Santri Cendekia
Home » Feminisme dalam Pusaran Keluarga-Phobia

Feminisme dalam Pusaran Keluarga-Phobia

Ancaman kedaulatan keluarga ini sudah disadari sejak lama oleh kalangan yang concern terhadap isu feminisme dan keluarga

Oleh : Muhammad Kholid*

Pada beberapa waktu yang lalu, jagad sosial media dihebohkan dengan sebuah artikel dari media feminis ‘Magdalene’ dengan judul ‘Prostitusi Bisa Menjadi Pilihan Yang Berdaulat’. Dalam akun twitternya, Magdalene menuliskan bahwa ” mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks secara mandiri, cenderung lebih merdeka dan berdaulat akan tubuh dan dirinya. Mereka bebas menentukan kapan menerima pesanan, menentukan jenis pelanggan yang akan dilayani, atau genre yang ingin ditampilkan” (15/5/2020).

Disebutkan juga dalam artikel tersebut “Dalam salah satu petikan wawancara, seorang pekerja seks bahkan mencibir para istri, karena menurut dia, istri pun pelacur karena dia menjaja tubuhnya sebagai ganti mendapatkan perlindungan suami. Baginya, istri malah pelacur yang diperbudak, karena selain digunakan untuk hubungan seksual, seorang istri juga harus merawat rumah dan keluarga, bahkan harus tunduk pada aturan suami”.

Artikel dan twit ini menimbulkan banyak protes dari masyarakat Indonesia. AILA (Aliansi Indonesia Cinta Keluarga Indonesia) menyayangkan media magdalene.co karena telah mendukung adanya prostitusi dan merendahkan serta menghina peran dan kedudukan istri dalam institusi pernikahan atau keluarga. Rita Sobagie sebagi Ketua AILA mengecam artikel ini sebagai ancaman ketahanan keluarga di Indonesia (Lihat Pers Rilis AILA). Memang sudah jamak diketahui bahwa isu kedaulatan tubuh yang digaungkan oleh kaum feminis terletak pada kebebasan dalam mengontrol organ seksualnya, tanpa ada batasan dan aturan dari nilai-nilai sosial masyarakat termasuk agama.

Adapun kalangan feminis lainnya ketika menanggapi artikel dan twit ini pasang badan dengan mendaku bahwa sikap media Magdalena tidak mewakili seluruh suara feminisme. Dr. Dinar Dewi Kania menanggapi ‘absurditas’ sikap ini. Beliau mengatakan bahwa kelompok feminis memang selalu bersembunyi dibalik keragaman feminisme. “Kalau kita bilang mereka punya beberapa asumsi yang menjadi ciri hingga mereka dikelompokan dalam species “feminisme” (genusnya aliran pemikiran / ideologi), pasti mereka bilang feminisme tidak bisa didefinisikan. Tapi herannya mereka mengklaim semua perjuangan untuk kaum perempuan sebagai feminisme” tutur ketua The Center for Gender Studies tersebut.

Ancaman kedaulatan keluarga ini sudah disadari sejak lama oleh kalangan yang concern terhadap isu feminisme dan keluarga. Beberapa anggota DPR dalam waktu yang lalu telah mengusulkan sebuah Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Banyak yang mengapresiasi RUU KK ini karena telah mengisi kekosongan atas absennya peraturan tentang kejahatan seksual (bukan kekerasan seksual) dalam RUU P-KS.

Baca juga:  Siaran Pers Pembukaan Muktamar XXII Ikatan Pelajar Muhammadiyah

RUU KK ini mengatur kewajiban seorang suami untuk melindungi keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; (Pasal 25, ayat 2.c ). Begitu pula larangan donor sperma, ovum (sel telur), hingga surogasi/ sewa rahim (Pasal 31). Pada pasal 86, 87 dan 88, keluarga dapat melaporkan penyimpangan seksual dan pengajuan rehabilitasi. Penyimpangan seksual itu dijelaskan berupa, sadisme, masokisme, homoseksual, dan inses.

Namun, dalam setiap RUU biasanya tidak terlepas dari kritikan, begitupula RUU KK yang ditolak secara mentah-mentah oleh kaum feminist. Diantara argument yang disampaikan bahwa RUU ini telah masuk ke ranah private suatu keluarga. Namun sayang para feminist mendukung RUU P-KS yang juga memiliki banyak irisan dengan kehidupan private seseorang. Bahkan ada yang menganalogikan RUU KK seperti orde baru dengan mengatakan “RUU ini hendak menjiplak orde baru dimana negara mengisolasi perempuan di ruang domestik sebagaimana ideologi ibuisme, menempatkan perempuan sebagai pelayan suami, anak, keluarga masyarakat, dan negara”.

Dalam padangan feminisme, kelurga dimaknai berbeda dengan apa yang dipahami secara umum oleh masyarakat. Dalam pandangan khalayak umum kita, keluarga dimaknai sebagai sekelompok orang-orang yang terdiri dari laki-laki (ayah-suami), perempuan (ibu-istri) dan anak yang terikat oleh suatu ikatan pernikahan. Pembagian peran dalam keluarga ini ditentukan berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu laki-laki sebagai ayah dan perempuan sebagai ibu.

Sedangkan kaum feminist memandang suatu keluarga tidak memiliki aturan dalam pembagian peran antara suami dan istri dalam suatu keluarga. Karena pembagian berdasarkan jenis kelamin seperti ini dianggap penyebab terjadinya diskriminasi peran yang disebabkan oleh budaya patriarki. Keluarga tanpa adanya pembagian hak dan kewajiban seperti ini dianggap sebagai keluarga modern yang mengedepankan equal partner.

Ratna Megawangi dalam bukunya Membiarkan Berbeda menerangkan bahwa ide kesetaraan gender bersumber pada ideologi marxis yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai penindas. Paradigma marxis memandang institusi keluarga sebagai “musuh” pertama yang harus dihilangkan atau diperkecil perannya. Keluarga dianggap sebagai cikal bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hak dan kewajiban yang timpang antara suami-istri.Kedudukan ayah sebagai kepala keluarga dianggap telah mengukuhkan ideologi gender itu sendiri.

Baca juga:  [Jurnal] Melawan Eksploitasi Tubuh Wanita Antara Feminisme Barat dan Islam

Feminist memandang bahwa laki-laki dalam suatu keluarga diposisikan sebagai faktor ordinat dan perempuan sebagai subordinat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Randal Collin dalam bukunya Sociological of Marriage and the Family: Gender, Love, and Property dan juga dikutip oleh Ratna Megawangi. Collin mengatakan bahwa keluarga oleh model struktural-fungsional dijadikan institusi untuk tujuan melanggengkan system patriarkat. Collin mengatakan bahwa sebuah keluarga ideal adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal bukan vertikal.

Lain halnya dengan feminist marxis, kalangan feminis radikal beranggapan bahwa perempuan tidak sepatutnya bergantung dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan, salah satu contohnya adalah pemenuhan kebutuhan seksual. Disamping itu, mereka juga menganggap keluarga merupakan bentuk ketidakadilan dalam pembagian kerja berdasarkan sex yang dapat merugikan perempuan. Hal senada juga diungkapkan oleh John Struart Mill,untuk dapat mencapai “kebahagiaan” tertinggi,seorang wanita hendaknya menekankan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan pekerjaan domestik.

Pandangan yang lebih ekstrim tentang struktur keluarga ideal dari golongan feminism radikal adalah apabila lembaga perkawinan tidak dapat dihindari, maka perlu diciptakan teknologi untuk mengurangi beban biologis wanita. Hal ini diharapkan dapat mengakhiri pembagian peran berdasarkan gender yang selalu terkait dengan kehamilan, menyusui, dan pengasuhan anak. Bentuk teknologi yang diinginkan adalah semisal alat kontrasepsi, bahkan artificial devices atau alat-alat tiruan seperti tiruan plasenta dan bayi tabung, sehingga perempuan tidak perlu lagi mengalami proses kehamilan.

Manifesto feminism radikal yang diterbitkan dalam Notes from the Second Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas utama mereka adalah menolak institusi keluarga. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki sehingga perempuan ditindas, hal ini disebabkan karena citra seksis perempuan yang diobjektifkan sehingga mereka tertindas. Mereka menyalahkan dilema perempuan dalam patriarki, yang mereka yakini berasal dari keluarga dan cara di mana perempuan terjebak dalam peran tanggung jawab dan kewajiban mereka.

Sarah Grimke mengatakan bahwa wanita menikah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami). Oleh karena itu, ada sebagian feminis liberal yang kemudian memilih untuk melajang sebagai satu alternatif gaya hidup yang sah. Untuk mendapatkan anak mereka memanfaatkan sebuah bank sperma yang menyediakan sperma-sperma unggulan. Dengan adanya bank sperma tersebut, para wanita menolak untuk menikah, sehingga dapat dengan bebas mendapatkan bantuan dari bank sperma tersebut. ( Lihat Jurnal Al-Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 12 )

Baca juga:  Kuntowijoyo dan Wacana "Keluarga Feminis"

Di antara kelompok feminis yang paling ekstrim dalam memandang institusi keluarga adalah dari golongan feminis lesbian. Mereka beranggapan bahwa hubungan heteroseksual di dalam sebuah keluarga merupakan lembaga dan ideologi yang merupakan benteng utama bagi kekuatan laki-laki. Maka dari itu, Elsa Gidlow (1977) menawarkan sebuah teori bahwa menjadi lesbian adalah terbebas dari dominasi laki-laki. Sedangkan Martha Shelley (1970) mengatakan bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri.

Sikap trauma kaum feminis terhadap keluarga berangkat dari trauma sejarah relasi antara laki-laki dan perempuan di Barat, terutama ketika adanya lembaga Inkuisi Gereja. Dan jauh sebelum itu, Aristoteles sebagai salah satu tokoh filsafat Yunani mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak sesempurna laki-laki. Permasalahan sejarah dan budaya yang terjadi di Barat (eurosentris) inilah yang diupayakan oleh kaum feminist untuk ditranfer ke budaya Timur (khususnya Islam) sehingga seakan-akan Timur memiliki permasalahan yang sama dengan Barat.

Keluarga yang masih memegang nilai-nilai agama maupun budaya seperti menempatkan laki-laki sebagai pemimpin (qawwam) bagi perempuan dianggap sebagai keluarga tradisional. Sebaliknya, keluarga yang dipersepsikan oleh feminist seperti kasus diatas sebagai manifestasi dari keluarga modern (sekular). Keluarga modern ini tidak harus terdiri dari hubungan laki-laki dan perempuan (hubungan heteroseksual), namun bentuk institusi ini membolehkan adanya hubungan antar laki-laki dan juga antar perempuan (homoseksual).

Konsep keluarga yang Barat selalu menginginkan adanya kebebasan dan kesetaraan kemudian pada akhirnya merapuhkan ketahanan dalam keluarga. Sehingga tidak aneh jika feminism, seperti disebut dalam buku Membiarkan Berbeda, sering dituding sebagai gerakan yang menghancurkan institusi keluarga, karena ide-ide yang mereka tawarkan membuat kaum perempuan menjadi egois, tidak peduli dengan perkembangan anak-anak, gerakan anti masa depan, dan lebih ekstrim adalah mendorong tingkat aborsi bagi ibu hamil. Wallahu a’lam.

*Alumni PKU Gontor

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar