Santri Cendekia
Home » Edisi ‘Iedul Adha : Ibrahim dan Isma’il Final Part

Edisi ‘Iedul Adha : Ibrahim dan Isma’il Final Part

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

Kunjungan keempat.

     Kemudian Ibrahim as meninggalkan mereka lagi untuk waktu tertentu sebagaimana dikehendaki Allah, lalu Ibrahim as datang kembali setelah itu saat Ismail meruncingkan anak panahnya di bawah kemah dekat zamzam. Ketika dia melihatnya, dia segera menghampirinya dan berbuat sebagaimana layaknya seorang ayah terhadap anaknya dan seorang anak terhadap ayahnya.

  Kemudian dia berkata, “Wahai Ismail, Allah memerintahkanku dengan suatu perintah.” Ismail berkata, “Lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu.” Ibrahim as berkata lagi, “Apakah kamu akan membantu aku?” Ismail berkata, “Ya, aku akan membantumu.” Ibrahim as berkata, “Allah memerintahkan aku agar membangun rumah di tempat ini.”

    Ibrahim as menunjuk ke suatu tempat yang agak tinggi dibanding sekelilingnya.” Di dekat tempat itulah keduanya meninggikan pondasi Baitullah, Ismail bekerja mengangkut batu-batu sedangkan Ibrahim as yang menyusunnya (membangunnya) hingga ketika bangunan sudah tinggi, Ismail datang membawa batu itu lalu meletakkannya untuk Ibrahim as agar bisa naik di atasnya sementara Ismail memberikan batu-batu.

  Keduanya bekerja sambil mengucapkan kalimat doa, “Wahai Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami sesunggunya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” Keduanya terus saja membangun hingga mengelilingi Baitullah dan keduanya terus membaca doa, “Wahai Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 127).

    Setelah  Ibrahim as dan Ismail selesai membangun Ka’bah, maka keduanya berdoa, “Ya Tuhan Kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui–Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji Kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 127-128) [1].

Butir-butir Hikmah:

  1. Dari seluruh kisah kunjungan Nabi Ibrahim as as kepada Nabi Isma’il as as, kita mendapati begitu besar kepatuhan dan rasa ta’zhim Nabi Isma’il as kepada ayahnya. Padahal kita tahu, bahwa interaksi Ibrahim as dan Isma’il as terjadi dalam frekuensi yang sangat sedikit. Hal ini tidak lain adalah karena pendidikan Hajar as yang begitu baik selama ketiadaan Ibrahim as di sisi mereka. Maka di sini, pendidikan ibu begitu penting dan memilik peran yang besar dalam perkembangan akhlak sang anak ketika sang ayah harus berada jauh dari keluarga karena urusan-urusan mulia di jalan Allah.
  2. Peran Ibrahim as yang baik dalam mendidik Hajar, istrinya, sehingga Hajar siap menjadi wadah yang kokoh dalam membentuk karakter-karakater mulia Isma’il as meski harus menjalani hubungan jarak jauh yang tidak intens dengan Ibrahim as. Pada akhirnya, lagi-lagi seorang kepala keluarga yang memiliki peran utama dalam pendidikan keluarganya. Perlu juga diketahui, bahwa hubungan hubungan jarak jauh yang terjadi antara Ibrahim as, Hajar, dan Isma’il as bukan karena ego atau dalam rangka mengejar kepentingan dunia. Tapi semua terjadi sesuai dengan instruksi langsung dari Allah ‘azza wa jalla. Hal ini bisa kita ketahui dari dialog terakhir antara Hajar dan Ibrahim as sebelum Ibrahim as meninggalkan mereka berdua di lembah makkah yang tandus. Jadi jangan menjadikan kisah Ibrahim as ini sebagai dalih dari kurangnya tanggung jawab kita dalam mendampingi pendidikan keluarga kita.
  3. Reputasi Ibrahim as berhasil menumbuhkan rasa ta’zhim yang besar pada keluarganya. Ibrahim as hidup sebagai seorang anak, pemuda, suami, ayah, dan Nabi yang baik dan bertauhid. Hingga keluarganya pun menghormatinya dan begitu mematuhinya. Mereka percaya bahwa apapun yang dilakukan Ibrahim as, tidaklah berdasarkan hawa nafsu dan egonya. Tapi semata-mata karena rasa tunduk dan berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka sungguh, jika kita sering mengeluh mengapa anak sulit patuh terhadap kita, yang pertama kali harus menjadi bahan introspeksi adalah sejauh apa kita sudah memberikan keteladanan dan reputasi yang baik bagi mereka. Penulis kenal sebuah keluarga, sang ibu selalu mengeluh dan mengeluh soal kekurangan anaknya, termasuk urusan ibadah sang anak. Ternyata usut punya usut, sang ibu pun tak terlalu selektif soal harta halal dan haram yang masuk ke rumahnya dan perut anak-anaknya. Capek deh bu.
  4. Ibrahim as dan Isma’il as mengajarkan kita, sebesar apapun cinta kita kepada keluarga, maka Allah jua Pemilik semuanya. Kapan Allah punya kehendak untuk mengambil semuanya, tugas kita adalah bersabar dan ridho. Seperti bagaimana Ibrahim as menelan pilunya hati ketika harus menyembelih Isma’il as. But duty is duty, Ibrahim as menyempurnakan tugasnya dengan baik. Doakan semoga penulis dan kita semua bisa meneladani Ibrahim as dalam hal ini.
  5. Semua pengorbanan di jalan Allah, pasti akan mendapatkan ganti yang lebih baik dan menjadi inspirasi bagi orang-orang beriman. Ibrahim as dan Isma’il as yang siap melaksanakan tugas dengan baik, akhirnya mendapatkan jawaban yang indah dari Allah. Jibril datang membawa domba besar untuk menggantikan Isma’il as. Dan dari kejadian singkat ini, muncullah syariat Qurban yang sudah berjalan selama berpuluh-puluh abad. Di mana setiap syariat ini sedang dijalankan, muncul pula pujian-pujian kita untuk keluarga Ibrahim as. Setiap masjid menceritakan kisah ini di salat-salat ‘ied. setiap orang tua pun menceritakan kisah ini kepada anak-anaknya turun-temurun.
  6. Ibrahim as tetap bermusyawarah dengan Isma’il soal mimpi penyembelihan yang dialami Ibrahim meski itu adalah perintah Allah langsung. Bahwa penting untuk berdialog dan bermusyawarah dengan anak meski dalam melakukan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Dengan bermusyawarah kita bisa membuat anak berpikir lebih dalam tentang sesuatu yang diwajibkan tersebut, sehingga anak bisa lebih memaknai dan memahami kewajiban tersebut. Kita juga bisa mengerti sejauh mana perkembangan anak kita dalam memahami sebuah kewajiban, jangan sampai ternyata selama ini anak-anak kita begitu baik dan taat menjalankan kewajiban syariat hanya di depan kita. ketika kita tak ada, ditinggal pula semua kewajiban tersebut.
  7. Ibrahim as mengajarkan kita bahwa menjalani tugas sebagai seorang ayah, tidak kalah penting dibandingkan menjalankan tugas sebagai seorang Nabi.
  8. Seorang ayah, sesibuk apapun, sekalipun sang anak sudah memiliki hidup dan rumah tangganya sendiri, tetap perlu untuk memantau kondisi kehidupan sang anak dan memberikan nasehat-nasehat yang bermanfaat untuk kehidupannya. Dalam kunjungan kedua dan ketiganya, Ibrahim as menyempatkan diri untuk men-screening kondisi kehidupan Isma’il as melalui istrinya. Ayah jaman ini, berangkat anak masih tidur, pulang anak sudah tidur. Kelakuan nakal dan minus sang istri pun sampai tak tahu. Jadilah rumah tangga sendiri dan rumah tangga anak berantakan.
  9. Dalam menjalankan perintah Allah yang melibatkan anak, harus dilakukan dengan metode dan cara yang paling ahsan. Di riwayat lain yang lebih detail, kita tahu Isma’il as mempunyai beberapa permintaan kepada Ibrahim as seperti menajmkan pisau agar ia cepat mati, mengencangkan ikatan agar ia tak meronta dan tak memerciki ayahnya, agar ibunya jangan sampai melihat darahnya. Maka dalam mendidik anak untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban di jalan Allah pun harus dengan cara terbaik dan totalitas. Misal membangunkan anak salat subuh, tentu harus dilakukan dengan cara yang terbaik. Dengan senyum, dengan lembut, dengan kesabaran. Jangan dengan emosi atau grusa-grusu. Itu akan meninggalkan kenangan tak enak pada anak soal salat subuh ke masjid dan menurunkan motivasinya.
  10. Jadilah seorang ayah yang berilmu, agar anak juga percaya dan lebih yakin terhadap nasehat-nasehat dari ayahnya. Ibrahim as mendapatkan berbagai informasi penting dalam rumah tangga Isma’il as hanya dengan satu pertanyaan, “Bagaimana keadaan kalian?”. Begitu mendengar dan melihat reaksi dari masing-masing istri Isma’il as. Ibrahim as tahu nasehat apa yang harus ia titipkan pada anaknya.
  11. Komunikasi anak dan ayah yang baik dengan ilmu yang dalam. Isma’il as dapat menangkap pesan ayahnya soal palang pintu tanpa ada sedikitpun miskomunikasi. Padahal kita tahu, bahwa Ibrahim as dan Isma’il as tidak sering bertemu dan berkomunikasi. Sedangkan kita, hampir setiap hari bertemu anak, tapi miskin komunikasi yang berkualitas. Mengapa? Karena komunikasi kita jauh dari ilmu. Tak jauh pertanyaan urusan sekolah, nilai, les, mau lanjut sekolah kemana, mau lanjut kuliah kemana, mau lanjut kerja di mana, gaji berapa, dan sebagainya.
  12. Berkahnya mematuhi nasehat sang ayah, terlebih lagi jika sang ayah adalah seorang yang berilmu.
  13. Urusan rumah tangga adalah urusan yang penting dan cukup fundamental dalam kehidupan seseorang, terlebih lagi bagi seorang da’i atau tokoh yang mengemban amanah penting dalam tubuh umat. Hal ini bisa kita tangkap dari besarnya perhatian Ibrahim as dalam urusan rumah tangga Isma’il as. Makanya urusan menikah itu urusan besar, yang harus disiapkan adalah ilmu, bukan hanya soal biaya dan gedung. Banyak orang begitu hebat menyiapkan acara pernikahan, tapi rumah tangga tak jelas mau dibawa kemana.
  14. Kesuksesan dan kebahagiaan terbesar seorang ayah, menurut Ust. Bachtiar Nasir, adalah ketika sang ayah bisa bekerja sama dengan anaknya dalam rangkan untuk menunaikan tugas-tugas di jalan Allah. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana Ibrahim as dan Isma’il as saling bahu membahu untuk membangun ka’bah. Maka kita lihat anak-anak sekarang, boro-boro membantu orang tua, sudah berumah tangga saja masih jadi beban orang tua. Jangankan diajak bekerja sama di jalan Allah, salat 5 waktu saja masih bolong-bolong.
  15. Pekerjaan mulia Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimassalam, ditutup dengan sebuah doa indah agar amal-amal mereka diterima oleh Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Tahu. Selain itu mereka juga berdoa agar dijadikan Allah orang-orang yang berserah diri kepada Allah, begitupun keturunan mereka. Lagi-lagi soal keturunan dan kepedulilan terhadap agama dari keturunan kita. Semoga Allah menjadikan kita figur-figur yang senantiasa meneladai Ibrahim dan Isma’il.
Baca juga:  Lapar Ayah (Al-Furqan : 74 part 2)

 

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi : Al-Qashasul Anbiya’, Ibnu Katsir

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar