Santri Cendekia
Home » Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)

Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)

Catatan: Artikel ini merupakan tulisan berseri mengenai fikih praktis tentang thaharah dan shalat bagi tenaga kesehatan di tengah wabah Covid-19. Berikut tiga seri tulisan ini:

Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)
Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)
Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)

***

Di antara hal yang mungkin dihadapi para pejuang (atau pantas pula kita sebagai mujahidin) tenaga kesehatan yang mengurus pasien Covid-19 adalah keharusan mereka mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) selama bertugas.

Lama mereka bertugas bisa mencapai 8 jam berturut-turut atau mungkin lebih. Seringkali masa bertugas itu melintasi satu atau lebih waktu salat.

Problemnya ialah jika kondisi sedang berhadats, maka mereka tidak bisa melakukan tayamum apalagi wudhu.

Sementara bagi seorang muslim, mengerjakan salat lima waktu yang merupakan rukun Islam adalah prioritas hidupnya sebab ia diciptakan untuk beribadah.

Apakah yang sebaiknya ia lakukan dengan memperhatikan kondisi-kondisi tersebut?

PERTAMA: Selalulah berwudhu sebelum mengenakan APD, sehingga jika waktu salat tiba dan ada keleluasaan waktu untuk mengerjakan salat, maka bisa mengerjakan semua salat pada waktunya. Untuk tempat, maka dapat salat di manapun yang memungkinkan selama tidak ada najis, termasuk di ruang penanganan misalnya.

KEDUA: Jika memang wudhu tersebut batal saat sudah mengenakan APD dan di masa bertugas, lalu ada keleluasaan waktu untuk mengerjakan salat, hanya saja tidak memungkinkan wudhu maupun tayamum, maka disiasati sebagaimana beberapa skenario, ada yang dijamak, ada yang tidak.

Dengan asumsi durasi pemakaian APD 8 jam berturut-turut, lalu waktu Subuh adalah 04.30-06.00, waktu Zuhur adalah 12.00-15.00, waktu Asar adalah 15.00-18.00, waktu Magrib adalah 18.00-19.30, dan waktu Isya adalah 19.30-04.30, maka skenarionya dibayangkan seperti berikut:

  1. Jika seorang tenaga kesehatan mulai mengenakan APD sejak pukul 06.00 hingga pukul 14.00, maka haruslah ia berwudhu dan salat di akhir waktu Zuhur tersebut. Tidak boleh ditunda hingga melewati pukul 15.00. Benar bahwa mengerjakan salat di akhir waktu pada dasarnya kurang afdal. Tapi Allah Maha Pemurah, menjadikan waktu pengerjaan salat dalam suatu lingkup waktu yang seseorang tidak berdosa mengerjakan salat di bagian manapun dalam lingkup waktu tersebut. Dalam kondisi seperti ini justru lebih utama mengakhirkan salat daripada meninggalkan penanganan pasien.
  2. Jika mulai mengenakan APD sejak pukul 09.00 lalu baru bisa melepas APD pada pukul 17.00, maka ia menjamak ta’khir Zuhur dan Asar, yakni salat Zuhur dan Asar di waktu Asar setelah melepas APD dan berwudhu.
  3. Demikian juga jika ia mulai mengenakan APD sejak pukul 17.00 sampai pukul 01.00 malam. Maka ia menjamak ta’khir Magrib dan Isya, yakni salat Magrib dan Isya di waktu Isya setelah melepas APD dan berwudhu.
  4. Jika mulai mengenakan APD sejak pukul 13.00 lalu baru bisa melepas APD pukul 21.00, maka ia menjamak taqdim Zuhur dan Asar di waktu Zuhur sebelum mulai mengenakan APD, lalu nanti menjamak ta’khir Magrib dan Isya setelah menanggalkan APD.
  5. Jika mulai mengenakan APD pukul 19.00 dan melepasnya pukul 03.00 dini hari, maka sangat ditekankan ia jamak taqdim Magrib dan Isya di waktu Magrib sebelum mengenakan APD. Seandainya ia memilih salat Magrib sebelum mengenakan APD dan salat Isya setelah melepas APD sebelum masuk waktu Subuh, juga dipersilakan.
  6. Jika mulai mengenakan APD pukul 03.00 dini hari dan baru boleh melepas pukul 11.00 siang, sementara dalam kondisi begini tayamum saja tidak bisa apalagi wudhu, maka wacana tarjih yang penulis tawarkan adalah tanpa wudhu dan tanpa tayamum ia tetap salat Subuh pada waktunya (umpamanya dalam contoh kita ini antara 04.30-06.00) dengan sangat minimalis. Hanya membaca Alfatihah (tanpa surat apalagi doa iftitah dan ta’awudz), setiap tasbih hanya sekali saja, iktidal hanya Rabbana lakal hamdu, dan tasyahhud hanya sampai shalawat Ibrahimiyyah (tanpa doa), lalu salam dua kali sampai warahmatullah. Tentu mempertimbangkan kondisi, maka sebaiknya salat sendiri-sendiri secara bergiliran dan bergantian. Nanti seusai melepaskan APD, tidak perlu mengulang salat.
  7. Begitu pula jika ia mulai mengenakan APD pukul 11.00 hingga pukul 19.00, maka ia mengerjakan salat Zuhur dan Asar tanpa wudhu dan tayamum secara minimalis dengan tetap tasyahhud awal. Untuk pengerjaannya, maka diutamakan pada waktunya masing-masing jika memungkinkan. Jika tidak mudah, maka diutamakan jamak taqdim. Jika tak mudah pula, maka jamak ta’khir.

 

Baca juga:  Doa dan Tata Cara Qunut Nazilah dalam Kondisi Darurat Covid-19

KETIGA: Jika sepanjang waktu salat itu benar-benar tersibukkan dengan melayani pasien, tidak ada waktu mengerjakan salat meski secara minimalis, maka diizinkan mengerjakannya setelah selesai kesibukan tersebut.

Itu karena kesibukan di sini terkait penyelamatan nyawa orang lain yang memang amat sangat mendesak. Bahkan salat di sini tetap dapat ditunda sampai keluar waktunya meskipun ia dalam kondisi belum batal wudhu sejak mengenakan APD.

Aturan jamak dan salat pada waktunya seperti di atas semuanya ‘dikalahkan’ kondisi darurat seperti ini. Diprioritaskan penanganan pasien.

Demikian tiga kasus tenaga kesehatan yang mengenakan APD selama bertugas.

Penting diingat juga bahwa kesemua salat yang dijamak (dikumpulkan) tadi tidak diqashar (diringkas). Artinya salat yang empat rakaat tidak menjadi dua rakaat. Ingat bahwa qashar hanya berlaku saat safar (bepergian jauh).

Berbeda dengan jamak yang juga berlaku di selain safar, tetapi juga saat kondisi amat sulit [1].

Ingat juga bahwa seluruh ulama bersepakat atas tidak bolehnya menjamak antara salat Asar dan Magrib ataupun Isya dan Subuh (lebih-lebih berarti antara Subuh dan Zuhur) [2].

Kesemua skenario di atas relatif tidak ada perbedaan pandangan di kalangan ulama. Perbedaan pandangan yang cukup serius terjadi pada skenario (6) dan (7) saja.

Dalam kedua skenario ini memang tenaga kesehatan salat tanpa wudhu maupun tayamum. Ia tidak bisa wudhu karena memang seluruh tubuh tertutup APD yang tidak boleh dibuka. Begitu pula tidak bisa tayamum karena debu saat bertayamum juga harus diusapkan ke wajah dan tangan tanpa penghalang [3].

Dalam hal ini ia masuk dalam kategori yang diistilahkan para ulama: Faaqiduth Thahuurain (orang yang tidak bisa menggunakan air dan debu).

Baca juga:  Alokasi Zakat untuk Jihad Medis Melawan Covid-19

Pendapat yang paling serasi dengan manhaj, putusan, dan fatwa Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah selama ini adalah bahwa ia tetap wajib salat dalam kondisi tersebut tanpa bersuci dan tidak perlu mengulang salat lagi.

Ini merupakan juga pendapat sebagian Malikiyyah [4] & sebagian Syafi’iyyah [5] dan pendapat lama Al-Imam Asy-Syafi’i [6] yang dirajihkan secara pribadi oleh Al-Imam An-Nawawi [7], pendapat Al-Imam Al-Bukhari [8], dan pendapat resmi Madzhab Hanbali [9].

Demikian jika ada keleluasaan mengerjakan salat dan satu-satunya penghalang hanya ketidakmampuan bersuci.

Adapun jika memang sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengerjakan salat, sebagaimana kasus ketiga, maka ini dianalogikan kepada orang yang sedang menyelematkan orang kebakaran (inqadzul hariq) atau tenggelam (inqadzul ghariq), atau evakuasi korban bencana dan kecelakaan apapun [10].

Juga dapat dianalogikan sacara qiyas awlawi ke terlupa dan tertidur. Dalam salah satu putusannya tentang Fikih Kebencanaan, Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah menyatakan: “Permasalahan kehilangan waktu salat karena situasi evakuasi dapat diqiyaskan dengan orang yang ketiduran dan lupa.” [11].

Karenanya ia boleh salat nanti saja setelah tuntas. Agar tidak memperpanjang artikel ini, rincian dalil mengenai kedua hukum ini, akan dibahas di artikel terpisah, insya Allah.

Sebagai penutup, penulis sangat mengapresiasi kesadaran ini, walaupun sebenarnya sebuah kewajiban dasar, tenaga-tenaga kesehatan kita yang begitu peduli tentang salat di tengah perjuangan mereka melakukan “jihad” menyelamatkan umat manusia.

Demikianlah adanya, semakin murni ibadah dan ilmu seseorang, semakin peduli ia kepada kemanusiaan. Semoga Allah memberikan kemudahan, kekuatan, dan pahala besar kepada mereka.

Wallahu A’lam.

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona
  7. Tanya Jawab soal Corona, Azab, dan Masjid (1)
  8. Tanya Jawab soal Masjid dan Corona (2)
  9. Surat Terbuka bagi Mereka yang Bilang jangan Takut Corona Takutlah kepada Allah

  10. Hukum ‘Shaf Distancing’ demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

  11. Syahidkah orang yang Meninggal Karena Virus Corona? 

  12. Hukum Salat Jamaah via Video Call atau Sejenisnya

Baca juga:  Corona dan Darurat Budaya

 

Catatan Kaki:

[1] Lihat: Majelis Tarjih & Tajdid, Himpunan Putusan Tarjih (III/674). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.

[2] Lihat:  Ibnu Qudamah, Al-Mughni (II/201). Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1968.

[3] Majelis Tarjih & Tajdid, Tanya Jawab Agama (VI/7). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015.

[4] Lihat: Al-Haththab, Mawahibul Jalil (I/360). Beirut: Darul Fikr, 1992.

[5] Lihat: Al-‘Imrani, Al-Bayan (I/304). Jeddah: Darul Minhaj, 2000.

[6] Lihat: An-Nawawi, Al-Majmu’ (II/223). Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 2003.

[7] Lihat: An-Nawawi, Al-Majmu’ (II/260).

[8] Lihat: Al-Bukhari, Ash-Shahih (I/74). Kairo: Dar Thauq An-Najah, 1422 H.

[9] Lihat: Al-Mardawi, Al-Inshaf (II/211). Kairo: Dar Hajar, 1995.

[10] Lihat: ‘Izzuddin, Qawa’idul Ahkam (I/66). Kairo: Maktabah Al-Kulliyyat Al-Azhariyyah, 1991.

[11] Majelis Tarjih & Tajdid, Himpunan Putusan Tarjih (III/675).

 

Nur Fajri Romadhon

Ketua Majelis Tarjih PCIM Arab Saudi, Anggota Divisi Fatwa MUI Jakarta, dan Mahasiswa Pascasarjana King Abdulaziz University

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar