Santri Cendekia
muhammadiyah
Home » Cakupan Ijtihad dalam “Ushul Fiqih” Muhammadiyah

Cakupan Ijtihad dalam “Ushul Fiqih” Muhammadiyah

(Sebuah Kajian Setengah Matang oleh Penulis Setengah Sadar ketika sisa Malam Kurang dari Setengah)
Ijtihad  secara etimologis berasal dari bahasa Arab. Menurut Yusuf al-Qaradhawi akar katanya sama dengna akar kata jihad yakni ja ha da[1].  Menurut Ibnu Manzhur, kata yang berakar dari ketiga huruf tadi bisa berarti kesulitan, kemampuan, kesanggupan dan tujuan. Sedangkan jika telah berubah wazanya dan menjadi lafal ijtihad maka artinya adalah mengerahkan kemampuan[2].  Kata ijithad hanya digunakan untuk pekerjaan yang benar-benar sulit, sehingga kata ini digunakan untuk menggambarkan seorang yang mengangkat batu  yang berat dengan kalimant ijtahada fi hamli al-hajri, dan tidak digunakan untuk menggambarkan pekerjaan yang tidak membutuhkan tenaga banyak seperti mengangkat biji sawi[3].   
Secara terminologis ijtihad menurut al-Ghazali adalah[4] :
بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشريعة
Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan (al-ilm)tentang hukum-hukum syar’i.
Al-Amidi merumuskan ijtihad dengan kalimat berikut[5] :
استفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه
Rumusan al-Ghazali masih umum dan tidak menjelaskan lapangan ijtihad, meskipun demikian dari kalimat badzlu al-mujtahidi wus’ahu dapat difahami bahwa lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang zhanni saja, sedangkan masalah-masalah yang sudah qath’i tidak perlu lagi dilakukan ijtihad.  Dalam hal ini al-Amidi menyebutkannya secara eksplisit bahwa yang menjadi lapangan ijtihad adalah permasalahan yang zhanni saja.
 Hal penting lain yang harus dicatat pada pengertian yang dirumuskan al-Amidi adalah disyaratkannya  usaha semaksimal mungkin, proses ijtihad tidak boleh berhenti sampai mujtahid merasa tidak akan bisa lagi berbuat lebih. Dengan demikian hasil ijtihad tidak akan premature.
Dalam pandangan ahli ushul fikih, yang dimaskud mujtahid hanyalah ahli dalam bidang fikih[6], sehingga ijtihad hanya ada di dalam kajian fikih saja. Pandangan seperti ini terlihat dari kedua rumusan dari dua ulama di atas. Di dalam bidang fikih pun, lapangan ijihad dibatasi hanya pada masalah-masalah yang tidak secara eksplisit disebutkan di dalam al-Qur’an atau Hadist dan masalah-masalah yang terdapat di dalam keduanya tetapi bersifat zhanni ad-dilalah. Permasalahn-permasalahan tersebut ditangani dengan tetap merujuk kepada al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama ajaran Islam yang kemudian diinterpretasikan sesuai dengan masalah yang sedang diselesaikan[7]. Interpretasi itu dilakuakan dengan memperhatikan jangkauan lafal yang dikandung sebuah teks keagamaan dengan kaidah kebahasaan dan tujuan umum disyari’atkannya hukum Islam.
Namun demikian, sebagian ulama termsuk asy-Syaukani mengakui adanya isitlah ijtihad di dalam kajian  yang dilakukan ahli kalam, betapapun istilah itu hanya diakui oleh mereka dan tidak oleh para fukaha. Ijtihad yang terakhir disebut ini disebut ijtihad dalam al-hukm al-ilmi[8], ketetapan-ketetapan teoritis semata sedangkan ijtihad para fukaha disebut ijtihad pada ranah al-hukm al-amali yakni ketetapan-ketetapan  hukum yang praktis.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ulama terpolarisasi ke dalam dua kubu – dengan pengecualian beberapa sosok- yakni mutakallimin yang mengklaim adanya ijtihad di dalam lapangan al-Hukmu al-Ilmiy selain al-Hukmu al-Amaliy, dan di posisi berseberangan para fukaha yang menganggap ijtihad hanya ada pada ranah yang kedua. Lalu dimanakah posisi “usuhul fikih” Muhammadiyah?. Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin ada yang hendak diperjelas terlebih dahulu. Ushul fikih Muhammadiyah yang dimaksud di sini adalah pandangan-pandangan ushuli Muhammadiyah yang tertuang di dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Konsep ijtihad menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah  mengakomodir kedua pendapat di atas. Di dalam Manhaj Tarjih yang merupakan hasil Munas Tarjih ke 25 disebutkan dua pengertian ijithad. Pengertian pertama adalah ijtihad secara umum, dimana dikatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu[9]. Pada rumusan ini diakui adanya ijtihad pada ranah aqidah, filsafat, dan tasawwuf sehingga pendapat para mutakallimin tertampung di dalamnya.
Pengertian ijithad yang kedua dikhususkan pada bidang hukum, dimana dikatakan bahwa ijtihad hukum  adalah mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum syar‘i yang bersifat zhanni dengan menggunakan metode tertentu yang dilakukan oleh yang berkompeten baik secara metodologis maupun permasalahan[10].
Jika diperhatikan konteks disampaikannya di dalam Manhaj Tarjih, dapat diketahui bahwa pengertian ijtiahad yang pertama disebutkan di dalam konteks pengertian umum isitilah-istilah yang digunakan di dalam Manhaj Tarjih, sedangkan pengerian kedua konteksnya adalah penjelasan mengenai posisi, fungsi dan ruang lingkup ijtihad. Maka dapat disimpulkan bahwa Majelis Tarjih mengakui adanya ijtihad di dalam bidang aqidah namun dalam pengertian yang berbeda dengan ijtihad dalam bidang fikih. Hal ini dapat dipahami dengan lebih jelas jika dikembalikan kepada konsep tajdid yang meruapakan salah satu konsep pokok gerakan Muhammdiyah. Berdasarakn hasil Munas Tarjih ke 22 di Malang  tajdid dalam Muhammadiyah memiliki dua aspek yakni pemurnian dan peningkatan, pengembangan, modernisasi atau yang semakna dengannya[11].  Makna ijtihad dalam bidang aqidah kembali kepada tajdid dalam pengertian yang pertama yakni pemurnian, sehingga ijtihad dalam konteks tersebut bermakna usaha yang sungguh-sungguh dalam memurnikan aqidah Islam.
2012-03-14 (as Risalah’s side story).

 

Baca juga:  Kritik Terhadap Struktur Hierarki Mujtahid (Bagian 2)

[1] Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad fi al-Syari’ati al-Islamiyati, (Cetakan PDF dapat di internet reeekkkk)
[2]Al-Imam al-Allamah Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Kairo : Dar al-Hadist, 2003), II : 239.
[3] Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), I : 4.
[4] Ibid
[5] Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabiy, 1984), IV : 169.
[6] Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Muhammadiyah , (Logos Publishing House, 1995) hal. 14.
[7] Ibid. hal 16.
[8] Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Fi Tahqiq al-Haq Min Ilmi al-Ushul, ( Damaskus : Dar al-Kitab al-Arabi, 1999) II. 205.  
[9] Keputusan Munas Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. (GIMANA BIKIN FOOTNOTENYA??)
[10] Ibid.
[11] CARI BUKU KMHHHHHHHHHHH

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar