Santri Cendekia
Home » Buya Hamka: Pribadi yang Berjiwa Besar dan Pemaaf

Buya Hamka: Pribadi yang Berjiwa Besar dan Pemaaf

Bagi seorang yang pernah disakiti melalui lisan atau tindakan kadang sangat sulit untuk memaafkan. Alasannya berbeda-beda. Bahkan kadang secara dzahir sudah memaafkan, namun tidak dengan batinnya. Itu yang menandakan bahwa sejatinya ia belum meaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain. Tetapi tidak dengan Buya Hamka. Meskipun beliau pernah disakiti atau dizalimi dengan berbagai perbuatan, namun kata maaf selalu menjadi prioritas, sebab beliau memiliki prinsip bahwa memaafkan itu lebih baik, daripada membuat konflik. Oleh karena itu,  tulisan ini akan menceritakan kisah pribadi Hamka yang berjiwa besar dan pemaaf.

Kisah pertama. Setelah Buya Hamka terpilih menjadi Ketua Umum MUI, berbagai fitnah yang dilontarkan kepada beliau pun muncul. Orang yang  mefitnah bukanlah orang yang tidak dikenal oleh Hamka, melainkan orang yang cukup dekat denganya, sebab ia sama-sama seorang mubaligh.  Dalam ceramahnya ia pernah berkata “Hamka bukalah milik umat lagi. Dia telah menjual dirinya dengan uang satu miliar untuk dapat menduduki jabatan mulia itu (ketua MUI). Dia telah menjadi orang istana”. Seperti itulah kurang lebih cibiran yang ditunjukan kepada Hamka.

Fitnah itu tidak hanya dipublikasikan di satu tempat saja, namun diberbagai kesempatan di mubaligh berceramah. Hal ini akibat rasa sakit hatinya mengetahui Hamka adalah orang yang terpilih menjadi ketua MUI oleh berbagai organisasi seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan al-Isyad yang hadir dalam acara Mukhtamar Ulama Islam. Sampai ocehan itu terdengar oleh anaknya, lalu ia melaporkan kepada ayahnya,  Hamka.  Namun Hamka tidak pernah bereaksi dan tetap tenang dalam menyikapi kejadian itu.

Sewaktu MUI mengelurkan fatwa haram hukumnya bagi umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama, Pemerintah keberatan dengan fatwa tersebut. Sebab fatwa itu bertantangan dengan pemeritah. Sehingga MUI diharuskan untuk merevisinya. Lalu Hamka memilih keluar dari MUI  daripada harus merevisi fatwa yang berhubungan dengan akidah. Karena akidah menurut Hamka adalah harga mati yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak. Setelah tersiar berita Hamka mengambil keputusan mundur dari ketua Umum MUI, banyak tokoh Islam yang menggucapkan selamat kepada Hamka atas sikapnya yang tegas itu. Termasuk si mubaligh yang selalu menghujat Hamka. Sambil merangkul Hamka ia meminta maaf atas sikapnya selama ini. Lalu Hamka berkata “Tidak masalah, sebab dalam perjuangan pasti kita akan menemui hal-hal seperti itu, tinggal bagaimana kita menyikapinya”.

Kisah kedua. Pada tahun 1964 – 1966 M, kurang lebih adalah dua tahun empat bulan lamanya, Hamka pernah ditahan atas perintah Presiden Sukarno. Ia dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No.11, yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno. Akhirnya, buku-buku beliau dilarang  terbit dan beredar. Padahal ketika itu, masyarakat banyak yang senang membaca karangannya. Dengan di tahannya Hamka, maka secara otomatis pemasukan uang untuk keluarganya terhenti, yang mengakibatkan istri dan anak-anaknya harus survive tanpa Hamka. Irfan Hamka, salah seorang anak Hamka bercerita bahwa umminya (isteri Hamka) sampai harus mengadaikan dan menjual perhisan miliknya agar bisa menghidupi anak-anaknya. Diceritakan oleh Irfan, bahwa saat itu kehidupan ekonominya sangat sulit. Berbeeda jauh saat sebelum Hamka ditahan.

Baca juga:  Tentang Berita yang Viral dan Teori Mutawatir

Hamka baru bebas setelah rezim Soekarno jatuh digantikan oleh Soeharto. Pada tanggal 16 Juni 1970 tiba-tiba Hamka dihubungi oleh Mayjen Suryo, ajudan Presiden Soeharto. Ia datang ke rumah Hamka untuk membawa pesan dari keluarga Soekarno untuk Hamka. Diceritakan bahwa itu merupakan pesan terakhir Soekarno untuk keluarga dan dipenuhi oleh Presiden Soeharto, sehingga secara cepat Soeharto menyuruh ajudannnya menghadap Hamka.  Isi pesan tersebut ialah “ Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi Imam shalat jenazahku”. Demikianlah kurang lebih isi pesan Soekarno.

Setelah menerima pesan itu dan mengkonfirmasi kewafatannya, tanpa berfikir panjang Hamka langsung menuju ke Wisma Yaso, tempat dishalatkannya jenazah. Dengan mantap Hamka menjadi Imam. Padahal sebelumnya ia pernah dipenjarakan oleh inisiatif Soekarno, namun ia tetap ikhlas menjalankan pesan terakhir tersebut. Akibatnya banyak teman Hamka yang menyalahkan tindakan Hamka. Berbagai alasan mereka samapaikan kepada Hamka, baik langsung maupun tidak langsung. Ada yang mengatakan bahwa Soekarno adalah orang munafik, ia lebih dekat dengan golongan anti Tuhan dibandingkan umat Islam. Ada juga yang mencoba menggingatkan peristiwa masa lalu saat Hamka di penjara.

Semua padangan dari teman-temannya dijawab Hamka dengan penuh  lemah lembut “ Hanya Allah yang mengetahui bahwa seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya ia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelengarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan. Saya merasakan semua itu merupakan anugrah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir al-Qur’an sebanyak 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu,”. Hal yang harus dicontoh adalah kebiasaan berprasangka baik terhadap siapapun, sebagaiman Hamka. Ia selalu mengambil hikmah dari setiap kejadian.

Kisah ketiga. Hamka merupakan salah satu anggota Masyumi yang aktif, terutama dalam sidang merumuskan Dasar Negara Republik Indonesia. Ketika itu ada dua pilihan sebagai dasar negara yaitu UUD’45, dengan Dasar Negara Pancasila dan UUD’45, dengan Dasar Negara Berdasarkan Islam. Untuk kedua pilihan Dasar Negara tersebut, terbagilah dua front yang sama kuat. Front pertama, kelompok Islam yang dipimpin oleh Masyumi, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam. Front kedua, dipimpin PNI, Partai Nasional Indonesia, yang ingin negara berdasarkan Pancasila. Dalam suatu persidangan Hamka menyampaikan pidatonya. Dengan penuh keberaniannya ia menyampaikan “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka”. Mendengar pernyataan Hamka, para peserta sidang paripurna Konstituante itu terkejut. Tidak saja pihak yang mendukung dasar Pancasila, yang mendukung dasar Islam pun sama terkejutnya.

Baca juga:  Al-Qur’an dan Angka (Kritik Terhadap Abu Zahra al-Najdi)

Moh. Yamin adalah salah seorang tokoh PNI yang terkejut dan marah besar kepada Hamka, ketika itu. Akhirnya berlanjut kepada kebencian yang sangat kepada Hamka. Kebencinnya  dapat dilihat dari raut wajahnya saat bertemu Hamka, dan mungkin hati nurainya pun ikut membencinya. Kemarahannya selalu ditunjukan pada saat bertemu dalam acara yang berbarengan, seperti dalam seminar kebudayaan dan acara resmi lainnya.

Selang beberapa lama Moh. Yamin jatuh sakit parah, dan dirawat di Rumah Sakit Angkatan Dasar, RSPAD. Lalu suatu hari Hamka menerima telepon dari bapak Chaerul Saleh, salah seorang Menteri di kabinet soekarno ketika itu. Ia mengabarkan akan bersilaturahmi dan menyampaikan  perihal sakitnya Moh. Yamin. Akhirnya bertemu Hamka seraya bercerita “ Buya, saya membawa pesan dari pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang untuk menyampaikan pesan dari pak Yamin, mungkin pesan terakhir beliau. Ia berpesan bahwa menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya, sebab saat ini Pak Yamin dalam keadaan sekarat”.

Mendengar Pak Chaerul, lalu Hamka menanyakan kembali. Adakah pesan yang lain?. Ada Buya, jawab Pak Chaerul. “Begini Buya. Yang sangat merisaukan Pak Yamin adalah beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjunginya. Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi, kampung halamnannya, tidak berkenan menerima jenazahnya. Karena ketika terjadi pergolakan di Sumatera Barat ketika itu, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisahan wilayah dari NKRI. Beliau mengaharap sekali, Buya dapat menemani sampai ke dekat liang lahatnya.”

Tanpa berfikir panjang terhadap sikap yang pernah dilakukan Pak Yamin, Hamka langsung meminta diantar ke RSPAD, tempat Pak Yamin berada. Sesampainya di lokasi, Hamka melihat sudah banyak pengunjung yang hadir, baik dari Pendeta, Biksu Budha, dan tokoh-tokoh lain. Pak Yamin terbaring di tempat tidur dengan selang infus dan oxygen tampak terpasang. Melihat kedatangan Hamka wajah Pak.Yamin tampak berseri. Dengan gerakan yang sangat lemah mencoba memberi isyarat agar Hamka mendekatinya. Salah seorang pengunjung lalu meletakan sebuah kursi di dekat Pak. Yamin. Lalu Hamka berjabat tangan dan mencium kening tokoh yang yang bertahun-tahun membencinya. “Terimakasih buya, sudah mau mendampingi,” kata Moh. Yamin lirih. Lalu Hamka membisikan al-fatihah kepadanya dan disusul kalimat la illaha illalah. Dengan lemah Moh. Yamin mengikutinya sampai akhirnya meninggal dunia. Keesoakan harinya Hamka pun mengiringi jenazah ke pemakaman yang diinginkan Moh. Yamin yaitu di Desa Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat.

Kisah Keempat. Awal tahun 1963, dunia sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar harian ibukota, yaitu Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur. Koran berbau Komunis itu memberitakan; “Tengelamnya Kapal Van der Wijck” adalah hasil jiplakan oleh pengarang Hamka. Tidak Cuma itu, Hamka pun dituduh oleh Pramoedya Ananta Toer mencuri karangan asli dari pengarang Alvonso Care, seorang pujangga Perancis. Berbulan-bualan kedua koran tersebut menyerang Hamka dengan tulisan-tuliasan berbau fitnah. Bahkan juga menyerang pribadi, namun Hamka tetap tenang menghadapi hujatan tersebut. Bahkan anak-anak Hamka pun merasakan tekanan batin karena sering diejek guru Bahasa Indonesia. Apalagi saat mereka membaca secara langsung koran yang sengaja dikirim ke rumahnya secara gratis.

Baca juga:  Potret Pendidikan Era Khilafah dalam Buku Ahmad Syalabi

Beberapa tahun kemudian, Hamka kedatangan sepasang tamu. si perempuan merupakan seorang pribumi, sedangkan yang laki-laki seorang keturunan China. Lalu mereka mengenalkan diri kepada Hamka, yang perempuan bernama Astuti dan yang laki bernama Daniel Setiawan. Hamka agak terkejaut tatkala Astuti mengatakan bahwa ia adalah anak sulung dari Pramoedya Ananta Toer. Astuti menemani Daniel masuk Islam sekaligus meminta izin untuk bisa belajar agama Islam bersama Hamka. Sebab, ayahnya tidak setuju bila anak perempuannya yang muslimah menikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan agama.

Selesai Astuti mengutarakan maksud kedatanganya, tanpa ada sedikit keraguan, permohonan keduanya pun diluluskan Hamka.  Daniel Setiawan calon mantu Pramudya Ananta Toer langsung dibimbing membaca dua kalimat syahadat. Lalu Hamka menganjurkannya untuk khitan dan menjadwalkan untuk belajar agama bersama. Menariknya adalah pertemuan itu Hamka sama sekali tidak pernah menyinggung sikap Pramoedya Ananta Toer terhadapnya beberapa waktu lalu, seperti tidak pernah terjadi apa-apa pada keduanya.

Salah seorang teman Pramoedya yang bernama Dr. Hoedaifah Koedah pernah bertanya, apa alasan  tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram menjelaskan kepada temannya tersebut: “Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah bersuami dengan laki-laki yang seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka” jelas Pram.

 Menurut Dr. Hoedaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006. Secara tidak langsung, dengan mengirim calon menantu dan anak perempuannya kepada Buya, seakan ia meminta maaf atas sikapnya telah memperlakukan Hamka kurang baik di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat. Demikian Hamka, secara tidak langsung pula telah memaafkan Pramoedya Ananta Toer dengan bersedia membimbing dan memberi pelajaran agama Islam kepada sang calon menantu.

Sikap Hamka yang pemaaf sangat istimewa. Meskipun punya kesempatan untuk membalas, namun tidak digunakannya. Ia lebih senang untuk memaafkan dan berbuat baik kepada orang-orang yang pernah berbuat buruk padanya. Inilah kebesaran jiwa Hamka yang selalu mempunyai pandangan baik kepada sesama manusia dan alam sekitar, yang patut dicontoh oleh orang-orang setelahnya.

Sumber bacaan:

Hamka, Irfan. Ayah. Jakarta: Replubika Penerbit. 2013

Hamka. Pribadi Hebat. Jakarta: Gema Insani. 2014

Fadhlurrahman Rafif Muzakki

Alumni PAI UMY!

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar