Santri Cendekia
Home » Fikih al-Maun; Membela Mustad’afin, Mengusir Hantu PKI

Fikih al-Maun; Membela Mustad’afin, Mengusir Hantu PKI

Dalam pengamalannya, Fikih Almaun harus membela kaum mustad’afin dan dalam kajiannya, ia tidak perlu juling ke kiri

Pada tahun 2017 lalu, penulis berkesempatan meliput sekitar 200 lebih petani asal Teluk Jambe, Karawang yang datang meminta advokasi ke Gedung Muhammadiyah. Mereka yang ditampung di sebuah Panti Asuhan Muhammadiyah ini awalnya sempat dituduh PKI. Padahal mereka hanyalah sekelompok petani yang lahannya diambil secara zalim melalui perselingkuhan oknum pemerintah daerah dengan sebuah perusahaan.

Saya perhatikan, me­mang tampak ada banyak pengguna kaos merah dengan lambang beberapa or­ga­n­i­sa­si kiri, uta­manya Partai Rakyat Demokratik (PRD). Mata yang panik mungkin akan se­gera meng­amini tuduhan PKI itu setelah menatap mereka. Suasana batin kita beberapa ta­hun be­lakangan memang kerap di­a­du­k-aduk oleh desas-desus kemunculan-kembali PKI.  Peningkatan kerja sama Pemerintah RI de­ngan RRC, sebuah ne­­gara dengan satu partai yakni Partai Komunis Cina (PKC), seolah-olah membenarkan de­­sas-desus itu. Daftar ini masih bisa di­per­panjang lagi berdasarkan kejadian lebih lam­pau, dari mulai perkumpulan beberapa LSM yang menyelenggarakan International Peo­ple Tribunal (IPT) 65 di Den Haag, sampai ke­ha­diran PRD di bawah pimpinan Budiman Su­­djatmiko dan Partai Buruh di bawah pim­pinan Mokhtar Pakpahan di awal Reformasi.

Melihat keadaan di atas, kita jadi mafhum bahwa kepanikan itu memang ber­a­la­s­an. Namun tanpa analisis yang jernih, kita akan keliru dalam mengenali hakikat musuh yang dihadapi. Misalnya ada seorang tokoh pernah menyamakan PKI dengan JIL (Jaringan Islam Li­be­­r­­­al), dua pihak yang bukan saja terpisah secara kelembagaan dan zaman, tetapi bahkan se­­­cara ideologi. Sementara PKI di zamannya adalah pengusung utama komunisme yang sa­ngat membenci kapitalisme, JIL di masa sekarang adalah pengusung utama kapitalisme yang menafsirkan ajaran Islam sekehendak nafsunya dengan perangkat hermeneutika, un­tuk salah satunya mengusung sistem pasar-bebas itu.

Dampak dari salah baca terhadap keadaan ini bisa saja parah; jika terpancing pada si provokator yang meng­embuskan tuduhan PKI terhadap petani Karawang, kita ke­mung­kin­­­­an malah terlibat dalam penumpasan terhadap perjuangan mereka dan mendukung tin­da­k­­­an se­we­nang-wenang PT Pertiwi Lestari. Provokasi sejenis sudah bermunculan di ba­nyak kasus konflik agraria di Indonesia, yang terakhir –selain kasus Karawang ini- adalah ka­­­­­­sus Kendeng.

Muhammadiyah melalui tokohnya, dari Buya Syafi’i Ma’arif sampai Bang Dahnil, turut mendukung perjuangan mereka tanpa tersulut oleh tuduhan pro­vo­­­­­­katif atasnya. Dengan demikian, analisis yang jernih atas hakikat kaum kiri kian men­desak un­tuk di­­lakukan. Apabila mereka –katakanlah, kaum Komunis Gaya Baru- sung­guh ada, namun per­hatian kita justru sedang ter­arah ke selainnya, mereka justru bisa saja men­jalankan ke­giatannya secara leluasa.

Jelas dan Terpilah

Salah satu tokoh Muhammadiyah yang dengan tenang dan sistematis mengulas seluk-beluk komunisme adalah Prof. Dr. H. M. Rasjidi, dalam buku berjudul Islam Me­nen­tang Komunisme (1970 [1965]). Penulis akan menguraikan pemikiran Pak Rasjidi se­­ca­ra amat singkat, bukan untuk memberi wawasan umum tentang Komunisme itu sen­diri, melainkan sekadar menunjukkan bahwa pembacaannya terhadap Komunisme te­lah me­me­nuhi kriteria jelas dan terpilah (clear and distinct, sebuah kriteria pemikiran ra­si­on­al yang ditawarkan filsuf Prancis, Rene Descartes), tidak buram dan tercampur-cam­pur pra­sangka keliru.

Di dalam buku itu, Menteri Agama RI pertama ini membahas perkembangan pe­mi­k­iran tentang individu dan masyarakat sebelum pemikir utama Marxisme, Karl Marx, la­hir dan berkarya. Bahasan ini secara historis menjelaskan pelbagai pandangan uta­ma pa­ra filsuf Barat, merentang sejak Platon (400 SM) sampai Proudhoun (w. 1865), ter­­utama soal keadilan dan kekuasaan. Menurut Pak Rasjidi, dua persoalan tersebut mun­cul aki­bat pemikiran Barat dibangun dari dua pengandaian yang bertentangan.

Baca juga:  "Jumat Agung": Puisi Yang Menghakimi Agama

Di satu si­si, ber­dasarkan ajaran Kristen dan spekulasi para filsufnya, Barat meyakini bahwa ha­ki­­kat manusia adalah setara dan bersaudara. Di sisi lainnya, mereka juga meyakini pem­ba­­­gian kelompok manusia berdasarkan kepemilikan satu terhadap lainnya, yakni ma­jik­an/tuan di atas buruh/hamba. Pembagian tersebut, dalam sejarah, sering memunculkan prak­­tik tak adil dan mengundang para pemikir untuk merenungkan hakikat dari keadilan itu. Ja­wab­an­­nya beragam tetapi dibatasi oleh dua ujung; dari mulai penyerahan total ke­da­u­­latan kepada pasar-bebas di satu ujung, dan penolakan total terhadap kedaulatan ne­ga­ra atas na­ma anarkisme di ujung lainnya. Di masa inilah Karl Marx merenung dan me­nu­­angkan ga­gasan-gagasannya.

Dengan kedalaman pemahamannya terhadap filsafat Barat, Pak Rasjidi meng­u­rai­kan pokok-pokok pemikiran Marx, yakni materialisme historis, materialisme dialektis, teori nilai-lebih, dan revolusi proletariat. Pembahasan mengenai unsur-unsur ini terdapat di dalam bab 2, yang bisa disimak secara terpisah sebagai buku kajian filsafat. Pe­­nulis ing­in mengkhususkan bahasan ini pada analisis Pak Rasjidi saja.

Pak Rasjidi de­ngan tepat meng­gambarkan dua aliran filsafat Barat ke­tika membicarakan ihwal wujud. Me­reka terbagi antara Idealisme, yakni pemikiran bahwa realitas di luar diri manusia hanya­lah ben­tukan akal sehingga semuanya dinilai wujud sejauh korelat dengan akal, dan Ma­te­ri­al­­isme (atau Realisme) yang meyakini bahwa realitas di luar diri manusia adalah wu­jud yang tidak terikat oleh akal, sehingga tetap wujud ketika tidak ada manusia sama se­kali di dunia. Karl Marx berada di posisi kedua. Dari sana, ia membangun pemikiran-pe­mi­kirannya tentang ekonomi, politik, dan agama.

Penolakan terhadap unsur-unsur di lu­ar ma­teri menjadikan mereka sebagai ateis. Menurut Pak Rasjidi, Islam tidak ber­ma­sa­lah de­ngan dua pandangan itu, sebab selain keimanan pada yang ghaib, apa yang tampak se­­bagai dunia juga diakui oleh Islam. Dengan keyakinan materialis yang “serba-benda”, Karl Marx meyakini bahwa praktik ekonomi ada­lah praktik pertama di dalam peradaban manusia. Ia kemudian melancarkan kritiknya yang paling radikal terhadap praktik ekonomi di Eropa saat itu, di mana tenaga kaum pro­­letar yang tak mempunyai alat produksi diperas oleh kaum borjuis yang memiliki alat pro­­duksi, untuk memperkaya diri

Upah para buruh itu hanya cukup untuk sekedar tetap hidup, sedangkan kaum borjous mengakumulasi untung yang banyak. Ke­­­un­tungan tersebut terus diakumulasi sebagai modal (kapital) kegiatan produksi se­lan­jut­­­nya, begitu seterusnya. Secara deterministik, Marx meyakini bahwa pada puncak dia­lek­­­tika itu, kaum proletar akan merebut alat-alat produksi dan mewujudkan revolusi ter­ha­dap keadaan negara yang sebelumnya menjadi penyokong praktik Kapitalisme.

Wa­ris­an pe­­mikiran Marx (dan rekan setianya, Engels) mendapat momentum perwujudan saat Le­nin mengutarakan strategi komunisme internasional di Kongres Internasionale III se­ba­­­gai tafsir utama atas pemikiran Marx. Se­jak saat itu, kaum komunis di banyak negara, ter­­­­ma­suk di Indonesia, menerapkan stra­tegi tersebut untuk, pertama-tama, berkoalisi de­ngan un­sur politik lain dalam menghadapi ko­lonialisme, namun kemudian menjalankan re­­volusi dengan menumpas unsur politik la­in itu apabila mereka tidak bersetuju.

Jangan Juling ke Kiri

Pak Rasjidi kemudian mengemukakan kritik Islam terhadap ko­mu­n­­isme. Beliau mem­beri maklumat pada kita bahwa para filsuf yang disebutkan se­pan­jang bukunya itu, ter­masuk Marx, adalah orang-orang yang ti­dak mengenal cahaya Islam. Sa­at membahas ma­terialisme historis, Pak Rasjidi meng­gu­gat pandangan de­ter­mi­nis­tik­nya dengan meng­ajukan fakta lain, bahwa beberapa bangsa yang hidup dalam keadaan pro­duksi yang sama te­lah melahirkan peradaban yang berbeda. Perbedaan justru terjadi di Barat sendiri, se­ba­ga­i­mana yang diuraikan Pak Rasjidi di ba­gi­an terdahulu.

Baca juga:  Prof. Dr. Rasjidi, Sang Ulama Negarawan

Setelah melancarkan beberapa kritik (selain cuplikan di atas), Pak Rasjidi meng­a­­j­ak kita memberi sedikit penghargaan pada upaya Marx yang menganalisis keadaan ma­sya­­rakat. Bagi Pak Rasjidi, Marx(isme) mengingatkan kita pada keberadaan orang-orang yang mencintai dunia dan tergila-gila pada kekuasaan. Selain itu, tindakan sebagian kaum yang menyematkan dirinya sebagai agamawan namun cinta terhadap jabatan dan ke­ka­ya­an justru menjadikan kritik Marx menjadi relevan.

Tetapi Pak Rasjidi kemudian me­ne­­gas­kan, bahwa keadaan tersebut bukan suatu keadaan mutlak yang membentuk watak ma­nusia secara wajar. Dalam Islam, hal tersebut justru adalah penyakit yang harus (dan ten­­tu dapat) disembuhkan. Cara penyembuhan itu bukan melalui praktik komunis sampai ke dalam bentuknya yang terjauh, yakni revolusi, melainkan dengan pengajaran dan peng­­amalan Islam. Kapitalisme dan Komunisme, dalam simpulan Pak Rasjidi, adalah pe­mi­­kiran sekular yang tak mendapat ruang di dalam Islam. Sebaliknya, konsep-konsep Is­lam tentang individu, masyarakat, keadilan, kekuasaan, dan ekonomi, tidak berada di da­lam salah satu dari kedua pemikiran sekular itu.

Dari uraian Pak Rasjidi, kita bisa mengajukan beberapa tafsir untuk kebutuhan se­­karang. Pertama, edisi awal buku ini yang diterbitkan Jajasan Islam Study Club In­do­ne­­­sia, ditulis pada November 1965, atau sebulan setelah pemberontakan PKI terakhir. Ki­­ta secara khusus bisa menaruh rasa kagum pada ketelitian dan kesigapan Pak Rasjidi da­­lam menulis buku ini, tanpa kekurangan kadar ilmiahnya karena merujuk pada buku-bu­­ku primer para filsuf yang dibahas.

Di tahun itu, pemikiran Marxis yang dominan ada­lah Komunisme dalam tafsiran Lenin, yang menubuh sebagai Uni Sovyet. Saat ini, di­tan­dai oleh keruntuhan Uni Sovyet yang mengakibatkan demoralisasi bagi para pemikir dan ak­tivis kiri, pemikiran Marx kian mengalami penafsiran oleh kalangan yang me­nye­but di­ri mereka Marxis, namun saling mengkritik satu sama lain. Dani Filc dan Uri Ram (20­14) mengelompokkan mereka ke dalam 4 kelompok, berdasarkan penyikapan mereka ter­ha­dap kondisi posmodern sebagai bentuk kapitalisme-lanjut dan serangan terhadap na­ra­si-narasi besar pemikiran; Marxisme anti-posmodern, Marxisme Posmodern, Pos­mo­dern­is-marxis sintesis, dan Posmarxis.

Pertanyaan yang dapat dimunculkan dari tafsiran pertama ini adalah, bagaimana res­pons seorang muslim terhadap 4 kelompok itu? Apakah telah muncul satu tulisan, ter­le­­­bih buku, dari kalangan muslim yang mengupas pemikiran-pemikiran mereka di tengah ma­­­raknya desas-desus kebangkitan-kembali PKI? Tulisan ini tidak hendak menjawabnya, me­lainkan sekadar menunjukkan sebuah tantangan nyata yang sesungguhnya hadir di ruang-ruang akademik kita.

Tantangan itu lebih perlu untuk ditanggapi dibandingkan provokasi-provokasi yang telah disinggung di muka. Seorang muslim yang me­ne­rima sa­lah satu, sebagian, atau seluruh tafsiran tersebut di tingkat paradigma tidak akan men­jadi PKI, tetapi yang lebih parah dari itu: muslim dengan cara berpikir sekular. Ak­ti­vismenya ti­dak lagi berdasarkan worldview Islam melainkan worldview Barat yang se­kular.

Salah satu cara untuk menghadapi persoalan ini, menurut penulis, adalah dengan meng­eksplisitkan apresiasi Pak Rasjidi terhadap analisis Marx, dan ini sekaligus sebagai taf­sir kedua. Marx telah menyadarkan kita tentang bagaimana Kapitalisme be­kerja. Tanpa ana­lisisnya, kita mungkin tidak menyadari keberadaan logika akumulasi modal yang za­lim dan sudah merambah secara luas di Indonesia. Dalam epistemologi Is­lam, analisis Marx ini diakui sebagai sumber pengetahuan rasional, yang letaknya setara de­ngan pe­nge­­tahuan empiris (berdasarkan pengalaman-pengujian) namun berada di ba­wah wahyu dan otoritas para ulama.

Baca juga:  Mustafa Abd’ Ar-Raziq: Ushul Fiqh Sebagai Filsafat Islam

Peran wahyu di hadapan sumber pengetahuan jenis ini adalah se­bagai pem­be­ri putusan akan hakikat, bukan terbalik menjadi pembenaran bagi Marxisme seperti ter­lihat pada konsep Teologi Pembebasan-nya Alfonso Lo­p­ez Trujillo dan Gustavo Giutierrez dalam kasus pemikiran Kristen (lihat Lowy: 1999), dan konsep “Ki­ri Islam”-nya Hassan Hanafi atau “Islam dan Pembebasan”-nya Ashgar Ali Engineer da­lam kasus pemikiran Islam.

Salah satu upaya yang cukup tepat dan berhasil meletakkan analisis (Marxis) atas logika ka­pitalis ke dalam epistemologi Islam, atau sekurang-ku­rangnya paradigma Islam, ter­lihat pada eksperimentasi para pemikir Muhammadiyah di tahun 1980an kala ber­ha­dap­an dengan keganasan kapitalisme Orde Baru. Dengan me­min­jam kritik kebudayaan ka­pitalis dari Mazhab Frankfurt (Neo-marxis), Kuntowijoyo meng­usulkan “ilmu sosial pro­fetik”, yakni ilmu sosial yang bukan sekadar melakukan ca­cah jiwa terhadap ma­sya­ra­­kat melainkan juga memberdayakannya.

Dari disiplin lain, yakni ilmu eko­nomi, Da­wam Raharjo banyak mengembangkan konsep-konsepnya ten­tang Ekonomi Islam dan pem­berdayaan masyarakat Indonesia menggunakan analisis Te­o­ri Ketergantungan (De­pen­densia). Penelitian Bahtiar Effendy (2009: 180-190) terhadap ke­cenderungan ini me­nge­­lompokkan mereka ke dalam aliran pemikiran transformasi so­si­al yang memperluas ca­kupan dan perhatian perjuangan politik Islam.

Dengan pemahaman ilmiah dan kepedulian tak kenal lelah terhadap Al-Ma’un, Mu­­hammadiyah dapat terus menjadi pemimpin di dalam segala upaya menyejahterakan ma­­syarakat, serta menjadi mitra kritis pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan itu. Hal ini bukan saja menunjukkan pentingnya analisis yang jernih terhadap suatu persoalan da­ri beragam arah, namun juga sebagai upaya dakwah berkemajuan di tengah masyarakat yang kian tersingkirkan oleh pembangunan, di saat sebagiannya yang lain menikmati pem­bang­­unan tersebut tanpa kepedulian terhadap sesamanya.

Jika keberpihakan pada Al-Ma’un ini terus berjalan, kita tak perlu lagi mengalami dua keadaan dilematik; ter­ta­rik pada tawaran (jika masih ada) kaum komunis sehingga menjadi aktivis atau simpatisan ge­rakan kiri, atau panik karena desas-desus keberadaan ka­­um komunis. Kita bisa belajar da­ri kasus Karawang di atas. Setelah berpamitan dengan Ke­tua U­mum PP Mu­ham­mad­i­yah, Pak Haedar Nasir dan Sekretaris umum PP Mu­ham­mad­iyah, Pak Abdul Mu’ti, salah se­­orang petani bernama Kang Maman ber­ka­ta kepada Bang Dah­nil (ketika itu masih ketua Pemuda Muhammadiyah), “Kalau kami sudah kem­bali dapat lahan, kami akan undang Bang Dahnil untuk me­res­mikan Ranting Mu­ham­mad­iyah Teluk Jambe yang akan kami dirikan ber­sa­ma dengan ta­nah wakaf untuk Masjid Muhammadiyah…” Sang Surya akan menyinari petani dari atas la­han mereka sendiri.

Wallahu a’lam.

Daftar Pustaka

Effendy, Bahtiar. 2009. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Filc, Dani dan Uri Ram. Marxism after Postmodernism: Rethinking the Emancipatory Political Subject, dalam Jurnal Current Sociology, 2014, Vol. 62 (3)

Lowy, Michael. Teologi Pembebasan. Terj. Roem Topatimasang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rasjidi, Mohammad. 1970. Islam Menentang Komunisme. Jakarta dan Semarang: Budaya dan Ramadhani.

Ismail Alam

Penumpang kereta api, Peneliti Institute of Rhoma Irama Studies  for Civilizations (IRISC)

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar