Santri Cendekia
Home » Cara yang Tepat Membela Pelaku Homoseksual

Cara yang Tepat Membela Pelaku Homoseksual

Barusan saya menyimak paparan Ayub soal pandangan Islam tentang penyimpangan orientasi seksual. Pertama-tama ia membedakan antara Same-Sex Attraction (SSA) dan Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT). SSA adalah istilah untuk orang yang memiliki kecenderungan suka sesama jenis, sedangkan LGBT adalah identitas seseorang yang merasa bangga dan mengakui secara terbuka dirinya sebagai penyuka sesama jenis.

Karenanya, gerakan LGBT biasanya komunitas yang ingin mendapat pengakuan dan legalitas formal sebagai gender ketiga. Gerakan ini berfokus pada penyadaran kepada masyarakat umum bahwa orientasi seksual mereka bukan termasuk penyimpangan, sehingga layak mendapatkan hak-hak seksual seperti menikah, membangun keluarga, dan menghilangkan diskriminasi di ruang publik.

Dalam buku Before Homosexuality in the Arab-Islamic World karya Khaled El-Rouayheb menyebut bahwa di dunia Islam antara tahun 1500-1800 homoseksualitas relatif diterima dan ditoleransi. Sebab LGBT merupakan bagian dari sejarah umat manusia. Baik Alkitab maupun al-Qur’an juga mencatat keberadaan mereka. Lantas, mengapa masyarakat muslim saat ini begitu membenci aktivitas LGBT secara umum?

Menurut Ayub, di dalam komunitas Islam ada dua kecenderungan dalam memandang LGBT ini, yaitu: Kelompok pertama, membiarkan dan mengadvokasi kalangan LGBT. Kelompok ini menilai bahwa LGBT merupakan perilaku yang alamiah dan normal. Hal ini didukung oleh American Psychiatric Association (APA) yang mendeklasifikasi homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Karena dianggap alamiah dan bawaan dari lahir, kelompok ini menafsir ulang ayat-ayat yang terkesan “homofobik”.

Salah satu contoh penelitian serius yang mendukung eksistensi LGBT adalah buku Islamic Law and Muslim Same-Sex Unions karya Junaid Jahangir dan Hussein Abdullatif. Dengan tegas dikatakan bahwa tidak ada ayat Al Quran yang secara langsung membahas hubungan sesama jenis. Larangan tersebut secara tidak langsung diturunkan melalui qiyas dari kisah Nabi Luth terhadap kaumnya, sehingga bagian dari ijtihad para ulama, dan bukan ketentuan langsung dari Tuhan seperti larangan memakan daging babi, bangkai, dan darah.

Baca juga:  Mengatasi Sakit Hati Ala Nabi

Lebih dari itu, kelompok ini sering mengutip pandangan Ibn Hazm dalam kitab Al Muhalla yang menegaskan bahwa kaum Luth diazab Allah bukan karena perbuatan seks sesama jenisnya. Mereka diazab karena berselingkuh, memaksa hubungan seksual secara berlebihan (pemerkosaan/non-consent), dan melakukan kekerasan terhadap tamu yang seharusnya mereka sambut. Dengan argumen ini, kelompok pertama menyimpulkan bahwa LGBT dan menikah sesama jenis bukan sesuatu yang terlarang dalam agama asalkan bertumpu pada asas mawaddah (kasih sayang).

Kelompok kedua, membantu kalangan LGBT dengan memberikan pandangan mengapa aktivitas mereka terlarang. Kelompok ini menanggapi argumen-argumen yang datang dari kelompok pertama. Menurut mereka, larangan homoseksual bukan berdasarkan qiyas dari kisah Luth melainkan memang dipahami langsung dari teks Al-Quran. Para ulama memang menggunakan qiyas, namun dalam konteks ketika membahas “hukuman” bukan “hukum” tentang homoseksualitas (spesifiknya sodomi/anal sex).

Imam Malik dan jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman mereka yang melakukan aktivitas homoseksual adalah rajam bagi yang muhshan (telah punya pasangan legal) dan cambuk serta diasingkan bagi yang ghair muhshan. Fatwa ini didasarkan pada QS al-Hijr ayat 74 dan qiyas dari hukuman pelaku zina. Sementara menurut Abu Hanifah dan Ibn Hazm, hukuman atas pelaku homoseksual adalah takzir, bukan rajam. Artinya, bentuk hukuman diserahkan kepada kebijakan penguasa. Jadi, para ulama berbeda pendapat soal hukuman bukan hukum homoseksualitas.

Karenanya, meski para ulama klasik berpendapat bahwa umat Luth diazab Tuhan bukan karena orientasi homoseksual, tapi mereka telah sepakat bahwa perbuatan tersebut sebagai fakhisyah yang dilarang dalam agama. Perbedaannya hanya pada “takyif” atau tata cara hukuman yang dijatuhkan. Bahkan Ibn Hazm yang namanya sering dikutip oleh para pembela LGBT dengan tegas menyatakan bahwa sesiapa yang menghalalkan (homoseksual/anal sex) maka bisa terjatuh ke dalam kekafiran, musyrik, dan halal darah juga hartanya.

Baca juga:  Menguji Keseriusan Ikhtiar Muhammadiyah dalam Membela Palestina

“Pada dasarnya, premis-premis utama argumen Jahangir dan Abdullatif masih sama dengan premis-premis tafsir liberal lainnya. Strategi mereka pun sama, yakni mendelegitimasi ijma dengan mencari-cari pendapat minor, dan membawa perdebatan klasik ulama ke konteks modern, melepaskan dari konteksnya,” ujar Ayub dalam Saturday Forum pada Sabtu (04/06).

Menurut Ayub, cara berargumen kelompok pertama sebenarnya telah ditempuh para ulama klasik. Namun para ulama tersebut tetap menetapkan keharaman aktivitas homoseksual. Bisa jadi, terdapat faktor eksternal berupa keyakinan tentang apa itu manusia, tolok ukur etika baik-buruk, dan pandangan dunia lainnya yang membuat kelompok pertama ini berbeda pandangan dengan ijma para ulama.

Lantas apa yang harus dilakukan umat Islam? Menegaskan keharaman perilaku homoseksual terutama sodomi (QS. Al A’raf: 81). Dalam Fatwa Tarjih yang termaktub dalam buku Tanya Jawab Agama jilid IV disebutkan bahwa homoseks, hukumnya haram. Demikian pula dengan lesbian. Karena dalam QS. An Naml ayat 55, kaum Luth disebut sekelompok orang yang tidak mengetahui (qawmun tajhalun), maka tugas umat Islam adalah memberitahu mereka.

Lebih dari itu, apa yang kita benci hanyalah perilakunya, bukan orangnya. Sehingga yang harus dilakukan adalah merangkul kembali mereka, mengajak pada jalan yang lurus. Tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan kekerasan seperti menghujat, memukul, mengucilkan, dan lain-lain kepada para pelaku homoseksual. Tidak perlu pula membatasi aktivitas sipil mereka sebab yang dilarang hanya perilaku seksualnya.

Bagi seorang yang memiliki kecenderungan homoseksual, ia harus tunduk kepada ketentuan Allah meskipun itu tidak mudah. Tempatkan perkara ini sebagai cobaan dari Allah berupa kecenderungan menyukai sesama jenis. Sebagaimana cobaan lainnya, Allah memastikan ujian yang diberikan pasti bisa dilewati oleh hamba-Nya (QS. Al-Baqarah: 286). Allah bersedia senantiasa menerima taubat dari hamba-Nya (QS. Az-Zumar: 53-54).

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar