Santri Cendekia
Home » Dari Demokrasi Islami ke Demokrasi Muslim: Memahami Perubahan dalam Pemikiran Politik Islam (4)

Dari Demokrasi Islami ke Demokrasi Muslim: Memahami Perubahan dalam Pemikiran Politik Islam (4)

Pada bagian sebelumnya, saya telah menggambarkan perbedaan antara paradigma demokrasi Islami dan demokrasi muslim. Pada bagian ini saya akan menjelaskan bagaimana memahami pergeseran paradigma pemikiran politik pada Rasyid Ghanusyi ini secara akademis. Selanjutnya, saya menjelaskan tentang bagaimana riset March dapat menjadi kerangka acuan untuk mengkaji tentang dinamika politik Indonesia, terutama pasca pemilu 2024 yang baru saja berlangsung.

Kerangka Teori Memahami Pergeseran Pemikiran Politik

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memahami perubahan dalam visi politik ini? Kerangka teori apa yang cocok untuk melihatnya? Pertanyaan ini murni bersifat teoretis dan tentu saja diperlukan oleh kalangan akademisi yang terbiasa melakukan riset. Menurut March, ada tiga kemungkinan teori yang cocok. Ia sendiri pada akhirnya memperkuat teori ketiga. Tiga teori tersebut adalah: teori moderasi pragmatis, teori konsensus, dan teori agonisme politik.

Apa itu teori moderasi pragmatis? Menurut teori ini, yang juga disebut sebagai teori sekulerisasi, aktor politik Islam menjadi pragmatis karena semata-mata tuntutan lapangan atau perubahan lanskap politik. Ini artinya partai politik telah bergeser dari fase ideologis nya di masa lalu menuju kompetisi politik pos-ideologis. Sekalipun dasar pergerakannya masih konservatif, tetapi partai atau aktor politik cenderung meminimalisir penggunaan retorika agama yang memecah belah. Setelah pemilu, mereka akan tetap menggunakan strategi kerja sama dengan pihak yang berbeda.

Menurut teori ini, biasanya akan ada satu segmen konservatif dari partai Islam yang merasa tidak puas dan akhirnya memilih keluar dari partai. Dalam kasus al-Nahdah, pandangan politik yang tidak lagi ideologis ini telah menyebabkan keluarnya satu gerbong yang kemudian mendirikan Partai Karamah dan ikut berkompetisi pada tahun 2019.

Para ahli ilmu politik telah menguraikan bahwa proses moderasi partai-partai Islam dapat terjadi karena sejumlah faktor, yaitu: 1) keinginan memperoleh suara masyarakat, 2) efek dari represi penguasa yang sekuler, 3) interaksi dengan gerakan atau partai politik lain yang tidak terlalu ideologis, dan 4) efek dari banyak nya aktivis partai yang pernah hidup di pengasingan di dunia Barat yang pulang kembali ke kampung halaman.

Baca juga:  Kiat Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Dengan teori moderasi pragmatis ini, maka kelahiran konsep demokrasi Muslim tidaklah bersifat doktrinal, tapi lebih sebagai kondisi politik yang menuntut demikian.

Teori kedua disebut dengan teori konsensus liberal atau konsensus konstitusional yang berasal dari pemikir Barat John Rawl. Menurut teori ini, betapa pun ada perbedaan yang tajam antara berbagai aktor politik, mereka sebenarnya bisa mencapai kesepakatan-kesepakatan  di antara sesama mereka. Tetapi kesepakatan ini hanya yang bersifat konstitusional, bukan pada landasan filosofis dan moralnya. Menurut Rawl, sekali aktor politik masuk ke ruang publik, melakukan diskusi politik, dan bersedia duduk bersama dengan aktor lainnya yang berbeda pandangan, mereka sebenarnya telah keluar dari lingkaran sempit dan pada akhirnya akan mencapai kesepakatan publik. Singkatnya, kesediaan berada di ruang politik yang terbuka akan secara otomatis membawa pada titik temu tertentu.

Teori ketiga adalah agonisme politik. Teori ini mengakui bahwa masyarakat memiliki tujuan dan cara pandang yang berbeda-beda yang juga dapat memicu konflik dalam politik. Ini dikarenakan setiap kelompok berupaya memperjuangkan pandangan masing-masing dan mengalahkan pihak lain. Tapi konflik ini memiliki potensi dan dapat diarahkan ke hal-hal yang positif. Jadi, dari konflik kemudian akan lahirlah buah-buah kebaikan yang dapat dinikmati bersama karena pada akhirnya setiap kelompok akan bersedia mengurangi keinginan mereka dan mengarahkan ke tujuan yang melampaui kepentingan sektoral.

Bagi teori agonisme ini, para aktor yang berkonflik akan melihat bahwa konflik atau pertentangan antar kelompok yang tak berkesudahan adalah ciri kegagalan transisi demokratis. Jadi artinya, menurut teori ini, Ghanusyi dan partainya melihat bahwa konflik ideologis harus segera disudahi dengan cara mengendurkan pandangan-pandangan ketat untuk kemaslahatan bersama. Berada terlalu lama dalam pertentangan ideologis hanya akan melahirkan kegagalan peralihan ke arah demokrasi. Dengan demikian, menurut teori ini, peralihan kepada konsep demokrasi muslim bukanlah proses sekularisasi seperti diyakini teori pertama, atau karena telah tercapainya konsensus antar kelompok seperti yang diajukan teori kedua. Tetapi lebih karena pilihan untuk mengakhiri pertentangan dan memilih non-violent constitutional settlement (penyelesaian konstitusional tanpa kekerasan) di kalangan aktivis muslim.

Baca juga:  Demonologi Islam: Apa, Siapa, dan Bagaimana?

Beberapa Pelajaran Penting

Andrew March, dalam bukunya On Muslim Democracy yang saya diskusikan dalam tulisan ini, melihat perubahan yang terjadi pada Ghanusyi sebagai pergeseran ke arah pemikiran yang lebih liberal dan sekuler. Suatu kesimpulan yang sebenarnya sah-sah saja. Saya sendiri melihat bahwa unsur liberal (saya tidak mau menggunakan istilah sekuler) memang cukup menonjol dalam pemikiran Ghanusyi. Namun demikian, hemat saya Ghanusyi tetap berusaha memberi pijakan Islami pada pandangan politiknya. Jadi hemat saya, sekalipun ia sudah sangat jauh bertransformasi menjadi pemikir politik pragmatis, sifat landasan Islami tetap ingin ia pertahankan pada gagasannya, seperti kecenderungan penggunaan piagam Madinah sebagai dasar argumen pluralisme.

Hanya saja hal yang ironi dari pengalaman Ghanusyi adalah sekalipun ia telah mengalami proses perubahan pemikiran, yang bahkan sangat radikal untuk menyesuaikan dengan kultur Tunisia yang plural dan liberal, lagi-lagi Ghanusyi harus berhadapan dengan kegagalan. Ia masih menghadapi persekusi dari penguasa. Seolah-olah apa pun yang ingin ia lakukan tidak akan cukup untuk menunjukkan komitmen nya yang utuh pada demokrasi.

Maka pertanyaannya reflektif yang kemudian mengemuka adalah: mengapa ini bisa terjadi? Apalagi yang perlu dilakukan oleh aktivis atau politisi muslim agar mereka terhindar dari marginalisasi, bahkan persekusi politik yang bukan saja menghabisi karir, tetapi juga mengancam nyawa mereka? Pertanyaan yang menarik untuk kita kaji dan berada di luar fokus tulisan ini.

Hal lain yang ingin saya kemukakan adalah karya March yang baru saja saya deskripsikan ini menurut saya sangat menarik dan memberikan kita wawasan baru. Bagi kalangan akademisi, karya ini memberi inspirasi dan model bagaimana melakukan riset terkait perubahan politik. Saya membayangkan bagaimana demokratisasi di Indonesia terutama pasca pemilu 2024 yang sarat dengan suara-suara kritis tentang kecurangan dan pelanggaran etis dilihat dari sudut pandang perkembangan hubungan Islam dan demokrasi. Melihat praktik di Indonesia dengan lensa ini penting bukan saja karena ada partai-partai Islam yang terlibat dalam koalisi pelanggaran etis, tetapi karena Indonesia sendiri adalah masyarakat muslim dan dikenal sangat relijius dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga:  Kalender Islam Internasional dan Problem Mendasar Perbedaan Jatuhnya Puasa Arafah

Sederet pertanyaan yang bisa menjadi acuan dalam kajian tentang politik Islam di Indonesia antara lain: bagaimana relasi Islam dan demokrasi belakangan ini di Indonesia? Adakah pergeseran lain yang terjadi dari periode-periode sebelumnya? Bagaimana para aktor politik muslim melihat ideologi Islam mereka dalam perjuangan? Masih adakah pandangan tentang republic of virtues (negara sebagai ruang tempat persemaian nilai-nilai moral) dan politik sebagai jalan moral di kalangan politisi muslim hari ini? Apakah terjadi pergeseran radikal juga dalam memandang nilai-nilai moral dan fungsi berpolitik sebagaimana halnya yang terjadi di Tunisia? Apa yang membuat hubungan Islam dan demokrasi di Indonesia unik dan berbeda dari fenomena serupa di Tunisia dan Timur Tengah secara umum?

Peneliti bisa menggunakan kerangka kerja yang diajukan oleh March untuk melihat realitas politik Indonesia. Bisa jadi kontribusi teoretisnya jauh lebih kaya dari karya March sendiri karena praktik berpolitik di Indonesia yang lebih cair dan demokrasi di Indonesia yang sudah lebih mapan. Bisa jadi yang muncul bukan hanya varian demokrasi muslim, tetapi varian lain yang beragam.

Jika topik tentang Islam dan demokrasi di Indonesia dalam perkembangan terbarunya ini berhasil ditulis dengan baik, terutama dengan diskusi teoretis yang memadai, maka ia akan menjadi jendela bagi para akademisi di dunia global untuk melihat bahwa dunia Islam itu sangat beragam dalam hal kemajuan berdemokrasi. Kajian ini bisa menjadi bacaan yang memperkaya wawasan untuk keluar dari dominasi Arab centrist di kalangan peneliti, yaitu kecenderungan melihat hubungan Islam dan demokrasi hanya dari praktik dan pengalaman masyarakat Arab dan Timur Tengah.

Jika Anda merasa bahwa politik Indonesia, baik prestasi, kemajuan, dan problematikanya, perlu dikomunikasikan ke dunia global, maka Anda perlu menulisnya. Jika bukan Anda, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?

Avatar photo

Muhamad Rofiq Muzakkir

Direktur Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar