Santri Cendekia
Home » Fenomena Pembunuhan dan al-Karamah al-Insaniyyah

Fenomena Pembunuhan dan al-Karamah al-Insaniyyah

Tahun 2020 barangkali menjadi salah satu tahun bersejarah yang akan diingat oleh masyarakatIndonesia. Hingga pengujung tahun ini, berbagai rentetan peristiwa silih berganti menimpa. Kejadian-kejadian yang sejatinya memperlihatkan wajah dari dinamika persoalan yang harus dihadapi umat. Mulai dari pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda. Dilanjutkan dengan adanya menteri yang tertangkap tangan oleh KPK melakukan tindak korupsi. Sampai pada kasus tewasnya enam anggota Front Pembela Islam (FPI) beberapa waktu lalu, yang menurut versi FPI ditembak polisi, sedangkan menurut kepolisian keenamnya meninggal setelah sebelumnya terjadi baku tembak.

Salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, dalam pernyataan pers untuk menyikapi kasus penembakan itu, berpendapat bahwa persoalan ini adalah tanda yang jelas dari kondisi negara yang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tindak kekerasan yang mengorbankan rakyat sipil tak berdaya menjadi bukti bahwa kedaulatan warga negara sebagai salah satu amanah Pancasila masih jauh panggang dari api. Keadilan sebagai bagian dari kedaulatan, masih belum sepenuhnya dirasakan oleh setiap elemen masyarakat Indonesia.

Faktanya, kasus penembakan tersebut, hanyalah satu dari rangkaian kasus pembunuhan yang hingga kini belum terselesaikan. Masih jelas di benak kita tewasnya pendeta Yeremia Zanambani pada September 2020. Begitu pula kematian Qidam di Poso yang terjadi pada Juni 2020. Oleh Amnesty International Indonesia disebutkan bahwa setidaknya ada 47 kasus kekerasan dengan 96 korban jiwa, yang melibatkan otoritas negara sepanjang tahun 2018 hingga 2020 (bbc.com).

Kemuliaan Manusia dalam Islam

Berbagai kasus di atas menunjukkan murahnya nyawa manusia. Sebuah problem besar, dan hal itu tentu bertentangan dengan salah satu nilai dasar yang menjadi prinsip universal Islam, yaitu kemuliaan hidup manusia (al-Karamah al-Insaniyyah). Syamsul Anwar, ulama Muhammadiyah, pada salah satu kesempatan menyatakan, dalam ajaran Islam, terdapat beberapa prinsip dasar sebagai acuan untuk memandang kehidupan.

Baca juga:  Mengobati Luka Umat Akibat Lockdown Masjid

Prinsip pertama bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang mampu menciptakan dan memberikan kehidupan kepada alam semesta dan segala makhluk yang hidup di dalamnya (al-Mulk [67]: 1). Prinsip kedua, karena Allah sebagai pencipta (al-Khaliq), maka Ia pula yang berhak menentukan hidup dan matinya manusia di mana hak ini tidak diberikan kepada siapa pun selain-Nya (al-Baqarah [2]: 156). Prinsip ketiga, kehidupan yang didapatkan oleh manusia, dengan demikian harus dipandang sebagai karunia dari Allah yang suci, mulia, dan wajib untuk dilindungi dan dipelihara. Prinsip-prinsip asas inilah yang kemudian menjadi dasar dari konsep kemuliaan manusia dalam Islam. Hal ini juga yang mendasari mengapa di dalam Islam tindakan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan syariat, digolongkan sebagai tindak pidana dengan konsekuensi yang berat.

Misalnya saja, dalam al-Maidah [5] ayat 32, Allah berfirman: “Dan oleh karena itu, kami tetapkan kepada BaniIsrail bahwasanya barang siapa yang menghilangkan satu nyawa bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.

Dalam ayat tersebut, Allah menyepadankan satu nyawa dengan semua nyawa karena memang tidak ada perbedaan antara satu nyawa dan nyawa lainnya (la farqa ‘indahu baina nafs wa nafs, Ibnu Katsir,III/92). Kesepadanan itu menunjukkan membunuh adalah kejahatan yang berat di mata syariat dan pelakunya berhak di-qisas (tafsir al-Baghawi,II/780).

Selain tidak dibenarkannya tindak pembunuhan dan dikategorikannya ia sebagai kejahatan, Islam pun juga melarang tindakan bunuh diri. Potongan ayat ke 29 dari surah al-Nisa menyebutkan “… dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Zat Maha Penyayang kepada kalian.”

Baca juga:  Tentang Guru Agama Islam yang Miskin dan Intoleran

Dalam satu hadis yang ditakhrij oleh Imam al-Bukhari juga diceritakan bahwa seorang dari Bani Israil yang tidak dapat menahan rasa sakit yang diderita, memutuskan untuk bunuh diri dengan memotong urat nadi di tangannya. Hadis ini ditutup dengan Sabda Nabi SAW: “Allah berkata, Hamba-Ku mendahului-Ku dalam urusan ajalnya (sehingga) Aku haramkan untuknya surga” (al-BukhariIII/1275). Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fatḥ alBari, menjelaskan, haramnya surga atas pelaku bunuh diri menjadi dalil bahwa bunuh diri merupakan perbuatan terlarang dan dosa yang berat(al-Asqalani:VI/600).

Penegakan hukum

Mencermati ayat-ayat Alquran yang dikutip sebelumnya, memang memperlihatkan bahwa di dalam Islam ada pengecualian hukum. Ruang itu, secara indikasi linguistik diwakili oleh beberapa lafal, seperti illabi al-haq dan bi ghairi nafs au fasad fi al-ard. Namun, hal itu bukan berarti Islam melanggengkan tindakan menghilangkan nyawa.

Kejelasan mengenai aspek pengecualian itu dapat ditemukan dalam diskusi para ulama, terkait dengan fikih tindak pidana pembunuhan (al-Jinayah ‘ala al-Nafs al-Insaniyyah). Di antaranya adalah kesepakatan ulama bahwa pengecualian hanya diberlakukan pada haltertentu saja, seperti pada penegakan hudud al-jinayah, misalnya qisas dan rajam, sebagaimana pula tafsir dari ayat di atas yang telah disebutkan secara ringkas.

Menariknya, konsep hukum pidana ini, dalam pandangan maqasid asy-syari’ah memiliki tujuan yang sangat esensial. Dalam sebuah tulisan yang berjudul Maqaṣid asy-Syari’ah min ‘Uqubah al-Qatl Qisasan: Muqaranah ma’a ‘Uqubah alI‘idam fī al-Qanun al-Wad’i karya ‘Ali Mawaniji Said dijelaskan, hukum pidana seperti qisas hakikatnya tidak bisa dilihat secara parsial.

Sebab, konsep normatifnya sangat berhubungan erat dengan tradisi jahiliyah yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Arab para-Islam punya kebiasaan suka melakukan tindakan pembunuhan secara barbar. Hal itu diperparah dengan konsep tuan dan budak yang mana dengan konsep jahiliyah ini pembunuhan, yang dilakukan tuan kepada budaknya dilegitimasi secara kultural.

Baca juga:  Rihlah Ilmiah Syaikh Yusuf al-Makassari dan Dedikasinya Terhadap Islam (2)

Ketidakadilan yang tecermin dari tradisi itu tentu harus diubah oleh Nabi SAW, yang membawa ajaran rahmatan li al-’alamin. Pasca hijrahnya umat Islam dari Makkah ke Madinah lalu mengawali pembentukan komunitas Muslim, ayat mengenai qisas (al-Baqarah [2]: 177-178) diturunkan untuk menjadi salah satu landasan bernegara dalam rangka mewujudkan satu tujuan agung syariat, yaitu menjaga nyawa manusia.

Tujuan syariat yang terkandung dalam hukum qisas ini pun dengan sangat terang diperlihatkan oleh ungkapan yang terkandung dalam ayat 178: dan di dalam hukum qisas terdapat kehidupan (walakum fi al-qisas ḥayatun..). Pemahaman seperti ini juga diamini oleh para penggagas teori maqaṣid, seperti imam alJuwaini, al-Ghazali, dan asy-Syatibi. Hifẓ an-Nafs sebagai bagian dari lima kebutuhan pokok manusia adalah prinsip yang terinspirasi dan bersumber dari konsep qisas. Dengan begitu, ayat-ayat yang berkaitan dengan praktik pemberlakuan hukuman pidana di dalam Islam sejatinya, harus dilihat sebagai ayat-ayat yang bersifat proteksional, yang bermuara pada tujuan pemeliharaan jiwa manusia dan perwujudan atas kemuliaan dan keadilan. Nilai kemuliaan dan keadilan inilah yang sejatinya harus dihayati oleh segenap lapisan masyarakat, utamanya para pemangku amanah kekuasaan.

Sebagai para penegak hukum di negara yang memandang agama sebagai dasar bernegara, para aparat hendaknya berpegang teguh pada konsep al-Karamah al-Insaniyyah dan menjadikannya sebagai asas dalam setiap tindakan hukum. Jika tidak demikian, dikhawatirkan penegakan hukum akan jauh dari fungsi sebenarnya, yaitu mewujudkan keadilan. Satu kekhawatiran yang akhir-akhir ini telah mulai menjadi ancaman. Pada akhirnya, kita menginsafi bahwa tanpa kesadaran atas Karamah Insaniyyah ini, maka kedaulatan rakyat mustahil untuk bisa tercapai di negeri tercinta kita. Wallahu Musta’an.

*Pertama kali diterbitkan di Republika pada Kamis, 17 Desember 2020

Qaem Aulassyahied

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar