Santri Cendekia
Home » Euthanasia dalam Tinjauan Etika dan Pidana

Euthanasia dalam Tinjauan Etika dan Pidana

Nama Profesor Siti Ismijati Jenie masih terasa asing betul di telinga saya. Pertama kali mendengar nama beliau setelah saya ikut hadir dalam Halaqah Nasional yang diselenggarakan Majelis Tarjih dan UMY. Siapapun yang diundang sebagai pembicara di acara-acara tarjih, pastilah memiliki reputasi keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Satu pengetahuan yang saya dapatkan setelah beberapa kali mengikuti kajian-kajian yang dilaksanakan tarjih, biasanya nama-nama pematerinya begitu harum di berbagai jurnal, tapi begitu asing di mata publik yang lebih luas.

Mungkin karena efek dari putusan tarjih bertanggungjawab secara langsung dengan umat, maka dibutuhkan seorang pemateri yang memang mumpuni di bidangnya. Begitulah kiranya sosok Guru Besar Fakultas Hukum UGM ini.

Dalam halaqah itu, Prof Siti membawakan materi tentang euthanasia yang ditinjau dari perspektif etika. Sebelum masuk lebih dalam pada inti pembahasan, Prof Siti menjelaskan bahwa euthanasia merupakan pandanan kata yang berasal dari bahasa Yunani “eu” yang artinya baik dan “thanos” yang berarti kematian. Jadi, euthanasia adalah kematian yang baik tanpa rasa sakit.

Sementara dalam cara pelaksanaannya, euthanasia dibedakan menjadi dua, yaitu: euthanasia aktif dan pasif. Menurut Prof Siti, euthanasia aktif berarti perbuatan yang dilakukan medis, melalui intervensi aktif yang dilakukan seorang dokter, dengan tujuan mengakhiri hidup seorang pasien. Perbuatan itu bisa dengan menelan obat yang mematikan atau meminum sirup yang mengandung racun. Sedangkan euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan segala tindakan atau pengobatan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup sang pasien. Perbuatan itu bisa dengan menyuruh pasien pulang atau tetap di Rumah Sakit tanpa dilakukan tindakan medis lebih lanjut.

Sebagai perantara sebelum masuk pada pembahasan euthanasia ditinjau dari segi etika, penting untuk disampaikan bahwa pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak paling mendasar dari setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Baca juga:  Siapa Bilang Wanita Haid Tidak Boleh Puasa?

Perempuan yang lahir di Surakarta ini kemudian menerangkan bahwa norma etika yang berkaitan langsung dengan euthanasia dapat dijumpai dalam lafal Sumpah Dokter Indonesia. Lafal sumpah ini merupakan turunan dari Sumpah Hippokrates dan Konvensi Jenewa. Bagi Prof Siti, semua lafal sumpah kedokteran ini mengindikasikan pada prinsip sanctity of life atau penghormatan terhadap prinsip kesucian hidup yang diberikan mulai dari pembenihan sampai pengakhiran hidup. Selain itu, dari rumusan lafal sumpah tersebut dapatlah dikatakan bahwa pandangan etika kedokteran menilai euthanasia merupakan sesuatu yang tidak baik.

Selain dalam lafal Sumpah Kedokteran, etika kedokteran juga dapat dijumpai dalam Kode Etika Kedokteran Indonesia (Kodeki). Rumusan Kodeki merupakan derivasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan landasan strukturilnya UUD 1945. Rincian isi Kodeki memuat tentang kewajiban-kewajiban dokter, di antaranya: kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri. Menurut Prof Siti, dalam Kodeki pasal 10 tentang kewajiban dokter terhadap pasien disebutkan bahwa ‘setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.’

Menurut Prof Siti, ketentuan yang termuat dalam Kodeki pasal 10 menunjukkan bahwa segala tindakan dan perbuatan dokter harus berprinsip pada penyembuhan dan pemeliharaan pasien, sehingga kehidupan manusia harus dipertahankan dengan segala daya dan upaya. Akan tetapi Prof Siti juga menyadari dengan fakta perkembangan ilmu medis paling mutakhir dapat segera diketahui bahwa adakalanya pasien yang sakit parah sudah tidak bisa disembuhkan lagi.

Bagaimana menuntaskan persoalan dilematis seperti ini? Apakah dokter boleh mematikan pasiennya itu? Dilema ini akan semakin menjadi-jadi tatkala keluarga pasien yang tidak tahan melihat anggota keluarganya merasakan penderitaan menyarankan untuk segera mengakhiri kehidupannya. Lebih-lebih kalau sekiranya pasiennya sendiri yang meminta untuk segera mempercepat kematiannya, akan semakin menambah beban dilematis pada seorang dokter. Bagaimana mengurai persoalan pelik ini?

Baca juga:  Pembaruan Kurikulum Pendidikan Tradisional al-Azhar Mesir (3)

Dosen FH UGM kelahiran 01 Februari 1946 ini menjelaskan bahwa persoalan dilematis ini tidak diatur dalam Kodeki. Akan tetapi landasan idiil Kodeki kembali pada nilai-nilai Pancasila. Karena pada sila pertama disebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Prof Siti, persoalan apakah dokter boleh mematikan pasiennya, harus dikembalikan pada nilai-nilai agama. Mengapa harus kembali pada ajaran agama? karena Jika tidak meminjam kepada agama-agama, Pancasila sendiri akan menjadi agama.

Menurut Prof Siti, persoalan mengkhiri nyawa seseorang dalam agama bukanlah hak manusia. Hal itu sepenuhnya menjadi ketentuan Tuhan. Rasa kasihan melihat pasien yang menderita tak tertahankan, serta bukti ilmiah yang telah menunjukkan pasien tidak mungkin disembuhkan, tidak dapat digunakan untuk meniadakan hak Tuhan. Solusi untuk mengurai masalah ini dengan jalan menghentikan segala tindakan medis, selanjutnya biar terserah apa yang menjadi rencana Tuhan. Prof Siti menyarankan agar ketika sudah dalam tahap ini maka yang diperlukan adalah kepedulian dari keluarga dengan memberi motivasi spiritual dan psikososial pada penderita. Perbuatan ini biasa disebut dengan palliative care.

Dengan demikian secara etika, mematikan pasien yang sedang sekarat tidak boleh dilakukan dokter. Menurut Prof Siti, apabila seorang dokter terbukti nekat melakukan euthanasia terhadap pasiennya karena rasa kasihan melihat kepedihannya, maka dirinya telah melanggar Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Kedokteran, yang menyebutkan bahwa ‘setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan manusia, keran selain bertentangan dengan Sumpah Kedoteran dan atau etika kedokteran dan atau tujuan profesi kedokteran juga bertentangan dengan aturan hukum pidana.’

Karena norma etika tidak memuat hukuman yang tegas bagi dokter yang tetep “ngeyel” melakukan euthanasia pada pasiennya, maka menurut Prof Siti kita harus menengok pada apa yang dikatakan KUHP terkait masalah ini. Menurut Prof Siti, dalam KUHP pasal 344 disebutkan bahwa ‘Barang siapa yang menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun’. Sementara dalam KUHP pasal 345 menegaskan bahwa ‘Barang siapa yang membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri’.

Baca juga:  Tha’un; Antara Tha’awun dan Thanos

Sehingga menurut Prof Siti meskipun diminta oleh pihak keluarga pasien karena tidak tega melihat penderitaan anggota keluarganya, atau pasien sendiri meminta percepatan kematian karena sudah tidak tahan dengan penyakitnya, atau dokter yang telah tahu bahwa penyakit pasiennya itu tidak mungkin sembuh, euthanasia tetap tidak boleh dilakukan. Jadi sebaiknya seorang dokter harus berhati-hati dalam menghadapi permintaan pasien, keluarga pasien dan jebakan ilmu medis, karena dialah nanti yang akhirnya akan menanggung akibatnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum positif Indonesia benar-benar memegang teguh prinsip the sanctity of life, penghormatan pada kehidupan, dan bukan pada kematian.

Bahasan mengenai euthanasia di atas merupakan bahan mentah yang akan didiskusikan kembali secara lebih komprehensif dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-31 yang rencananya akan digelar di Universitas Muhammadiyah Gresik pada 14-17 April 2020 mendatang. Dengan demikian, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah benar-benar belum memutuskan secara resmi-organisatoris tentang euthanasia.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar