Santri Cendekia
Home » Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)

Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)

Catatan: Artikel ini merupakan tulisan berseri mengenai fikih praktis tentang thaharah dan shalat bagi tenaga kesehatan di tengah wabah Covid-19. Berikut tiga seri tulisan ini:

Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)
Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)
Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)

***

Di tulisan pertama dari trilogi artikel ini, telah diterangkan gambaran umum solusi hukum fikih bagi tenaga kesehatan yang harus mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) saat bertugas.

Di antaranya diterangkan bahwa dalam kasus ini, jika tidak sedang tersibukkan mengurus pasien namun juga tidak memungkinkan jamak, maka pendapat yang lebih kuat ialah bahwa ia wajib salat sesuai waktunya dan tidak perlu mengulang lagi ketika nantinya sudah melepas APD.

Kini di sekuel dari artikel tersebut, akan dipaparkan dalil dari pernyataan hukum fikih ini.

Perlu diketahui bahwa orang yang mengalami problematika tak bisa berwudhu maupun bertayamum ini diberi istilah oleh para ulama sebagai “Faaqiduth Thahuurain” (orang yang tidak bisa berwudhu maupun bertayamum).

Contoh yang terkini mungkin tenaga kesehatan yang harus terus memakai alat pelindung diri (APD). Contoh lainnya ialah orang yang diikat atau digantung sehingga tidak bisa berwudhu ataupun bertayamum. Contoh lainnya adalah orang yang terjebak di suatu tempat yang tidak ada air ataupun debu sama sekali [1].

Pendapat ini memiliki banyak dalil. Di antara dalil terkuat pendapat ini adalah sebagai berikut.

Dalil Pertama:

Para Shahabat tatkala mereka pulang dari safar, mereka memasuki waktu Subuh dalam kondisi tidak memiliki dan tidak menemukan air sama sekali. Aisyah menuturkan:

فَأَدْرَكَتْهُمُ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَصَلَّوْا فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ

“Maka tibalah waktu salat sementara para Shahabat tidak memiliki air. Lantas mereka salat (tanpa berwudhu). Lantas setelah itu mereka mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allah pun menurunkan ayat Tayamum.” (HR. Al-Bukhari no. 336) [2]

Di sini para Shahabat langsung salat ketika tidak bisa berwudhu. Rasulullah diam dan tidak mengingkari mereka [3]. Hal ini dipertegas oleh riwayat lain:

فَأَدْرَكَتْهُمُ الصَّلَاةُ، فَصَلَّوْا بِغَيْرِ وُضُوءٍ، فَلَمَّا أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَكَوْا ذَلِكَ إِلَيْهِ، فَنَزَلَتْ آيَةُ التَّيَمُّمِ

“Maka tibalah waktu salat sementara para Shahabat tidak memiliki air. Lantas mereka salat tanpa berwudhu. Lantas tatkala setelah itu mereka mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah pun menurunkan ayat Tayamum.” (HR. Muslim no. 367). [4]

Al-Imam An-Nawawi mengatakan saat menjelaskan hadis ini:

لَمْ يُنْقَلْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيْجَابُ إِعَادَةِ مِثْلِ هَذِهِ الصَّلَاةِ. وَالْمُخْتَارُ أَنَّ الْقَضَاءَ إِنَّمَا يَجِبُ بِأَمْرٍ جَدِيْدٍ. وَلَمْ يَثْبُتِ الْأَمْرُ، فَلَا يَجِبُ.

“Tidak ada riwayat bahwa (setelah itu) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan untuk mengulang salat ini dan semisalnya. Sedangkan pendapat yang terpilih ialah bahwa mengqadha suatu ibadah barulah wajib jika ada perintah. Di sini tidak ada perintah mengqadha sehingga tidak wajib.” [5]

Salatnya mereka saat itu tanpa wudhu ketika tidak bisa berwudhu adalah sama seperti salatnya orang zaman ini tanpa wudhu dan tanpa tayamum ketika tidak bisa berwudhu ataupun bertayamum. Itu karena bersuci bagi para Shahabat saat itu hanya wudhu. Ketika tidak bisa, maka langsung salat semampunya saja, yaitu tanpa wudhu. Sementara kita yang sudah punya syariat tayamum, maka ketika tidak bisa wudhu dan tidak bisa tayamum, kita pun melakukan sama seperti mereka, tetap salat semampunya meski tanpa wudhu ataupun tayamum [6].

Baca juga:  Refleksi Nasib Da'i di Masa Pandemi

Dalil Kedua:

Bersuci dari hadats (wudhu & tayamum) adalah satu dari sekian syarat sah salat sebagaimana menutup aurat dan membersihkan tempat salat, pakaian, dan tubuh dari najis.

Sementara itu para ulama sepakat bahwa orang yang tidak bisa memperoleh pakaian sama sekali, tetap wajib salat meski auratnya tidak tertutup. Begitu pula mereka sepakat bahwa orang yang tidak kunjung mampu menghilangkan najis dari tubuhnya, maka ia tetap wajib salat pada waktunya meski kondisi demikian.

Demikian pula mereka sepakat bahwa orang yang tidak mampu menghadap kiblat saat salat, tetap wajib salat dalam kondisi demikian [7].

Jika ketiga syarat sah lainnya (yaitu menutup aurat, kesucian dari najis, dan menghadap kiblat) saat tidak bisa diwujudkan, salat tetap wajib dikerjakan tepat pada waktunya, maka begitu pula syarat yang satu ini, yakni bersuci dari hadats.

Jika ada yang bertanya, “Mengapa tidak menunda salat saja meskipun sampai keluar waktu asalkan nanti bisa berwudhu/tayamum? Bukankah Rasulullah Saw bersabda: ‘Tidak sah salat tanpa bersuci.’[HR. Muslim no. 224) [8]?”

Maka jawabnya ialah bahwa di sini kita harus memilih satu dari dua hal yang harus diprioritaskan:

  1. Salat dengan bersuci meskipun sampai keluar waktu salat.
  2. Atau salat tepat waktunya meskipun tidak bersuci.

Kalau kita lakukan pengamatan secara induktif (istiqra’), maka kita akan dapati bahwa hal yang paling diperhatikan dalam salat itu adalah soal waktu.

Salat tepat waktu (yakni tidak keluar waktu) lebih diprioritaskan daripada salat dengan bersuci.

Tidak meleset karenanya jika dikatakan bahwa salah satu maqashid terpenting salat adalah melatih kedisiplinan waktu.

Berikut beberapa bukti:

  1. Allah mensyariatkan tayamum jika seseorang tidak bisa berwudhu. Jika memang yang paling penting dari salat itu adalah dalam kondisi suci, barangkali tidak perlu ada pensyariatan tayamum. Setiap kali seseorang tidak bisa berwudhu, ya sudah nanti saja salatnya kalau sudah bisa berwudhu meskipun sudah keluar waktu salatnya. Nyatanya tidak begitu.
  2. Para ulama sepakat bahwa seseorang yang kesulitan menghilangkan najis pada dirinya hingga waktu salat hampir habis, maka ia tetap wajib salat tepat waktu dalam kondisi demikian [9]. Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah memutuskan: “…dalam kondisi bencana, di mana tidak memungkinkan untuk berganti pakaian yang bersih, hal tersebut dapat dimaklumi dan salat seseorang menjadi sah.” [10]
  3. Para ulama sepakat bahwa seseorang yang tidak memiliki pakaian untuk menutup aurat hingga waktu salat hampir habis, maka dia tetap wajib salat tepat waktu dalam kondisi demikian [11]. Pada salah satu putusannya, Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah mengatakan: “… kondisi bencana sebenarnya dapat digolongkan ke dalam situasi darurat … dengan demikian, hukum salat tetap wajib dilaksanakan walaupun aurat tidak bisa tertutup secara sempurna.” [12]
  4. Para ulama sepakat bahwa orang yang lumpuh atau diikat sehingga tidak bisa berwudhu ataupun bertayamum, juga tidak ada yang bisa mewudhukan atau mentayamumkan mereka, maka ia tetap wajib salat tepat waktu dalam kondisi begitu. Bahkan juga saat tidak bisa menghadap kiblat di kondisi begitu [13].
  5. Saat perang, tetap disyariatkan salat Khauf tepat waktu. Tidak disuruh menunda sampai nanti sempat. Berarti waktu amat diprioritaskan di sini.
Baca juga:  Hadist Mutawwatir dan Berbahayanya Covid-19

Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa waktulah elemen terpenting salat. Karena Allah subhanahu wata’ala berfirman,

((… إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا))

“… Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa: 103).

 

Adapun hadis tadi, maka itu umum yang telah dikhususkan oleh ijmak (kesepakatan ulama) pada contoh 1 dan 4 tadi sehingga keumumannya melemah. Apalagi ia juga dikhususkan dengan sabda Rasulullah Saw bersabda:

فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ

“Kapan pun dan di mana pun salah seorang dari umatku memasuki waktu salat, maka salatlah (meski tidak di masjid, meski tidak berwudhu)” (HR. Al-Bukhari no. 335).[14]

 

Jika kemudian ada yang bertanya, “Mengapa tidak diulang lagi salatnya begitu sudah bisa berwudhu/tayamum? Bukankah salat tadi yang tanpa wudhu dan tanpa tayamum itu kurang sempurna? Bukankah itu lebih hati-hati?”

Maka jawabnya ialah sebagaimana bahwa orang tadi sudah menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Memerintahkan ia untuk mengerjakan salat lagi butuh dalil, sementara tidak ada dalil [15].

Justru yang ada adalah para Shahabat tidak disuruh mengulang salat oleh Nabi Saw sebagaimana di atas.

Lagipula kalau memang setiap seseorang mengerjakan suatu kewajiban semampunya secara tidak sesempurna biasanya lalu harus diulang, maka akan banyak sekali ibadah yang harus diulang setelah dikerjakan semampunya karena uzur.

Rasulullah tidak membedakan antara uzur yang sering terjadi maupun uzur yang jarang terjadi. Rasulullah hanya bersabda:

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian” (HR. Al-Bukhari no. 7288). [16]

Terlebih lagi mewajibkan untuk mengulang salat tanpa adanya dalil naqli amatlah memberatkan.

Sementara di ayat bersuci sendiri (QS. Al-Maidah: 6) Allah tegaskan bahwa Dia tidaklah menghendaki kesukaran atas umat Islam.

Adapun alasan kehati-hatian, maka kehati-hatian yang dianggap dalam Islam adalah kehati-hatian yang tidak sampai menyusahkan.

Selain itu kehati-hatian dalam ibadah adalah tidak mengharuskan melakukan suatu ibadah, termasuk mengulang salat, kecuali dengan dalil [17].

Adapun memberikan beban tambahan dalam ibadah tanpa dalil khusus dengan alasan berhati-hati, maka kurang tepat.

Para ulama yang mewajibkan mengulang salat lagi ini pun sendirinya tidak mewajibkan orang yang sudah tayamum lalu menemukan air sebelum waktu salat berakhir [18].

Dengan begitu, simpulannya ialah bahwa seseorang yang sepanjang waktu salat tidak kunjung bisa berwudhu maupun bertayamum, maka dia wajib salat sebelum habis waktu dan ia tidak perlu mengulang salat tersebut.

Inilah pendapat yang menurut keterbatasan penulis paling serasi dengan manhaj, putusan, dan fatwa Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah. Penulis tawarkan hal ini sebagai wacana tarjih karena setahu penulis belum ada putusan maupun fatwa terkait.

Di antara bukti keserasiannya ialah:

  1. Pendapat ini, dengan tetap mengandung ketegasan dan penjagaan terhadap syariat, memberikan kemudahan. Sedangkan Pokok Manhaj Tarjih poin kedua belas yang berbunyi: “Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip “al-taysir” [19].
  2. Pendapat ini didasari salah satunya atas prinsip bahwa mengerjakan salat di luar waktunya membutuhkan dalil khusus. Ini sesuai dengan putusan Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah terkait Fikih Kebencanaan yang menegaskan: “Pada dasarnya tidak ada dalil yang kuat untuk mengqada salat.” [20]
  3. Juga sesuai dengan fatwa Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah yang menyatakan: “Pada prinsipnya tidak ditemukan dasar yang kuat tentang mengqadha shalat (terutama shalat fardhu).” [21]
Baca juga:  Awal Syakban 1441 H di Tengah Pandemi Corona

Ini pun merupakan pendapat sebagian Malikiyyah [22] & sebagian Syafi’iyyah [23] dan pendapat lama Al-Imam Asy-Syafi’i [24], pendapat Al-Imam Al-Bukhari [25], dan pendapat resmi Madzhab Hanbali [26].

 

Al-Imam An-Nawawi mengatakan tentang pendapat ini:

وَهُوَ أَقْوَى الْأَقْوَالْ دَلِيْلًا

“Inilah pendapat yang dalilnya paling kuat.” [27]

Perhatikanlah betapa Al-Imam An-Nawawi yang kita semua tahu kedudukan beliau dalam Mazhab Syafi’i, dalam hal ini pun secara pribadi memilih tidak mengikuti pendapat resmi Mazhab Syafi’i yang mewajibkan mengulang salat lagi serta lebih memandang kuat namun justru memilih pendapat yang dipaparkan tadi.

Wallahu A’lam.

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona
  7. Tanya Jawab soal Corona, Azab, dan Masjid (1)
  8. Tanya Jawab soal Masjid dan Corona (2)
  9. Surat Terbuka bagi Mereka yang Bilang jangan Takut Corona Takutlah kepada Allah

  10. Hukum ‘Shaf Distancing’ demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

  11. Syahidkah orang yang Meninggal Karena Virus Corona? 

  12. Hukum Salat Jamaah via Video Call atau Sejenisnya

 

Catatan Kaki:

[1] Lihat: Ibnu Hazm, Al-Muhalla (I/362-363). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2010.

[2] Al-Bukhari, Ash-Shahih (I/74). Kairo: Dar Thauq An-Najah, 1422 H

[3] Lihat: Asy-Syaukani, Nailul Authar (I/127). Riyadh: Dar Isybiliya, 1998.

[4] Muslim, Ash-Shahih (hlm. 173). Riyadh: Dar Thaybah, 2006.

[5] An-Nawawi, Minhajul Muhadditsin (IV/60). Beirut: Dar Ihya Turats ‘Arabi, 1392 H.

[6] Lihat: Al-’Asqalani, Fathul Bari (I/440). Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H.

[7] Lihat: Al-‘Imrani, Al-Bayan (I/304). Jeddah: Darul Minhaj, 2000.

[8] Muslim, Ash-Shahih (hlm. 121).

[9] Lihat: An-Nawawi, Al-Majmu’ (II/259). Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 2003.

[10] Majelis Tarjih & Tajdid, Himpunan Putusan Tarjih (III/673). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.

[11] Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni (I/184). Kairo: Maktabatul Qahirah, 1968.

[12] Majelis Tarjih & Tajdid, Himpunan Putusan Tarjih (III/673).

[13] Lihat: An-Nawawi (Al-Majmu’ (II/259).

[14] Al-Bukhari, Ash-Shahih (I/74).

[15] Lihat: An-Nawawi, Al-Majmu’ (II/260).

[16] Al-Bukhari, Ash-Shahih (IX/94-95).

[17] Lihat: Al-‘Asqalani, Fathul Bari (III/54).

[18] Lihat: Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj (I/161-162). Beirut: Darul Ma’rifah, 1997.

[19] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (hlm. 13). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

[20] Majelis Tarjih & Tajdid, Himpunan Putusan Tarjih (III/675).

[21] Fatwa Majelis Tarjih & Tajdid no. 27 tahun 2003.

[22] Lihat: Al-Haththab, Mawahibul Jalil (I/360). Beirut: Darul Fikr, 1992.

[23] Lihat: Al-‘Imrani, Al-Bayan (I/304).

[24] Lihat: An-Nawawi, Al-Majmu’ (II/223).

[25] Lihat: Al-Bukhari, Ash-Shahih (I/74).

[26] Lihat: Al-Mardawi, Al-Inshaf (II/211). Kairo: Dar Hajar, 1995.

[27] An-Nawawi, Minhajul Muhadditsin (IV/60).

 

 

Nur Fajri Romadhon

Ketua Majelis Tarjih PCIM Arab Saudi, Anggota Divisi Fatwa MUI Jakarta, dan Mahasiswa Pascasarjana King Abdulaziz University

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar