Santri Cendekia
Home » Dari Rasulullah untuk Mu’adz, dari Mu’adz untuk Kita

Dari Rasulullah untuk Mu’adz, dari Mu’adz untuk Kita

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

            Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada Muadz bin Jabal yang saat itu akan berangkat ke Yaman untuk mengajarkan islam kepada penduduknya,

“Bagaimanakah kamu akan memberikan keputusan?”

Muadz menjawab, “Dengan apa yang tersebut di dalam kitabullah”

Rasulullah bertanya lagi, “Jika tidak kau dapatkan dalam kitabullah?”

Muadz menjawab, “Dengan sunnah”

Rasulullah bertanya lagi, “Jika kau tidak dapatkan dalam sunnah?”

Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku”

Rasulullah berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufik kepada utusan Rasulullah”

            Cuplikan dialog yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas adalah cuplikan dialog yang sangat berharga bagi umat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena di dalam dialog tersebut terkandung sebuah kaidah penting hierarki landasan pengambilan hukum dalam islam.

            Kita semua pun mungkin sudah tidak asing lagi dengan kisah ini. Namun sayangnya, sedikit sekali umat islam yang menghayati pesan ini dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang terkena fenomena memprihatinkan ini bukan hanya orang yang awam, namun terkadang para intelektual pun ikut di dalamnya.

            Jika melihat atau menemui sebuah permasalahan, biasakan langsung segera merujuk kepada Al-Qur’an, As-sunnah (sirah nabawiyah termasuk), ijma’, ijtihad para ulama. Jangan habiskan perdebatan panjang dengan menggunakan pendapat masing-masing menurut tokoh A sampai Z yang menurut syariat tidak berkapasitas untuk diambil pendapatnya atau tidak lebih tsiqoh dari sumber-sumber utama di atas.

            Misalnya, pusing-pusing memikirkan pendapat kaum sofisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mencapai kebenaran mutlak. Tinggal kembali kepada Al-Baqarah : 147, “Al-Haq itu DARI Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali termasuk orang yang ragu”. Kebenaran mutlak itu DARI (min) Allah, bukan Di SISI (‘inda) Allah. Berarti siapapun bisa mendapatkan kebenaran mutlak dari Allah. Kurang lebih begitu menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Biasakan apa-apa itu ingat Al-Qur’an. Makanya agak disayangkan jika ada yang nyinyir dan membandingkan aktivitas menghafal Al-Qur’an dengan aktivitas keilmuan yang lain. Lah metode belajar generasi terbaik, para sahabat itu ya dimulai dengan menghafal ayat-ayat yang Rasulullah sampaikan. Mengapa? Kalau hafal saja tidak, bagaimana bisa terpatri dalam jiwa dan membentuk karakter. Lagipula, silahkan cek para ulama-ulama besar kita, tidak ada satupun yang menjadi besar tanpa mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya. Lucu saja melihat debat dan diskusi antar-muslimin dari sabang sampai merauke, padahal jawabannya sudah ada di dalam Al-Qur’an. “Kami turunkan kitab bersama mereka (Nabi-nabi), untuk menjadi hakim dari apa yang mereka perselisihkan” (Al-Baqarah : 213)

Baca juga:  Inspirasi Kepemimpinan Dzulqarnain (Al-Kahfi 92-98)

            Atau ngalor ngidul debat tentang khilafah misalnya, yang pro begitu berlebihan hingga seolah-olah, “apapun masalahnya, khilafah solusinya”. Yang kontra juga berlebihan dengan pendapat A sampai Z hingga tahap mengejek. Subhanallah, yang pertama, khilafah itu bukan pilihan, tapi nubuwwah dan termasuk sunnah Rasulullah,

Hudzaifah berkata, “Nabi saw bersabda, “Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit , dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja diktator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam” (HR. Imam Ahmad).

            Jangan diejek, apalagi jika kita mengaku orang beriman. Masa orang beriman mengejek sunnah. Mau apapun pendapatmu, ini lo redaksi hadistnya ada, ini lo nubuwwahnya ada soal kekhilafahan. Yang pro pun sama saja, lihatlah persoalan ini lebih komprehensif. Rasulullah dakwah 23 tahun isinya bukan melulu soal khilafah, banyak aspek lain yang perlu dibangun jika memang kita ingin menegakan khilafah. Tahu mengapa kubu pro-kontra yang ekstrim ini bisa muncul? Karena kegagalan melihat sunnah secara komprehensif atau bahkan malas mempelajari sunnah dan hadist-hadist Rasulullah.

           Lalu dilanjutkan debat-debat tentang fenomena dan keilmuan kontemporer seperti pendidikan, rumah tangga, social-politik, ekonomi, dan sebagainya. Kalau kita mau gali, sudah banyak sekali karya dan pembahasan ulama-ulama terdahulu yang membahas persoalan-persoalan tersebut. Kita tinggal gali dan implementasi. Dan ingat, dalam soal mengambil rujukan, Rasulullah sudah memberikan pedoman kepada kita, “Sebaik-baik umat manusia adalah di generasiku (sahabat), kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), dan kemudian yang mengikuti mereka (tabi’ut-tabi’in).” (muttafaqun ‘alaih). Jika menghadapi sebuah persoalan, dan membutuhkan ijtihad orang-orang terdahulu sebagai rujukan, cek dulu apakah ada jawabannya di jaman sahabat, jika tidak ada segera menuju jaman tabi’in, jika tidak ada segera menuju jaman tabi’ut tabi’in (di sini Imam 4 Mazhab berada), baru ke jaman-jaman selanjutnya. Jangan langsung meloncat kemana-mana. Karena 3 generasi itu sudah mendapatkan label dari Rasulullah sebagai 3 generasi terbaik.

Baca juga:  Pengajian Buruh Ala Kiyai Dahlan

            Mari sama-sama kita rapikan lagi metodologi pengambilan ilmu kita dan cara kita berpikir. Semoga Allah memberi Taufik kepada kita semua.

Allahu a’lam bishshawab

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar