Santri Cendekia
Home » Cabang Iman Pertama : Iman Kepada Allah SWT

Cabang Iman Pertama : Iman Kepada Allah SWT

Cabang Iman Pertama : Iman Kepada Allah SWT

Jaman dahulu kala, hidup seseorang bernama Ibrahim. Dia seorang anak kecil yang dibesarkan oleh seorang ayah pembuat patung berhala. Masyarakat di tempat Ibrahim menyembah patung yang mereka anggap sebagai pencipta alam semesta, pemberi bahagia dan penghukum manusia. Jika manusia tidak memberikan pengorbanan dan hormatnya pada patung berhala, maka kehidupannya akan sengsara dan didera penderitaan sepanjang hayat, karena itulah patung-patung itu disembah dan diagungkan.

Ibrahim beranjak dewasa, akal pikirannya menjadi matang. Ia ragu akan apa yang telah dijalankan oleh masyarakat desanya. Apakah benar kita harus menyembah patung berhala? Mengapa kita harus menyembah patung-patung hasil buatan tangan manusia? mungkinkah sesuatu yang dibuat dan dibentuk manusia itu menciptakan alam semesta ini?

Apa yang terjadi di masyarakat tempat Ibrahim tumbuh nampak aneh bagi akal pikiran Ibrahim. Jika patung-patung itu tidak mungkin menciptakan alam semesta ini lalu siapa sesungguhnya yang menciptakan hidup dan dunia? siapakah dia yang maha kuasa? Sesuatu yang mesti kita sembah dan taat kepadanya.

Pada suatu malam, Ibrahim melihat bulan purnama yang begitu terang. Jaman dulu belum ada polusi cahaya-cahaya lampu. Sinar purnama begitu benderang dan membuat takjub mata Ibrahim. Dia tercengang akan keagungan purnama tersebut. Ibrahim menduga, mungkin inilah pencipta alam semesta. Ia begitu besar dan terang sampai cahayanya menerangi malam. maka semalam suntuk itu Ibrahim mengangungkan purnama.

Sampai pagi tiba, terbitlah matahari dari timur. Purnama pun menghilang dari langit. Yang terang benderang sekarang adalah matahari. Terangnya pun menyilaukan dan lebih benderang di banding purnama. Warna langit berubah menjadi biru cerah. Ibrahim menduga, wah rupanya inilah pencipta semesta. Ini lebih besar! Lalu Ibrahim mengagumi matahari sampai ia tenggelam dan ia terperanjat. Pencipta semesta itu tak mungkin sesuatu yang hilang dan sirna. Ibrahim pun menyerah dan berpasrah diri. “Aku berserah diri pada pencipta alam semesta”. Setelah itu, Ibrahim pun mendapatkan wahyu dari Allah. dan Allah memberitahukan pada Ibrahim bahwa Dialah sang pencipta dan Tuhan semesta alam.

Kisah Nabi Ibrahim Alaihi Salam ini adalah pengantar untuk cabang iman yang pertama, yaitu beriman bahwa tiada tuhan selain Allah. laa ilaaha illa Allah.

Ketika kata “Laa ilaaha illa Allah” ini diperdengarkan pada orang Arab Quraisy di masa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Salam. Semua orang gempar. Bangsa Quraisy saat itu sangat menggemari sastra. Bahasa bangsa Quraisy begitu kaya. Orang-orang di masa itu sangat peka dan detail dalam bahasa. Buktinya, ada beberapa puluh kata yang menggisyaratkan tentang ‘cinta’. ada kata Hubb, Rahmah, Rahim, mawaddah, dan lain-lain. semuanya memiliki makna tersendiri dan memiliki arti yang beda antara satu kata dengan kata yang lain. untuk kata ‘baik’, Bahasa Arab mememiliki beberapa kata seperti ‘ihsan, khaer, ma’ruf, birr, thoyyib, sholih, dan lain-lain. Dengan demikian, Bahasa arab sangatlah kaya. Dan orang-orang saat itu sangat melek sastra. Dengan kekayaan wawasan sastra dan kepekaan bahasa, Kata laa ilaaha illa Allah dimaknai begitu dalam dan menggetarkan oleh bangsa Quraisy. Satu kata sederhana itu bisa merevolusi kehidupan manusia.

Baca juga:  Tadabbur Ali Imran : 110-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, Imun Sebuah Peradaban

Laa ilaaha illa Allah. Tiada tuhan selain Allah.

Dalam laa ilaaha illa Allah, ada dua penggalan kalimat. Kalimat ‘Tiada tuhan’ dan kalimat ‘selain Allah’. Dengan kalimat ‘tiada tuhan’, menurut Prof. Amin Rais, manusia dibebaskan dari segala bentuk perbudakan, dari segala belenggu, merdeka dari segala tuan dan tuhan palsu. Kalimat ini memerdekaan manusia. Manusia yang selama hidupnya terjajah dan terpasung dalam ketakutan yang tidak berujung, akhirnya terbebaskan dengan kalimat laa ilaaha. Manusia menjadi PolyAtheis. Menolak mempercayai adanya berbagai macam tuan dan tuhan palsu. Merdeka.

Lalu kalimat harus berlajut. Kalimat Illa Allah adalah penetapan dan pemantapan keyakinan hati bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dialah yang maha pengasih dan lagi maha penyayang yang menciptakan alam semesta. Maka hanya pada Dialah kita berserah diri dan berpasrah.

{وَ المُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ ءَامَنَ باِللهِ} (البقرة : 285)

“Demikian orang beriman, semuanya beriman pada Allah” (Al-Baqarah : 285)

{يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا ءَامِنُوْا بِاللهِ} (النساء : 136)

“Wahai orang beriman, berimanlahpada Allah” (Annisa : 136)

Menurut Emha Ainun Nadjib. Kalimat syahadat Asyhadu an laa ilaaha illa Allah berarti sangat dalam. Kita bersaksi bahwa Dialah Allah sang pencipta semesta. Dengan demikian, dalam pikiran kita harus terbangun pandangan tauhid yang menyeluruh terhadap alam semesta. Bukan hanya manusia, matahari, dan planet atau benda-benda raksasa yang Allah ciptakan, tapi juga kuman dan semut. Bahkan tanah dan daun yang berguguran, semua adalah kehendak dan ciptaan Allah. Manusia sebagai makhluk yang diberikan amanah untuk memakmurkan alam semesta harus bertanggung jawab atas semua makhluk Allah. maka mengekspolitasi alam untuk kepentingan sesaat dan pribadi adalah pelanggaran terhadap kata laa ilaaha illa Allah. Perbuatan tidak baik pada orang lain atau bahkan hewan yang semena-mena, itu juga pencederaan terhadap kalimat syahadat.

Baca juga:  Wajah Allah ada Banyak????? (Al-Baqarah 115)

Ada sebuah hadits yang menarik diriwayatkan oleh Utsman ibn ‘Afaan Radiyallahu anhu.

و حديث عثمان بن عفان رضي الله عنه في صحيح مسلم : من مات و هو يعلم أن لا اله الا الله دخل الجنة. (مسلم : 26)

Rasulullah bersabda. “Barang siapa yang mati dan dia berilmu/tahu tiada tuhan selain Allah maka ia akan masuk surga”

Yang menarik dalam hadits ini adalah pemakaian kata ‘يعلم’. Berilmu. Setelah penulis lihat di kamus Almawrid. Kata يعلم memiliki beberapa arti yaitu know, have knowledge, become aware, learn, come to know, find out. Maka kata يعلم ini jadi menarik. Dalam beriman, manusia tidak hanya mengimani secara begitu saja tanpa proses. Menelan mentah-mentah kata iman pada Allah ke hati. Iman pada Allah mesti diperkuat dengan pencarian, belajar, pemahaman, dan ilmu. Orang yang melakukan pemantapan iman memalui ilmu dan pemahaman, maka mereka akan masuk ke dalam surga Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Dalam Surat Al-ikhlas, di sana tertulis bahwa Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu. Allah telah memberikan banyak kenikmatan pada manusia. udara yang begitu segar untuk kita hirup dan melangsungkan hidup. Setiap hari seluruh manusia dan hewan kencing dan buang air, tapi kita selalu menemukan air jernih yang bisa diminum dan menghilangkan dahaga kita. air dengan siklusnya bisa bersih dengan sendirinya tanpa manusia berlelah-lelah diri melakukannya. Air laut yang asin diterangi cahaya matahari sehingga ia terbang menjadi uap kemudian menjadi awan, setelah awan terbang melangit, turunlah awan itu menjadi hujan. Kita yang tak bisa meminum air laut yang asin pun akhirnya bisa minum ait tawar yang menyegarkan dari hujan.

Pada tanah dan lumpur yang kotor. Ternyata di sanalah rezeqi kita tumbuh. Berbagai tanaman seperti padi dan bermacam jenis buah yang berbeda aroma dan rasa tumbuh subur untuk kepentingan manusia. sangat unik, setiap tumbuhan memiliki musim berbuahnya masing-masing. Setelah diteliti di lab. ternyata buah-buah yang muncul di musim tertentu itu memenuhi gizi dan vitamin yang manusia dan hewan butuhkan pada musim yang manusia hadapi. misalkan buah semangka dengan kadar air yang banyak berbuah pada musim panas. Pada cuaca dingin berbuahlah pohon apel dan jeruk. Vitamin C yang terkandung di buah apel dan jeruk membantu daya tahan tubuh manusia untuk menghadapi dingin menjadi kuat. Ajaib.

Baca juga:  Kekayaan dan Kemiskinan hanyalah Ujian (Al-Fajr : 15-16 end)

Allah menciptakan gunung-gunung yang tinggi menjulang dan menghujam ke tanah. Gunung menjadi tinggi untuk melindungi makhluk hidup dari angin yang berhembus sangat kencang. Dan gunung menghujam ke tanah agar menjaga dari pergeseran lempeng bumi yang membuat gempa di mana mana, dengan itu manusia dan hewan-hewan bisa hidup tentram di daratan.

Maka Nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?

Allah bahkan lebih dekat dari urat leher kita. begitulah yang tersirat di Al-Qur’an. Dialah pengasih dan penyayang manusia. Nikmatnya tak akan pernah terhitung. Allah menitipkan cinta yang sangat besar pada Ayah dan Ibu kita. kita menjadi begitu disayang dan dimanja ketika kita kecil. Dipenuhi segala kebutuhan dan keinginannya. Padahal seringkali manifestasi cinta itu terasa begitu irasional. Malam yang dingin adalah waktu yang sangat enak untuk tidur nyenyak, tapi ibu terbangun dari tidur pulasnya untuk memastikan kita tidak digigit nyamuk.

Memiliki uang yang lumayan itu mengasyikan jika dipakai untuk bertamasya dan bersenang-senang. Tapi ayah menahan diri untuk membelanjakan uangnya untuk diri sendiri. Ia curahkan semuanya untuk kita. ia sangat peduli terhadap pendidikan kita. Ayah dan ibu sangat bisa untuk makan enak dan bersenang setiap hari, tapi mereka berdua lebih memilih untuk kebaikan kita di masa depan. Sangat absurd dan tidak masuk akal. Tapi itulah cinta yang Allah titipkan pada orang tua kita. jika ada orang yang sangat alergi dengan hal yang tidak masuk akal sehingga ia memilih untuk tidak percaya pada Allah dan menghamba pada sains. Maka bagaimana ia bisa dengan santainya menikmati kebaikan ayah dan ibu yang tidak masuk akal? Bagiamana ia bisa menafikan begitu besarnya anugrah yang ia rasakan secara gratis, padahal ia tidak melakukan apa-apa. Kita akan mendapatkan apa yang kita usahakan, itu rasional. Tapi nyatanya banyak sekali kita merasakan nikmat dari apa yang tidak kita usahakan.

Itulah kiranya cabang iman yang pertama. Iman pada Allah. Dialah satu-satunya Tuhan. Pencipta Alam semesta. Pemberi segala nikmat yang selama ini kita rasakan. Pada-Nyalah kita taat dan menyembah.

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Ta’ala

Ginan Aulia Rahman

Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, dulu nyantren di Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Ma'had Addauly Damascus, Syria.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar