Santri Cendekia
Home » Fikih Agraria dan Isu Komunisme di Tanah Air

Fikih Agraria dan Isu Komunisme di Tanah Air

Isu kebangkitan PKI seolah menjadi isu debat publik tahunan di negeri ini. Umat Islam selalu yang vokal dalam perdebatan. Hal ini tentu wajar, luka traumatik umat atas kekejaman eksonen PKI di masa lalu bukanlah sesuatu yang sepele. Belum lagi angkatan tua yang memang mengalami langsung tahun-tahun horor penuh ketegangan itu. Fakta-fakta kekejaman di masa lalu, diramu dengan berbagai perkembangan terkini kerap disodorkan oleh mereka yang meyakini kebangkitan PKI. Di sisi lain, sebagian umat, terutama yang muda-muda,  menganggap itu hanya bentuk paranoia. PKI sudah mati, orang-orang terlalu takut pada hantu.

Ketika dihadapkan pada isu kebangkitan PKI ini, peneliti senior INSISTS Dr. Syamsuddin Arif menekankan fakta bahwa PKI sebagai partai adalah bagian dari  masa lalu, tapi tetaplah PKI merepresentasikan sebuah ide, dan ide tidak akan pernah mati. Beliau tentu tepat sekali. Kita semestinya fokus kepada PKI sebagai ideologi dan aspirasi dan berusaha mengimbanginya jika tidak setuju kepadanya. Untuk melawan sebuah pemikiran, setidaknya ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama dengan menunjukan kekeliruannya, kedua dengan menyediakan alternatif mencapai tujuan-tujuannya. Dalam tradisi Muhammadiyah, kedua metode di atas selalu dilakukan secara bersamaan. Sebagai contoh, ketika hendak menghilangkan kesyirikan dalam bentuk perdukunan, Muhammadiyah tidak hanya menunjukan batilnya kesyirikan, tapi juga memberikan alternatif pengobatan moderen berasaskan etika Islam.

Menghadapi komunisme, Muhammadiyah juga melakukan hal yang sama. Bahkan sejak masa Kiyai Dahlan. Beliau menanamkan akidah Islam yang dalam sekaligus memberikan alternatif gerakan pemberdayaan yang nyata. Itulah sebabnya, ketika dua pentolan ISDV (cikal-bakal PKI) diundang berorasi di hadapan murid-murid Kiyai Dahlan, mereka hanya kagum pada kegigihan orang-orang komunis itu. Tidak tertarik pada substansi idenya, tidak juga melirik gerakannya. Kiyai Syujak dalam catatannya menyampaikan respon aktivis-aktivis Muhammadiyah yang hadir ketika itu;

“Setelah mendengar propaganda ISDV, mereka bertambah giat dan bertambah tebal keyakinannya bahwa Islam akan dapat kemenangan dalam perjuangannya, karena menyadari dan menginsyafi idiologi ISDV remeh, yang kotor saja dapat laku dijual kepada umat manusia asal ditawarkan. Apalagi Agama Islam yang datang dari Allah dengan wahyu yang amat suci diturunkan kepada Nabi untuk disampaikan kepada ummatnya dari segala bangsa” (dari buku Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Catatan Haji Muhammad Syoedja)

Memang Kiyai Fachrodin, murid KH. Ahmad Dahlan yang lain, diriwayatkan sempat simpati kepada Sneevliet, gembong ISDV asal Belanda. Fachrodin juga sempat penjadi pengurus salah satu cabang ISDV. Namun demikian, bahkan beliaupun tetap teguh pendirian tidak mau bergabung menjadi komunis ketika dibujuk bahkan didebat oleh Alimin saat tokoh komunis itu menginap di rumahnya. Perlu diingat bahwa ketika itu, kaum komunis masih dianggap bagian dari saudara sesama anak bangsa yang bergerak melawan imperialisme Belanda. Jadi respon dingin pada propogandis-propogandis kiri itu kiranya cukup genuine, bukanlah hasil dari sebuah program demonisasi ala Orba.

Baca juga:  Asas-Asas Maqashid Syariah Menurut Ibnu Taimiyyah

Kembali ke masa kita sekarang, selain penting untuk membantah dasar-dasar pemikiran kaum komunis, perlu juga untuk menunjukan bahwa kita bisa membela yang papa tanpa harus kekiri-kirian. Untuk poin kedua ini, salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan adalah isu agraria. Persoalan ini adalah warisan kolonial di negeri kita yang tak kunjung terselesaikan. Bahkan tampak semakin gawat saja. Mulai dari konflik kepemilikan tanah antara petani kecil dengan pengusaha, tergusurnya masyarakat adat, hingga kerusakan hutan.

Dahulu PKI mendapatkan momentum kemenangan dengan memanfaatkan isu agraria. Mereka memang gemar mencitrakan diri sebagai partainya kaum bersabit, para petani miskin. Seperti diketahui, PKI sempat tenggelam setelah peristiwa Madiun, tapi di pemilu 1955 partai ini berhasil masuk empat besar. Popularitas PKI salah satunya berkat dukungan total mereka atas implementasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) (Winangun, 2004). Betapa besar dukungan PKI atas pembaruan agraria, hingga isu ini menjadi identik dengan isu PKI.  Bahkan atas dalih persoalan tanah inilah, banyak kiyai yang dilabeli “setan desa” yang layak dihabisi dan tanahnya diambil alih.

Persoalan agraria, terutama konflik pertanahan, memang bukan perkara sepele, ratusan orang meninggal, tertembak, dan ribuan dipenjara karenanya. Banyak anak muda yang tertarik pada ide-ide dan pola gerak aktivisme kiri sebab prihatin kepada persoalan seperti ini. Kita tidak bisa seenkanya mengecap mereka ‘genit intelektual’ atau sindiran sejenis tapi gagap meberikan alternatif. Inilah urgensi Fikih Agraria yang tengah diikhtiyarkan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih. Selain masalah konflik agraria, produk pemikiran ini juga mencakup masalah swasembada pangan, aspek ekologis, nasib masyarakat adat, krisis pedesaan, dan persoalan perumahan serta akses ruang publik.

Sebagaimana produk fikih tematik lainnya dari Majelis Tarjih, Fikih Agraria tidak hanya menawarkan solusi praktis, tapi juga landasan filosofis dan framework etis. Kesemuanya digali dari Al-Qur’an dan hadis dengan memanfaatkan metodologi warisan pada ulama dan memperhatikan pendapat mereka yang ahli dalam bidang ini. Seperti fikih tematik lainnya, makna istilah fikih di sini dikembalikan ke asal Qur’aninya, yakni pemahaman mendalam terhadap agama (tafaqquf fiddin). jadi tidak terbatas pada aspek legal (ahkam) seperti dalam definisi klasik.

Berdasarkan Manhaj Tarjih, Fikih Agraria dibangun dengan memperhatikan dua asumsi metodlogis. Pertama, asumsi integralistik; bahwa dalil-dalil saling menguatkan secara koroboratif. Itulah sebabnya, metode yang diandalkan adalah istiqra’ ma’nawi yang digunakan para ulama perumus maqashid seperti Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat. Norma yang ditarik secara istiqra’ dari dali-dalil relevan itu kemudian disusun dengan memperhatikan asumsi hirearkis. Artinya, norma-norma itu disusun mulai dari nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), kemudian prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah), hingga ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah) (Anwar, 2018).

Baca juga:  Menunggu (Revisi) Fatwa MUI Tentang Ibadah Dalam Situasi Wabah Covid-19

Dengan landasan metodologi di atas, memang cakupan dari Fikih Agraria menjadi cukup luas. Ia dimulai dengan memaparkan wawasan keagrariaan dalam khazanah klasik yang digali para ulama dari Alquran dan Hadis. Kitab-kitab fikih dipenuhi uraian soal perkaplingan (iqtha’), menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat), tanah untuk kepentingan umum (hima’), dan tatakelola irigasi air pada lahan (miyah al-aradli).  Dalam khazanah klasik Islam ada dua prinsip penting yakni; Pertama, Islam menghadirkan ketentuan yang sangat detail tentang tanah. Setiap orang berhak memiliki tanah dan negara wajib menghadirkan kepemilikan itu. Kedua, Islam selanjutnya memberikan ketentuan bahwa tanah yang dimiliki seseorang tidak boleh dibiarkan tanpa pengelolaan sehingga menjadi tanah mati. Hal ini menunjukan bahwa persoalan agraria sudah menjadi concern umat Islam bahkan sejak masa Rasulullah.

Selanjutnya, Fikih Agraria mengurai kompleksitas persoalan agraria saat ini. Dalam persoalan agraria, rakyat kecil sering menjadi korbannya. Penderitaan itu lebih dirasakan lagi oleh petani kecil dan masyarakat adat yang hak-hak dan kearifan lokal mereka dalam pengelolaan tanah sering dikesampingkan. Dalam analisa Fikih Agraria, persekongkolan kartel para pemodal (kapitalis) dan (aparat) negara ada dibalik kezaliman itu. Akibatnya, ada empat sektor yang perlu mendapatkan perhatian serius, yakni keterbatasan atau bahkan ketiadaan akses petani atas lahan pertanian, politik alokasi tanah yang tidak berpihak pada kepentingan pertanian rakyat, ancaman alih komoditas petani dari pangan menjadi non-pangan, dan konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian.

Inti dari Fikih Agrarai pada hakikatnya dibentuk sebagai roadmap menghadapi tantangan di atas. Di level al-Qiyam al-Asasiyyah), ditekankan beberapa nilai mendasar; tauhid, yakni bahwa hak kepemilikan hakiki hanyalah Allah, sehingga tidak ada seorangpun yang boleh menzalimi orang lain, termasuk dalam soal agraria. Dari prinsip mendasar ditarik nilai akhlakul karimah, kemaslahatan dimana pengelolaan agraria harus berdasarkan pertimbangan maslahah mu’tabarah atau mursalah tidak boleh mulghah. Adapula nilai keadilan dan persamaan, sehingga tidak boleh ada seorng manusiapun yang haknya dipandang lebih rendah dari yang lain.

Di atas al-qiyam al-asasiyah tadi, dibangun enam prinsip Fikih Agraria. Pertama, prinsip kepemilikan; artinya Allah memang Sang Pemilik Mutlak, tapi manusia juga punya hak milik relatif. Hak milik ini dijamin dan diregulasi dengan sebaik mungkin. Kedua, produktifitas, pemilik lahan berkewajiban membuat tanahnya produktif dan bermanfaat bagi seluruh makhluk. Ketiga, prinsi islah atau mengedapnkan permufakatan bila terjadi konflik kepemilikan. Keempat regilasi berkeadilan; tentu kepemilikan itu harus diatur oleh pemerintah, tapi regulasi ini mutlak harus adil. Kelima, prinsip konservasi; artinya pemanfaatan lahan tidak boleh merusak alam. Keenam prinsip pertanggung jawaban.

Baca juga:  Mungkinkah Putusan dan Fatwa Tarjih Bertentangan?

Pada tataran panduan praktis (al-Ahkam al-Far’iyyah), Fikih Agraria menjadi lebih detail namun meluas. Hanya saja, dapat diaktakan bahwa ada tiga ranah penting pengamalan Fikih Agrarai. Pertama adalah edukasi, baik kepada rakyat, pengusaha, maupun negara. Termasuk hal ini adalah edukasi kepada uamt bahwa persoalan agraria adalah bagian penting dari ‘isu umat Islam’ layaknya kerusakan moral atau tersebarnya aliran-aliran sesat. Selain itu adapula advokasi dan regulasi, yakni upaya pendampingan kepada para korban termasuk upaya-upaya hukum dengan melakukan judicial review pada pasal-pasal bersamalah semisal Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Fikih Agraria juga memberikan rekomendasi amal bagi negara, penguasan, hingga keluarga dan individu. Rekomendasi-rekomendasi itu jika dilakukan akan sangat membantu pengentasan problem agraria di tanah air.

Uraian singkat di atas hanyalah semacam garis besar kerangka Fikih Agraria yang baru saja dibahas dalam Munas di akhir tahun 2020 lalu. Rumusan Fikih Agraria ini memang tidak dibuat sebagai kitab berisi solusi praktis semua persoalan agraria yang pernah dan akan terjadi di tanah air. Namun demikian, seperti produk fikih tematik Tarjih yang lain, rancang bangunnya memang dibuat untuk menjadi semacam landasan teoritis aksi advokasi agraria Islami. Di dalamnya telah terurai al-qiyam al-asasiyah dan al-ushul al-kulliyah yang bisa dikatakan relatif permanen selama pola probelm agraria masih sama.  Ia tinggal diterjemahkan ke berbagai konteks dan peristiwa-peristiwa baru.

Dalam konteks geger-geger isu komunis di negeri kita ini, kehadiran Fikih Agraria membawa darah segar dalam perjuangan jika ditinjau dari dua sisi. Pertama, umat Islam khususnya Muhammadiyah menjadi punya petunjuk gerak yang jelas dalam aksi advokasi. Para aktivis tidak perlu lagi terlalu bergantung kepada teoritisasi dan praktis kaum kiri. Bisa tetap belajar satu dua hal dari mereka, seperti Kiyai Syujak dan kawan-kawannya dahulu, tapi keyakinan pada modal konseputal Islam menghadapi tantangan agraria mestinya mulai ditanamkan dalam kesadaran para kader. Kedua, anggapan bahwa persoalan-persoalan agraria bukanlah perhatian utama ‘umat’ sudah saatnya dilenyapkan. Ada saja orang-orang yang meninggalkan gerbong perjuangan organisasi-organisasi Islam sebab kecewa kepada kaum beriman yang konon hanya sibuk debat furu’ padahal umatnya kelaparan.

Anggapan bahwa umat Islam tidak begitu peduli pada isu-isu strategis semacam konflik agraria kerap membuahkan perasaan inferior pada anak muda Muslim terpelajar. Sehingga mereka kehilangan kebanggaan dan semangat juang di bawah panji-panji gerakan Islam. Semoga Fikih Agraria bisa menjadi obat inferioritas itu. Seperti dahulu Risalah Tauhid Abduh mengembalikan kepercayaan diri muri-muridnya akan keunggulan ajaran Islam. Layaknya etos al-Maun Kiyai Dahlan yang menyuntikkan izzah Islam ke hati para priyayi terpelajar seperti Dr. Soetomo.

Wallahu a’lam.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar