Santri Cendekia
Home » Debat Karet Tentang Toleransi

Debat Karet Tentang Toleransi

Toleransi jika dijadikan pasal dalam undang-undang akan jadi pasal karet. Terma toleransi bersifat tidak jelas dan tidak membatasi. Tentang siapa mentoleransi siapa akan terus jadi perdebatan. Terus terang saya jadi kurang suka dengan konsep toleransi. Toleransi sama seperti sepatu. ambivalen. Sepatu katanya melindungi kaki, tapi agar kaki tidak lecet karena kulit bergesekkan dengan sepatu, kita harus pakai kaos kaki. Jadi sebenarnya sepatu itu melindungi atau melukai? (that’s why saya ke mana-mana pakai sendal)

Toleransi kita ambivalen. Katanya agar hidup damai kita perlu toleran. Tapi perdebatan soal toleransi begitu bising dan menjenuhkan. Aneh sekali. Selain itu toleransi bisa seperti kulit bawang yang berlapis-lapis. Berikut ilustrasinya

A toleran terhadap B
C tidak setuju bahwa B itu tolerable
D berpendapat seharusnya B yang toleran terhadap A
E tidak setuju A tolerable
F C harus toleran pada A yang toleran pada B
G F harus toleran pada C dong, hormati pendapat orang

Panjang debatnya sampai Z

Saya membuka kamus untuk mencari arti toleran. Saya temukan ternyata kata toleran lebih banyak digunakan untuk relasi benda ke benda yang kausal, fungsional, dan searah, bukan sosial resiprokal (hubungan saling).

Toleran berasal dari bahasa Latin yaitu ‘tolerare’, artinya memikul atau menahan. Dalam rekayasa teknik, toleran menemukan batasan yang jelas dan pas.

Pernah lihat kardus televisi? Biasanya pada kardus ada tanda peringatan batas toleransi tumpukkan kardus, misalnya 5 tumpukan. Kalau kardus itu ditumpuk lebih dari 5, televisi pda tumpukkan pertama akan rusak karena terlalu berat menahan beban. Pada kasus hubungan benda dengan benda, batasan toleransi jelas dan bisa diuji coba. Tidak akan ada perdebatan antar kardus TV

“Saya punya hak untuk disimpan. Kamu harus menghormati saya sebagai televisi. Izinkan saya ditumpuk di atasmu”

Baca juga:  Teror dan Latah dengan Makar

“Tidak bisa. Kapasitas saya hanya lima tumpukkan. Cari tempat lain”

Selesai masalahnya..

Pada kasus sosial di masyarakat. Hubungan yang terjadi bisa mutual, resiprokal, saling terkait, dan lebih rumit. Toleransi jadi konsep yang sangat fleksibel. Bisa digunakan siapa saja untuk menjustifikasi perbuatan baik atau salah. Sifatnya jadi kualitatif yang sulit diukur.

Gobind Vashdev menawarkan konsep lain yaitu apresiasi. Menurutnya dalam konsep toleransi masih ada perasaan bahwa orang lain itu salah, maka kita perlu menoleransinya. Apresiasi tidak demikian. Dalam apresiasi ada proses memahami orang lain dan menghargai perbedaan tanpa ada syak dan prasangka di belakangnya. menurut saya saran dari Gobind baik dan masuk akal tapi pada ujungnya sama saja. Apresiasi akan jadi karet yang elastisnya sama dengan toleransi.

Saran saya, jika ada konflik perbedaan di antara kita, yang jadi batasannya adalah hukum yang berlaku. Kalau kita berdebat soal toleransi tidak akan ada habisnya.

Dalam kasus penertiban makanan di bulan Ramadhan yang sedang ramai ini, kita lihat fokus pada kasusnya. dilihat dari hukum negara, Apakah jualan melanggar aturan? Apakah cara penertibannya sesuai prosedur?

Jika dilihat dari hukum agama, apakah boleh berjualan makanan di siang hari bulan Ramadhan? lalu apakah penertiban dengan kekerasan terhadap penjual makanan dibolehkan?

Kalau bahasannya merembet ke persoalan iman, kita tidak tahu dan tidak bisa melihat iman orang lain. Perdebatan soal iman juga karet. Siapa yang lemah iman? Orang yang tidak tahan melihat makanan di siang hari? Atau orang yang tidak tahan mencari uang dengan jualan makanan di siang hari bulan Ramadhan?

Perdebatan-perdebatan karet itu mengaburkan pada kasus dan memperpanjang ketidakdamaian.

Ginan Aulia Rahman

Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, dulu nyantren di Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Ma'had Addauly Damascus, Syria.

1 komentar

Tinggalkan komentar

  • lagi nyari materi buat debat, eh ketemu artikel ini. beneran ini bermanfaat banget ,membuka pikiran aku wkwk. terima kasih hehe