Santri Cendekia
Home » Fikih-oriented Bukan Sesuatu yang Buruk

Fikih-oriented Bukan Sesuatu yang Buruk

Ketika Rasulullah wafat di tahun 632 M, sumber material fikih (Qur’an dan Sunnah) tidak bisa diproduksi dan tidak akan pernah lagi mengalami penambahan kuantitas maupun kualitas. Ajaran yang terkandung dalam Quran dan Sunnah tersebut mencakup akidah, syari’ah, dan akhlak. Di dalam syari’ah ada satu perangkat undang-undang yang mengatur cara hidup manusia dan tata cara ibadah ritual kepada Allah, seperti salat, zakat, munakahat, jinayat dan lain-lain, yang perangkat tersebut dinamakan dengan fikih. Fikih, kata Muhammad Abu Zahrah, ialah: ”ialah suatu ilmu yang berhubungan dengan hukum syara, yang diamalkan yang diambil dari dalil-dalil yang tafsiliyah.

Dari sana kita dapat memahami dengan jelas bahwa fikih lahir dari penggalian atas dalil (isntinbath), bukan lahir dari fakta dan realitas yang ada. Karena itu tidak mengherankan bila masyarakat muslim terjebak dalam formulasi Fikih-oriented, yang seringkali menyandarkan kehidupan keagamaannya pada halal-haram, dosa-pahala, wajib, sunat, dan segala jenis hukum taklifi lainnya. Ukuran perbuatan dalam kehidupan dan segala sesuatu yang dzahir harus ditakar dengan standar kaidah hukum ini. Praktek ini telah berlangsung kurang lebih sejak 1000 tahun yang lalu, sedangkan kaidah-kaidah yang digunakan masih tetap baku dan tidak ada perubahan.

Saya tidak sepakat dengan Aba Du Wahid yang mengatakan bahwa muslim yang bersifat fiqih-oriented cenderung memiliki sikap untuk mematikan kreatifitas akalnya. Dengan alasan hanya mengutip dalil setelah itu selesai, minim penalaran dan argumentasi. Pun demikian dengan Abdullah Saeed dan para pemikir kontemporer lainnya yang rajin membuat benang paralel antara fikih dengan tradisionalisme, yang membawa kesan “kolot”, jumud, ketinggalan jaman. Sedang Muhammad Arkoun menyayangkan al-Quran yang sejak awal berbahasa oral berubah menjadi tulisan. Dampak dari adanya perubahan ini menurut Arkoun membuat cara berpikir umat Muslim didominasi oleh “nalar grafis” (tekstual).

Baca juga:  Syihabuddin al-Qalyubi: Ulama Fikih Ahli Astronomi, Medis, dan Sejarah

Dari keterangan di atas kemudian sebagian orang menyimpulkan terlalu Fikih-Oriented keberagamaan kita menjadi kaku, rigid, dan segala ungkapan yang menggambarkan kemandegan dan kemunduran. Bahkan lebih jauh Fikih dicurigai sebagai dalang utama penyebaran benih-benih radikalisme agama lantaran sifatnya yang sulit bergandengan dengan laju dinamika zaman. Di samping kecurigaan itu mengemuka, sayangnya mereka mengabaikan buku al-Tamhid li Tarikh al-Falsafah fi al-Islam karya Mustafa ‘Abd al­-Razzaq yang menjelaskan bahwa landasan kegemilangan peradaban Islam alurnya justru melalui fikih dan ushulnya, sebagaimana kegemilangan Barat yang berawal dari filsafat.

Fikih hadir untuk menjadi realitas. Menurut Hamid Fahmy, dalam Islam, realitas yang ada tidak mesti benar dan dapat dibenarkan. Gay dan lesbi secara realitas memang benar adanya, eksistensinya diakui, mereka memang ada, namun bukan berarti praktek perkawinan sesama jenis tersebut dapat dibenarkan (dihalalkan/dibolehkan). Hal tersebut sama dengan praktek korupsi. Secara realitas koruptor itu ada, tetapi bukan untuk (harus) menjadi ada. Di sinilah peran fikih menjadi “konstitusi” mutlak umat Islam agar terus menjaga diri kita untuk tidak digoyang oleh realitas yang cenderung menipu. Maka dari itu boleh jadi adagium “al-haqiqatu fi al-a’yan la fi al-‘addzan” menjadi kurang tepat.

Tak perlu takut dengan fikih, itu bukan sesuatu yang buruk. Apa yang dibayangkan sebagian orang ketika mendengar kata fikih adalah suatu aturan yang sedikit-sedikit membatasi dan menghukumi, meminta darah, dan membatasi rahmat-Nya. Orang yang berpendapat demikian boleh jadi contoh paling aktual manusia yang kurang piknik. Apa yang nampaknya penting dalam fenomena masyarakat kita yang terlalu fikih-oriented tersebut adalah bentuk kepatuhan mereka terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebab segala kaidah dan teori dalam fikih (beserta dengan ushul fikih), menurut al-Syatibi dalam al-Muwafaqat, selalu diarahkan dalam rangka menangkap maksud Tuhan sekaligus mencari jalan yang paling mashlahat untuk dunia dan akhirat.

Baca juga:  Festival Kehidupan

Mendalami fikih tidak akan membuat orang menjadi kaku dan rigid, melainkan sebaliknya, ia akan terbiasa dengan keragaman pandangan. Di dalam praktiknya, banyak sekali jenis pendapat yang telah dirumuskan oleh para ahli fikih tentang suatu masalah, dan karena itu, praktik dan pandangan kaum Muslim terhadap suatu masalah bisa berbeda-beda. Pasalnya, proses perumusan fikih Islam menggunakan metode tertentu yang berakar dari ijtihad. Bila ada keragaman pandangan dari para ahli fikih (fuqaha) tentang suatu persoalan, maka semuanya dianggap valid (intra-religious pluralism). Akan tetapi bila ada satu aliran dalam fikih yang menganggap kebenaran hanya ada pada diri atau kelompoknya, maka berlawanan dengan adab para fuqaha generasi awal.

Selain itu, fikih merupakan jalan satu-satunya untuk mewujudkan Islam yang shalih likulli zaman wa makan. Sebagaimana yang telah disinggung oleh Ibnu Rusyd, al-Qur’an dan Hadist itu terbatas (mutanahiyat), sementara realitas-realitas yang terjadi di alam raya ini sifatnya tidak terbatas (ghair mutanahiyat), maka perlu melakukan pembaharuan yang sesuai dengan denyut ruang dan waktu yang jalan pelaksanaannya dapat ditempuh melalui fikih. Tentang zakat makanan pokok, misalnya, secara teks Nabi menyuruh untuk membayar zakat kurma (tidak menyebut makanan pokok secara spesifik), tetapi melalui penalaran “fikih-oriented”, zakat kurma dapat diganti dengan bahan pokok yang sesuai dengan konteks ruang.

Oleh sebab itu, fikih merupakan elan vital yang paling dibutuhkan masyarakat Islam yang tidak ingin keluar dari jalur Quran dan Sunah. Ini dibuktikan oleh Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafiyah yang sejak muda merupakan debator ulung dalam persoalan kalam kemudian beralih mengabdikan dirinya mendalami fikih untuk kebutuhan umat. Kepindahan Abu Hanifah dari ilmu kalam kemudian fokus di bidang fikih bukan semata-mata karena kalah dalam sebuah perdebatan kalam, tetapi karena ia tidak mampu menjawab satu pertanyaan fikih dari seorang perempuan. Karena tidak mampu menjawab, Abu Hanifah menyarankan perempuan itu untuk mengkonsultasikan persoalannya ke Hammad bin Sulaiman (yang kemudian menjadi mentornya), dan menyuruh perempuan tersebut untuk memberitahukan jawaban Hammad itu kepada dirinya. Setelah kejadian tersebut, Abu Hanifah memutuskan untuk fokus di bidang fikih, sebab dirinya tahu betul bahwa fikih merupakan elan vital yang paling dibutuhkan masyarakat.

Baca juga:  Tanggapan untuk Artikel IBTimes: Perempuan Jadi Imam Shalat Tarawih, Bagaimana Hukumnya?

Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Syafi’i yang disebut-sebut para sarjana sebagai peletak utama dasar metodologi pemahaman hukum dalam Islam (the founder of Islamic legal theory), sebab teori dan metodenya itu tidak saja diikuti dengan setia oleh mazhab Syafi’i sendiri, tapi oleh semua mazhab yang lain, bahkan dihargai dengan penuh oleh dunia kesarjanaan Islam. Sebagai seorang jurist yang kreatif, kita mengenal Imam Syafi’i memiliki fatwa yang ia namakan sendiri dengan al-Qaul al-Qadim (ketika menetap di Baghdad) dengan al-Qaul al-Jadid (ketika menetap di Mesir). Dua fatwa hukum itu muncul karena dua latar belakang konteks yang berbeda, yaitu Baghdad dan Mesir. Dari pengalaman Imam Syafi’i kita jadi tahu bahwa fikih memiliki sifat yang dinamis karena konteks yang berbeda.

Fikih merupakan produk paling otentik dalam Islam, tidak seperti filsafat dan kalam yang dalam beberapa aspek terpengaruh Yunani, atau tasawuf yang juga dalam beberapa aspek terpengaruh aliran-aliran mistisisme di luar Islam, fikih lahir secara eksklusif dari penggalian atas Quran dan Hadis, maka tidak dapat disalahkan bagi umat Islam yang cenderung berpikir—dalam istilah Dawam Rahardjo—legalistik-formalistik. Fikih merupakan temuan yang paling membanggakan dalam sejarah peradaban Islam.

Wallahu a’lam.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar