nenek saya pecah begitu ditinggal suami yang telah menemaninya hingga berpuluh-puluh tahun.

Penduduk kampung berdatangan mengucap bela sungkawa dan rasa empati. Mereka saling berpelukan untuk mencoba saling menguatkan ikatan emosi.

Saat tangis itu berkecamuk, saya akhirnya sadar mengapa bapak memaksa saya pulang. Kebersamaan membuat kita saling menguatkan untuk menerima takdir Tuhan.

Walau pada akhirnya kakek meninggal, namun upaya yang kami lakukan adalah mengantarkannya sampai ke gerbang pintu alam kubur dengan tenang. Pasien stadium lanjut seperti kakek saya biasanya selain sakit fisik juga mengalami gangguan-gangguan psikologis.

Misalnya, ketidakikhlasan kepada Tuhan akan penyakit yang dideritanya, kegalauan akan nasib keluarganya setelah ditinggalkan, dan ketidaksiapan spiritual dalam menghadapi bila waktunya tiba.

Baca juga:  Pembaruan Kurikulum Pendidikan Tradisional al-Azhar Mesir (3)

Karenanya dibutuhkan perawatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan tenang. Aktivitas ini sering dinamakan palliative care.

Perawatan paliatif membawa harapan agar tidak ada orang yang harus mati dalam kesakitan, tanpa cinta, dan tanpa perawatan.

Begitu pentingnya perawatan paliatif ini membuat Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah termotivasi untuk menyusun tuntunan palliative care yang sejalan dengan spiritualitas Islam.

Pembahasan mengenai perawatan paliatif akan dipanelkan dengan persoalan euthanasia karena kedua kajian ini saling berkelindan.

Rencananya draft tentang euthanasia dan perawatan paliatif akan dibahas di Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-31 di Universitas Muhammadiyah Gresik. Terkait dengan waktu, pihak panitia belum dapat memastikan kapan akan terselenggaranya kegiatan tersebut.

Yang pasti, alasan Majelis Tarjih tergerak untuk membahas ini karena seolah ingin menegaskan bahwa perawatan paliatif merupakan satu keharusan bagi setiap pasien baik yang stadium lanjut maupun bukan.

Penekanan pada perawatan paliatif agar menghapus terbesitnya ide untuk melakukan praktik euthanasia. Jadi ketika dokter dihadapkan pada persoalan dilema, di mana pasien stadium lanjut merasakan nyeri tak tertahankan, dokter lebih memilih perawatan paliatif dan bukan euthanasia.

Namun, dunia kedokteran saat ini sedang diuji seberapa kuat untuk tidak tergoda melakukan euthanasia. Ujian itu datang berupa perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran paling mutakhir yang telah mampu menciptakan alatโ€“alat maupun mengambil tindakan-tidakan yang dapat memungkinkan percepatan kematian.

Selain itu dengan adanya perubahan fundamental hubungan antara pasien dan dokter yang sebelumnya bersifat paternalistik menjadi otonomi, akan membuat para dokter itu berpikir ulang tentang keharusan perawatan paliatif.

Karenanya bahasan mengenai perawatan palitif dan euthanasia dalam konteks modern yang sesuai dengan ajaran Islam begitu penting.

Baca juga:  Para Pewaris Kitab Kuning

Isu tentang mengakhiri hidup dalam bingkai sorotan teknologi mutakhir dan humanisme-sekular Barat menimbulkan persoalan yang sukar dicari jalan keluarnya.

Semoga badai pandemi corona segera berakhir agar memuluskan kerja-kerja Majelis Tarjih dalam menyusun persoalan yang tak bisa kita pandang remeh ini.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar