Santri Cendekia
Home » Festival Kehidupan

Festival Kehidupan

Allah Yang Maha Agung adalah Kreator Ulung. Dia tak pernah khilaf apalagi salah ketika menetapkan sesuatu. Meskipun dalam pandangan manusia ketetapan-Nya sering tak sejurus dengan kapasitas nalar. Hal itu disebabkan karena nalar bersifat nisbi, terbatas, dan tak selalu canggih dalam menggeledah setiap detail keadaan. Sedahsyat apa pun, nalar tak akan dapat diposisikan sebagai instrumen manusiawi untuk membuka jutaan tabir ilahiyah itu. Nalar merupakan anugerah Allah paling elok dan mesti menjadi piranti pengakuan, bahwa sesungguhnya pada apa yang dihamparkan Allah terselip rentetan kearifan.

Keniscayaan Keragaman

Berbagai benda yang tersurat, tersuruk dan terhampar di alam semesta tak selalu tunggal. Allah menciptakan keberbagaian. Mulai dari langit dan bumi, daratan dan lautan, siang dan malam, bersifat saling melengkapi bukan memancang negasi. Hidup juga tak tunggal apalagi bergerak monoton. Hidup diwarnai dengan berbagai lembaran episode. Karena itu, hidup tak lebih dari sebuah lompatan dari satu episode ke episode yang lain. Sebagai homo festivus, manusia partisipasi dari satu festival ke festival yang lain. Allah Yang Maha Adil  meletakkan manusia di panggung kebebasan untuk memilih episode atau festival tersebut.

Ketidaktunggalan di alam semesta merupakan cetak biru Allah. Sebab itulah manusia perlu mendesain pola pikirnya untuk menerima secara apa adanya keadaan tersebut. Ikhtiar paling serius yang perlu dilakukan adalah menjernihkan jiwa agar senantiasa lapang dan mengkapitalisasi energi agar senantiasa segar. Jiwa yang lapang merupakan fundamen untuk menerima kenyataan bahwa keberbagaian bukan merupakan ancaman. Energi yang segar dipersiapkan sebagai dinamit untuk senantiasa meledakkan spirit kemaslahatan di tengah keniscayaan keragaman.

Hidup dengan kekayaan karakteristiknya senantiasa berjalan sebagaimana adanya. Adalah tindakan melawan cetak biru Allah jika hidup dibelenggu agar sesuai dengan syahwat tertentu. Allah juga Maha Cerdas, di padang kehidupan telah disiapkan arena bagi para petarung. Dapat pula dimaknai bahwa hidup adalah sebuah pertarungan. Para petarung akan menampilkan kreasi amalan yang telah didesain. Tentu yang keluar sebagai para pemenang adalah mereka yang paling berkualitas tinggi. Ini yang secara teologis disebut ahsanu amalan.

Secara potensial ahsanu amalan bukan pemberian, namun hasil dari sebuah capaian. Para petarung yang telah meraih piala ahsanu amalan tidak berbeda dengan yang belum atau sama sekali enggan meraihnya. Mereka memiliki potensi dasar yang sama sebagaimana yang Allah berikan. Anggota tubuh yang sama, waktu yang sama, kesempatan yang sama, dunia yang sama. Akal juga senantiasa diasah untuk membangun jejaring kebajikan. Tetap bangun saat terjatuh dan bersyukur saat berhasil. Nilai lebih mereka ternyata terletak pada kesungguhan dan ketekunan dalam mempositifkan setiap keadaan, dan tentunya doa untuk meluluhkan takdir Allah.

Baca juga:  Pandemi dan Wabah Menurut al-Imam Jalaluddin as-Suyuthy

Rivalitas  merupakan asesoris untuk merawat konsistensi.  Ini membuktikan bahwa dalam area kehidupan yang sama terdapat kehadiran orang lain.  Boleh jadi setiap orang melalui jalan dan arah yang berbeda namun menyimpan keinginan yang sama. Tak jarang daya tampung sangat terbatas, namun  para pendatang hadir dalam kuantitas yang besar. Keadaan berdesakan seringkali tak dapat dihindari. Yang paling penting tentunya tetap berada pada acuan etis dan rivalitas sehat untuk menggapai keinginan itu. Etika dibutuhkan agar keberhasilan yang diraih tidak mengorbankan orang lain, kebesaran diri yang  dimiliki tidak mengecilkan orang lain dan ketinggian derajat yang ditempati tidak menginjak harkat dan martabat orang lain.

Hidup selain berwarna juga sangat indah. Yang membuat hidup hanya satu warna dan tidak indah adalah diri sendiri. Jiwa yang kerdil dan hati yang dipenuhi sampah ruhaniyah membuat semesta yang demikian luas seperti penjara baja, sempit dan pengap. Kondisi tersebut mencuat karena prasangka, iri dan dengki. Semuanya telah menjadi penjajah dan penguasa jiwa. Keadaan ini mengantarkan seseorang bukan saja tersenggal dalam bernafas namun juga mati ruhani, kendatipun masih ditandai denyut nadi. Tempatnya di masyarakat tidak tinggi dan  cuma sebatas di buritan kehidupan. Kehadirannya tidak menggenapi dan perginya tidak mengurangi.

Ketertinggalan diri harus diikuti oleh evaluasi. Evaluasi menghendaki seseorang bersikap jujur, murni dan meninggalkan arogansi. Evaluasi membuat seseorang melepas busana kebohongan. Energi negatif disingkirkan demi sebuah perubahan. Caci maki diganti dengan apresiasi. Merasa benar sendiri dirubah menjadi toleransi dan keakuan dirubah menjadi kekitaan. Pola perubahan seperti ini sesungguhnya menjadi sebuah ikhtiar menuju perubahan ke dermaga kebaikan. Memang berat dilakukan, namun semuanya mesti dilalui demi sebuah peningkatan.

Baca juga:  Apa yang Salah dengan Lagu Aisyah?

Berjalan dan menapaki kehidupan mutlak diperlukan. Keduanya berguna untuk memotret sampai dimana perjalanan hidup dan usia yang sudah dilalui. Selanjutnya prestasi apa yang sudah diukir. Banyak orang yang sudah melalui jalan hidupnya dengan berbagai prestasi. Generasi mendatang senantiasa akan mengingatnya. Dan yang terpenting bahwa prestasi itu menjadi syahadah suci di hadapan ilahi kelak. Namun tak sedikit yang semenjak lahir sampai di usia senja tak memberikan kontribusi. Orang-orang seperti ini mesti sadar diri dan memiliki asa kuat untuk berubah. Kesadaran dan asa itu harus ditulis dalam nisan muhasabah sebelum nisan yang sesungguhnya terhunjam di pusara. Jika tak dilakukan, jangan pernah bermimpi untuk mengulang hidup kedua kali.

Hidup ini terlalu mahal jika digunakan hanya untuk menilai perilaku orang lain, mengkritik secara membabi buta sembari menebar serpihan kaca kebencian. Potensi ke arah itu sangat besar, apalagi difasilitasi media sosial yang kini berwajah garang dan tak sedikit yang mengandung dusta. Sikap merasa paling suci dan paling benar sendiri terhidang rapi di pelupuk mata. Situasi miris itu menjadi lukisan yang mudah  dan tak terlalu sulit ditemukan. Karakter tak berkeadaban tersebut tidak hanya menjadi mainan kaum awam, bahkan menjadi pedang bertuah bagi kaum cerdik cendekia atau pegiat dakwah sekalipun. Sifat-sifat non produktif itu mesti segera diamputasi.

“Mengalah untuk maju” adalah untaian kalimat bersahaja yang mengandung proyeksi jauh ke depan. Terselip pesan bernas berkemajuan. Introspeksi diri, suka mengalah, suka mendengar, mau belajar dan merubah diri, adalah nutrisi-nutrisi perubahan kemajuan itu. Ringkasnya, kalimat itu mengandung petatah-petitih, bahwa dalam hidup ini, setiap orang harus hati-hati dan mesti cakap membangun manajemen diri. Ada juga kalimat “maju untuk hancur”. Kalimat ini menunjukkan sikap keras kepala dan tak mau mengalah. Superioritas diri yang lahir dari penguasaan ilmu, jabatan, kepemilikan harta, telah menciptakan singgasana keangkuhan dan menjadi dewa-dewi. Hal tersebut merusak tatanan pergaulan sosial yang dianyam dari saling pengertian, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi.

Baca juga:  Dari Demokrasi Islami ke Demokrasi Muslim: Memahami Perubahan dalam Pemikiran Politik Islam (2)

Banyak orang berjalan mengikuti pusaran waktu. Mereka tak tahu ke arah mana biduk cita-cita akan ditambatkan. Tiba-tiba tanpa disadari, biduk itu telah terdampar di pantai masa tua. Di situ setiap orang tak lagi punya harapan untuk berkarya. Cerita hidupnya hanyalah kisah-kisah masa lalu yang tidak inspiratif, nir kreasi dan hampa. Sebab tak ada yang bisa dibanggakan. Hanya bingkai penyesalan sembari menunggu detik-detik tibanya “Sang Peretas Kebahagiaan”, yaitu malaikat maut. Allah Maha Benar, kehidupan manusia dilukis-Nya dari itu ke itu saja, dikisahkan-Nya dalam Alquran, lalu dirinci dalam hadis Rasul-Nya, agar manusia mengambil pelajaran.

Ladang Amal

Hidup tak lebih seperti sebuah festival. Hidup mesti dirayakan, dinikmati dan digeluti. Hidup di dunia hanya sekali. Karena itu, festival dalam kehidupan adalah festival kebaikan. Kebaikan yang tersandar kokoh kepada Allah, terbentang ramah kepada manusia, dan terhampar indah kepada semesta. Itulah persyaratan vital agar hidup menjadi bermakna. Jika tiba saatnya Allah mengutus malaikat maut untuk menjemput hamba-Nya, maka hamba-hamba seperti inilah yang akan tersenyum bahagia tepat di hari ajalnya. Boleh jadi dari lisan mereka terpancar sebuah doa, “Ya Rabb, jadikanlah saat-saat kematianku sebagai hari terindah yang paling aku nantikan. Amin ya Rabb.” Semoga bermanfaat.

 

 

Muhammad Qorib

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammaidyah Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Agama Islam UM Sumatera Utara

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar