Santri Cendekia
Home » Dari Demokrasi Islami ke Demokrasi Muslim: Memahami Perubahan dalam Pemikiran Politik Islam (2)

Dari Demokrasi Islami ke Demokrasi Muslim: Memahami Perubahan dalam Pemikiran Politik Islam (2)

Pada bagian sebelumnya saya telah memberikan pengantar tentang perubahan kolosal dalam ranah politik di dunia Islam di abad dua puluh. Saya juga telah menjelaskan tentang pengantar kelahiran Islamisme dan demokrasi muslim dan gambaran umum tentang karya Andrew March. Pada bagian ini saya akan menjelaskan tentang perkembangan politik di Tunisia pasca the Arab Spring dan biografi singkat aktor politik muslim yang sangat sentral bagi negara ini, yaitu Rasyid Ghanusyi.

Politik Tunisia

Tunisia adalah negara Arab pertama yang mengalami huru hara politik dan memasuki periode Musim Semi Arab. Berawal dari rasa frustrasi dan pembakaran diri seorang penjual sayur bernama Bou Azizi pada tahun 2011, muncullah gerakan masa besar-besaran yang pada akhirnya dapat menggulingkan presiden Zainal Abidin Ben Ali dari kursi kekuasaannya.

Pengalaman Tunisia ini kemudian menginspirasi gerakan serupa di negara-negara Arab lainnya. Hanya saja, sayang sekali, tidak ada satu pun hasil membanggakan yang tersisa dari gerakan perlawanan ini, termasuk di Tunisia sendiri. Semua negara Arab kembali kepada sistem represif bahkan totaliter. Selain itu, ironinya ada beberapa negara yang justru terjerembap ke dalam perang saudara tidak berkesudahan. Musim Semi Arab akhirnya menjadi mimpi buruk yang membuat trauma masyarakat umum.

Tunisia sendiri pada awalnya sebenarnya menunjukkan kemajuan yang relatif lebih positif dibandingkan dengan negara Arab lainnya. Tidak seperti di Mesir misalnya, sampai hari ini keterlibatan militer sangat minimal dalam proses transisi di negeri ini. Partai-partai politik mengelola dirinya secara bebas tanpa ada bayang-bayang hegemoni tentara.

Namun ternyata otoritarianisme tidak harus terjadi melalui tangan militer. Ia bahkan bisa berlangsung melalui tangan kaum sipil sendiri. Saya kadang berpikir, mungkin sudah sedemikian melekatnya sistem otoriter dalam memori masyarakat Arab, sehingga setiap kali proses demokratisasi akan mereka lakukan, pada akhirnya mereka akan kembali ke titik yang sama. Mereka seperti berjalan dalam jalur sirkuler: semua proses panjang dilalui dengan susah payah, akhirnya akan membawa mereka ke titik awal.

Proses demokrasi di Tunisia memang berhasil mengangkat presiden dan perdana menteri melalui pemilu yang normal. Namun kemudian ini dicederai oleh tindakan represif dari penguasa. Pada tanggal 25 Juli 2021, terjadi peristiwa yang disebut oleh peneliti sebagai “kudeta konstitusional”. Kais Said, presiden Tunisia, memutuskan untuk membubarkan pemerintahan yang dipimpin oleh perdana menteri Hichem Mechichi. Ia juga membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tindakan ini ia lakukan karena merespons demonstrasi masyarakat yang tidak puas terhadap kinerja pemerintahan dalam menangani pandemi Covid-19. Ironinya, Said adalah presiden sipil dengan latar belakang sebagai ahli hukum tata negara. Artinya, Said adalah ahli hukum yang merusak hukum itu sendiri.

Baca juga:  Usul Fikih dan Penemuan Hukum Berbasis Paradigma Maqasidi

Tindakan Said ini kemudian dilanjutkan dengan serangkaian aksi represif lainnya, di antaranya adalah pembekuan konstitusi Tunisia yang disusun tahun 2014. Ia juga memberikan dirinya kekuasaan yang hampir tanpa batas untuk memerintah melalui dekrit. Ia juga melakukan penangkapan kelompok yang berbeda pendapat dengan dirinya, termasuk Ghanusyi sendiri, yang terlibat sejak awal dalam proses demokratisasi damai di Tunisia. Ghanusyi ditangkap dengan tuduhan melakukan konspirasi, mengancam keamanan negara, dan menerima dana asing. Ia kemudian divonis hukuman penjara selama tiga tahun di usianya yang sudah tidak muda lagi, 80 tahun.

Penangkapan Ghanusyi ini sangat ironi, karena ia  sejak awal berkomitmen untuk mengawal demokrasi secara damai di Tunisia. Dalam beberapa kali pemilu, ketika partainya al-Nahdah memperoleh suara yang sangat signifikan dan memiliki peluang untuk memonopoli kekuasaan, ia tetap tidak melakukannya. Ia harus membuktikan bahwa ketika berkuasa, kelompok Islam bisa bertindak demokratis.

Hanya saja, memang yang perlu dicatat adalah sentimen anti kaum Islamis masih sangat tinggi di negeri ini. Kelompok Islamis selalu dipandang dengan penuh kecurigaan: mereka dianggap akan menerapkan sistem teokrasi (otoritarianisme berdasarkan agama). Inilah yang membuat posisi Ghanusyi dan partainya seperti berpolitik di tepi jurang atau seperti berenang di samping mulut buaya. Kalau tidak berhati-hati akan terjatuh atau akan dilahap habis oleh buaya.

Lawan politik kaum Islamis dan masyarakat umum banyak yang beranggapan bahwa al-Nahdah tidak jauh berbeda dengan kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mereka adalah orang-orang konservatif yang mengekang kebebasan dan kesetaraan. Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi (yang memimpin pada 2014–2019) yang sekaligus pendiri partai sekuler al-Nida, lawan politik al-Nahdah, bahkan berkampanye tentang adanya ancaman jihadis kelompok Islamis di Tunisia. Kata Andrew March terkait dengan posisi al-Nahdah yang selalu dicurigai ini:

Baca juga:  Kembali Fitri Setelah Pandemi

Despite ten years of consensus-based politics in which Ennahda neither could nor seemed to want to monopolize power for itself, the image of “Islamists” as a threat to the gains of state-driven secularism and feminism could not be completely dislodged in the minds of many Tunisians.

“Meskipun sudah sepuluh tahun politik berbasis konsensus di mana Ennahda tidak bisa dan sepertinya tidak ingin memonopoli kekuasaan untuk dirinya sendiri, citra “Islamis” sebagai ancaman terhadap kemajuan sekularisme dan feminisme yang digerakkan oleh negara tidak dapat sepenuhnya hilang dari pikiran banyak orang Tunisia.”

Fenomena pobia kepada kelompok Islamis juga sebenarnya dapat dijumpai di Mesir, bahkan di negara-negara Arab lainnya. Nasib kaum Islamis di Mesir jauh lebih tragis karena mengalami kudeta militer dan crackdown yang berdarah-darah. Di Tunisia nasib kaum Islamis tidak kalah menyedihkan di mana mereka mengalami pemenjaraan. Tokoh puncaknya, Ghanusyi, juga dijebloskan ke dalam sel.

Siapa Rasyid Ghanusyi sendiri? Bagaimana karir politik dan intelektualnya?

Rasyid Ghanusyi

Ghanusyi adalah aktivis dan pemikir yang lahir dari desa. Ia lahir tahun 1941 di Tunisia bagian tenggara. Ia kemudian belajar di ibukota Tunisia, sempat pindah ke Mesir, dan akhirnya memperoleh gelar sarjana di Syria. Selepas studi, ia mendirikan gerakan Islam yang ia beri nama Harakah Ittijah Islami (Gerakan Orientasi Islami) di Tunisia.

Seperti umumnya nasib kaum Islamis di dunia Arab, ia berkali-kali mengalami persekusi. Ia dipenjara mulai tahun 1981 sampai 1984. Ia dibebaskan, tetapi dimasukkan lagi ke sel pada tahun 1987 dan hampir diputus hukuman mati oleh rezim Habib Bourguiba. Ia terbebas dari eksekusi setelah kudeta yang dilakukan oleh Zainal Abidin bin Ali terhadap Bourguiba. Setelah itu ia mendirikan partai al-Nahdah dan mengikuti pemilu tahun 1989 dan memperoleh banyak suara. Rezim Bin Ali tidak menyukainya, sehingga ia pun harus lari dan tinggal dalam pengasingan di London. Ia berada di kota ini selama 22 tahun.

Baca juga:  Shoah dan Holocaust: Titik Balik Sejarah Pembelaan Barat terhadap Israel

Ketika Bin Ali terguling dari kursi kepresidenan tahun 2011, ia pulang kampung ke Tunisia. Partainya mengikuti pemilu pertama dan berhasil memperoleh 41 kursi di parlemen. Ia berjuang membangun koalisi dengan kelompok sekuler di Tunisia. Pasca pemilu 2019, ia terpilih sebagai ketua DPR sampai akhirnya parlemen dibubarkan oleh presiden Kais Said.

Di antara keberhasilan Ghanusyi dalam politik adalah ia membidani kelahiran konstitusi baru di tahun 2014 bersama kawan koalisinya. Konstitusi ini unik karena menandai pandangan politik Ghanusyi yang sudah sangat jauh merelakan aspirasi Islamisnya. Ia bertransformasi menjadi pemikir yang sangat lentur dan pragmatis.

Hal pokok untuk disebut dalam konstitusi ini karena menandai pergeseran pada Ghanusyi dan kaum Islamis di Tunisia adalah beberapa hal berikut.

Pertama, Islam hanya disebut sekali, yaitu dalam pembukaan undang-undang, khususnya pasal pertama saat menyebut bahwa Islam adalah agama resmi di Tunisia. Kedua, sekalipun ada kewajiban presiden harus muslim, secara resmi pasal kedua menyebut bahwa asas negara adalah kewarganegaraan, kehendak rakyat, dan supremasi hukum. Rakyat memiliki kedaulatan dan sumber otoritas. Ini berbeda dengan konstitusi Mesir misalnya yang menyebut bahwa syariah Islam adalah sumber negara.

Fakta bahwa al-Nahdah telah membuang jauh aspirasi syariah sebagai dasar negara inilah yang menandai kelahiran paradigma politik baru di kalangan politisi muslim di Tunisia. Ini menurut Andrew March menandai kelahiran konsep demokrasi muslim. Ghanusyi sendiri dan partainya secara resmi mendeklarasikan peralihan dari demokrasi Islami ke demokrasi muslim ini pada tahun 2016.

Apa itu demokrasi Islami yang menjadi paradigma Ghanusyi dalam berpolitik sebelum tahun 2011? Apa itu demokrasi muslim yang menjadi paradigma barunya setelah memasuki gelanggang politik kembali? Bagaimana memahami perubahan ini secara teoretis? Bagian selanjutnya akan menjelaskan tentang topik ini.

Avatar photo

Muhamad Rofiq Muzakkir

Direktur Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar