Santri Cendekia
Home » Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 5)

Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 5)

Tulisan sebelumnya:

Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 1)

Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 2)

Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 3)

Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 4)

***

Tiga Penganut Model Maslahat al-Syatibi: ‘Allal al-Fasi

Selain Subhi Mahmashani, konsep maslahat al-Syatibi juga diadopsi oleh ahli hukum Islam asal Maroko, ‘Allal al-Fasi (1328-1394 H/1910-1974 M). Bedanya, adopsi yang dilakukan oleh al-Fasi kurang komprehensif (a less comprehensive) jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Mahmashani.

Al-Fasi datang dari keluarga terkemuka yang religius. Ia belajar hukum Islam di Kolej Qarawiyin di Fez. Setelah lulus tahun 1930, dia mengajar sejarah Islam di sana lalu kemudian menjadi profesor bidang hukum di Universitas Rabat.

Namun, popularitas al-Fasi justru berasal dari perannya sebagai ideolog dan pemimpin gerakan kemerdekaan Maroko.

Seperti Mahmashani, tujuan al-Fasi mengadopsi konsep maslahat al-Syatibi juga untuk menjadikan hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang bisa diaplikasikan dalam negara modern.

Bedanya dengan Mahmashani, al-Fasi menganggap bahwa syariah berbeda dengan sistem hukum yang lain terutama dalam hal merealisasikan keadilan.

Meskipun al-Fasi setuju dan merujuk pada konsep maslahat al-Syatibi, akan tetapi dia mengadopsinya secara selektif – tidak secara keseluruhan. Keinginan al-Fasi untuk mengadaptasi hukum Islam dengan lingkungan yang terus berubah membawanya untuk mengambil konsep klasifikasi hukum (universal dan partikular) yang diperkenalkan oleh al-Syatibi.

Namun di saat yang sama ia tetap mempertahankan struktur tradisional hukum Islam sebanyak mungkin. Khusus dalam hal ini ia menyandarkan pendapatnya kepada konsep maslahat al-Ghazali dan al-Razi.

Kontradiksi sikap yang ada pada pemikiran al-Fasi ini – yaitu ingin menyapa tuntutan modernitas namun pada saat yang sama tetap mempertahankan interpretasi tradisional tentang hukum Islam – menghasilkan satu teori hukum yang tidak memiliki kohesi internal bila dibandingkan dengan pemikiran Mahamasani.

Baca juga:  Struktur Hierarki Mujtahid dalam Mazhab Syafi'i (Bagian 1)

Tiga Penganut Model Maslahat al-Syatibi: Mahmud Muhammad Taha

Tokoh ketiga adalah Mahmud Muhammad Taha (1327 atau 1329-1405 H/1909 atau 1911-1985 M). Pengaruh teori hukum al-Syatibi bisa dilihat juga pada pemikiran pembaru asal Sudan ini.

Didik sebagai seorang insinyur, Taha kemudian menjadi aktif dalam gerakan kemerdekaan Sudan sebagai pemimpin dari Partai Republik. Namun demikian, warisan pemikirannya, sebagian besar justru adalah tentang pemikiran keagamaan.

Meskipun dalam karyanya The Second Message of Islam, ia tidak merujuk langsung kepada pemikiran atau karya al-Syatibi, tapi apabila dicermati gagasan-gagasan bersanya sangat terinspirasi oleh pemikiran al-Syatibi.

Seperti para pendahulunya yang banyak terinspirasi dari pemikiran al-Syatibi, Taha juga menekankan tentang ayat-ayat Makiyah yang mengkonstruksi prinsip-prinsip quran (uṣūl al-qurān) yang sifatnya tidak berubah. Sementara ayat-ayat Madaniyah adalah cabang-cabang (furū’ al-qurān) dari prinsip-prinsip tersebut.

Seperti al-Syatibi, pemahaman Taha tentang prinsip hukum Islam terletak pada reinterpretasi konsep naskh. Menurut Taha, naskh ayat-ayat al-Quran itu tidak berarti permanen; impelementasi naskh tersebut lebih kepada bentuk penundaan, hingga masyarakat itu siap memahami dan menerima pesan sejati dari ajaran Islam.

Dalam pandangan Taha, hukum-hukum partikular yang masuk dalam kategori Madaniyah dapat berubah tidak harus menunggu adanya perubahan kondisi (circumstances); ia tetap bisa berubah kapan pun implementasi dari hukum-hukum universal bisa dicapai.

Seperti ahli fikih yang lain, Taha juga mengekslusi aturan-aturan ibadah dari perubahan. Tapi ia berpendapat bahwa hukum-hukum yang ada kaitannya dengan ibadah tetap dapat berubah. Sebagai contoh adalah zakat. Zakat adalah satu kewajiban yang tidak bisa diubah hukumnya. Akan tetapi proporsi yang ditentukan untuk zakat seharusnya dapat diinterpretasi di bawah naungan prinsip-prinsip syariah.

Baca juga:  Mustafa Abd’ Ar-Raziq: Ushul Fiqh Sebagai Filsafat Islam

Bagi Taha, mengimplementasikan hukum-hukum prinsip dari Islam akan mewujudkan maslahat bagi individu maupun masyarakat. Dia memimpikan bahwa impelemtasi dari interpretasi hukum Islam ini akan mengantarkan pada tatanan masyarakat yang berlandaskan kesetaraan, sosialisme, demokrasi dan nilai-nilai yang dia anggap sebagai pesan utama Islam sebagaimana diwahyukan dalam surat-surat Makiyah.

Bersambung ke Bagian 6.

Niki Alma Febriana Fauzi

Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar