Santri Cendekia
Home » Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)

Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)

Catatan: Artikel ini merupakan tulisan berseri mengenai fikih praktis tentang thaharah dan shalat bagi tenaga kesehatan di tengah wabah Covid-19. Berikut tiga seri tulisan ini:

Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)
Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)
Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)

***

Telah diterangkan di tulisan pertama dan kedua terkait kemungkinan-kemungkinan dan solusi hukum fikih bagi tenaga kesehatan (tenaga kesehatan) saat harus mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) terkait bersuci dan salatnya.

Tulisan ketiga ini akan menyoroti landasan hukum dari bahwasanya tenaga kesehatan yang begitu tersibukkan oleh pasiennya, namun tidak bisa menjamak salat, maka ia boleh menunda salatnya hingga selesai dari kesibukannya itu meskipun sudah keluar waktu.

Tentu di sini sebenarnya tidak benar-benar berhubungan dengan apakah sang tenaga kesehatan mengenakan APD atau tidak sebab ini tidak mempengaruhi hukum.

Hanya saja karena tulisan pertama menyebutkan beberapa skenario, maka kita jadi terbawa arus pembahasan sehingga perlu menjelaskan latar belakang hukum di skenario ini.

Skenario yang juga berlaku bagi dokter atau perawat lainnya, tidak harus yang mengurus Covid-19.

Tepat waktu termasuk di antara elemen terpenting salat. Salah satu maqashid (objectives) salat pun mendidik kedisiplinan waktu. Karena itu pada dasarnya haram dan dosa besar seseorang yang menunda salat hingga keluar dari waktunya tanpa uzur.

Begitu banyak keringanan-keringanan diberikan Islam terkait bersuci dan salat demi mempertahankan agar salat tetap dikerjakan pada lingkup waktu yang telah ditentukan. Itu tentu karena syariat mengatur secara balance dua aspek.

Aspek pertama ialah bahwa tujuan manusia diciptakan adalah beribadah, yang salat merupakan salah satu ibadah terpenting.

Aspek kedua adalah bahwa manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya perlu bekerja dan beraktivitas dan kadang ia diuji musibah sakit, harus pergi, dan semisalnya.

Karena itu datanglah aturan demi aturan yang bijaksana demi menjaga agar salat tetap harus dikerjakan namun dengan adanya toleransi pada unsur-unsur salat itu sendiri.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ * الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (QS. Al-Ma’un: 4-5).

 

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan dengan mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang menunda-nunda salat hingga keluar dari waktunya.” [1]

Menunda salat hingga keluar waktunya saja adalah dosa yang amat besar, apalagi sengaja meninggalkannya dan tidak mengerjakannya [2]. Karena itulah mengerjakan salat setelah sudah habis waktunya yang diizinkan hanyalah pada empat kondisi.

  1. Terlupa
  2. Tertidur
  3. Jamak takhir
  4. Kesibukan yang amat sangat mendesak terkait sesuatu yang lebih wajib daripada salat.
Baca juga:  Mencari Keberagamaan yang Autentik

Fokus artikel ini hanyalah pada poin keempat. Para ulama memberikan contoh untuknya dengan menyelamatkan orang yang hampir tenggelam (inqadzul ghariq) atau terjebak kebakaran (inqadzul hariq).

Seseorang yang melihat ada anak kecil yang terjatuh ke sungai dan hampir terbawa arus, ia wajib segera menolong. Atau melihat ada orang terjebak dalam kobaran api, wajiblah ia segera menyelamatkan.

Andai saat menolong dan menyelamatkan ini waktu salat ternyata habis, maka ia dimaafkan dan tidak dianggap berdosa. Ia dapat segera melakukan salat setelah berhasil menyelamatkan nyawa yang terancam tersebut meski sudah keluar waktunya.

Karenanya, saat kondisi bencana atau evakuasi korban, Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah memutuskan bahwa salat dapat ditunda meski sampai keluar waktunya [3].

Di antara dalil atas hal ini ialah kisah Perang Khandaq di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Shahabat beliau baru mengerjakan Asar setelah matahari sudah terbenam. Artinya sudah habis waktu Asar. Rasulullah sampai berkomentar:

مَلَأَ اللَّهُ بُيُوتَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا، شَغَلُونَا عَنِ الصَّلاَةِ الوُسْطَى حَتَّى غَابَتِ الشَّمْسُ

Semoga Allah penuhi liang makam mereka dengan api. Mereka telah menyibukkan kita dari salat Wustha (Asar) sampai matahari terbenam (HR. Al-Bukhari no. 2931). [4]

Memang Perang Khandaq bukan perang yang langsung berkecamuk saling bertempur layaknya peperangan normal era itu. Para Shahabat mungkin saja ganti-gantian bergiliran salat dan menjaga parit.

Hanya saja sore itu serangan musuh teramat dahsyat sehingga tidak mampu dilakukan seperti itu. Kemudian, saat itu (tahun ke-5 Hijriah) tentunya sudah disyariatkan menjamak salat, hanya saja mereka tidak menduga kalau sore itu akan amat tersibukkan menghalau serangan musuh sehingga belum menjamak taqdim salat Asar di waktu Zuhur.

Dari kisah yang hanya sekali ini pun nampaknya mereka di keesokan harinya telah memperkirakan serangan dahsyat sehingga menjamak taqdim.

Hadis ini juga sekaligus menjadi dalil bahwa tidak boleh menjamak antara salat Asar dan Magrib. Kalau boleh, tentulah Nabi dan para Shahabat tidak sekesal itu pada waktu itu.

Terlebih para ulama telah menyepakati bahwa tidak boleh menjamak salat selain dari yang telah ada dalilnya, yaitu antara Zuhur-Asar dan Magrib-Isya. Adapun Asar-Magrib, Isya-Subuh, apalagi Subuh-Zuhur, maka tidak boleh [5].

Sebagian ulama memang memahami bahwa apa yang ada dalam kisah tadi sudah digantikan hukumnya dengan salat Khauf [6].

Salat Khauf punya beberapa model, di antaranya adalah tetap salat dengan isyarat, tanpa ruku’, sujud, menghadap kiblat bahkan sambil aktif berperang, berlari, atau berkuda [7].

Akan tetapi yang lebih tepat, apa yang terjadi dalam Perang Khandaq tadi pun tetap diizinkan bila memang salat demikian pun tak memungkinkan karena butuh konsentrasi tinggi [8].

Karenanya kita lihat bahwa para Shahabat saat berjihad di Persia pada masa pemerintahan Amirulmu’minin ‘Umar ibnul Khaththab pernah menunda salat Subuh hingga dikerjakan di waktu Dhuha tersebab kecamuk perang yang amat sangat [9].

Baca juga:  Ketika Natsir Mendebat Rasjidi

Kesibukan pada dua kasus di atas amat sangat mendesak karena terkait nyawa manusia. Tenaga kesehatan saat sedang sibuk menangani pasien Covid-19 tentulah masuk kategori ini.

Begitu pula semua dokter dan perawat yang sedang sibuk melakukan bedah, operasi, atau semisalnya. Mereka benar-benar sedang “berjihad” menyelamatkan jiwa manusia.

Menyelamatkan nyawa manusia dalam kondisi ini lebih wajib diprioritaskan bahkan atas pelaksanaan salat yang dalam kasus ini bisa ditunda [10].

Para tenaga kesehatan tidak bisa pula salat dalam hati dengan isyarat seperti salat Khauf jenis tadi karena konsentrasi mereka amat terkuras.

Situasi ini mirip dengan kondisi emergency saat evakuasi bencana yang mana Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah telah memutuskan bahwa salat saat itu dapat ditunda meski sampai keluar waktu sebagaimana telah berlalu tadi.

Jika ada yang bertanya, “Mengapa didahulukan menyelamatkan nyawa manusia daripada salat? Bukankah dalam dalam Islam menjaga agama lebih diprioritaskan daripada menjaga jiwa?”

Maka jawabnya adalah benar bahwa hifzhud din (penjagaan agama) lebih didahulukan daripada hifzhun nafs (penjagaan nyawa) dalam konsep dharuriyyat khams (lima hal primer) [11].

Akan tetapi din (agama) yang harus diprioritaskan di sana adalah yang masuk kategori  dharuriyyat, yaitu ashlud din (pokok agama) [12], yang jika ditinggalkan, maka akan langsung memasukkan seseorang ke neraka [13], bukan semua ibadah mahdhah.

Karena itulah para Shahabat yang diancam dibunuh, maka Rasul membolehkan mereka mengatakan kalimat kekafiran selama hatinya tetap beriman [14]. Juga dibolehkan mengonsumsi makanan haram ketika terancam mati kelaparan [15].

Itu karena kedua perbuatan ini meski memang sekilas membahayakan agama, tapi dibandingkan dengan dampak buruk hilangnya nyawa, dimaafkan untuk dilakukan.

Berbeda jika diancam mati untuk meyakini dalam hati suatu kekafiran, maka tidak boleh dituruti sama sekali  dengan meyakini dalam hati meskipun harus dibunuh. Karena ini darurat yang bisa disiasati dan sebab ia sungguh-sungguh menjerumuskan pada kebinasaan di akhirat.

Selain itu, nyawa orang yang terancam hilang itu harus diselamatkan meski dengan menunda salat hingga keluar waktunya sebab dalam prakteknya hak manusia didahulukan daripada hak Allah.

Bukan dalam rangka meremehkan hak Allah tetapi karena hak Allah dibangun di atas konsep pemaafan sementara hak sesama manusia dibangun di atas konsep saling tidak rela (Haqqullah mabniyyun ‘alal musaamahah wa haqqul aadamiyyi mabniyyun ‘alal musyaahhah) [16]. Allah Maha Pengampun sementara manusia tidak. Allah tidak dirugikan jika hak-Nya tak dipenuhi, sementara manusia merugi jika haknya tidak dipenuhi.

Lagi pula dalam penjagaan terhadap jiwa pada kasus-kasus ini sebenarnya juga mencakup penjagaan terhadap agama. Itu karena agama tidak bisa dijalankan jika nyawa melayang.

Baca juga:  Tiga Problem Agama di Masa Pandemi

Maka sebenarnya di sini yang sedang diprioritaskan adalah penjagaan agama dan nyawa atas penjagaan terhadap agama semata.

Karena itu kesibukannya di sini pun harus masuk ranah dharuriyyat. Bukan kesibukan aktivitas duniawi belaka yang tidak terkait langsung dengan keselamatan jiwa seseorang.

Oleh karenanya Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah pernah memfatwakan bahwa kesibukan duniawi yang tidak semendesak tadi bukanlah uzur untuk mengundur salat hingga keluar waktunya.

Dalam salah satu fatwanya, MTT menyatakan: “Sejauh pemantauan yang dilakukan oleh kita, tidak didapati dasar melakukan qadha dalam shalat wajib karena kesibukan, misalnya pak Tani karena sibuk di sawah, pedagang sibuk di pasar, atau seorang olahragawan.” [17]

Wallahu A’lam.

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona
  7. Tanya Jawab soal Corona, Azab, dan Masjid (1)
  8. Tanya Jawab soal Masjid dan Corona (2)
  9. Surat Terbuka bagi Mereka yang Bilang jangan Takut Corona Takutlah kepada Allah

  10. Hukum ‘Shaf Distancing’ demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

  11. Syahidkah orang yang Meninggal Karena Virus Corona? 

  12. Hukum Salat Jamaah via Video Call atau Sejenisnya

 

Catatan Kaki:

[1] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Quran (XX/211). Kairo: Darul Kutubil Mishriyyah, 1964.

[2] Lihat: Al-Haitami, Az-Zawajir (I/217-220). Beirut: Darul Fikr, 1987.

[3] Lihat: Majelis Tarjih & Tajdid, Himpunan Putusan Tarjih (III/675). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.

[3] Al-Bukhari, Ash-Shahih (IV/34-35). Kairo: Dar Thauq An-Najah, 1422 H.

[4] Lihat:  Ibnu Qudamah, Al-Mughni (II/201). Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1968.

[5] Lihat: Ibnu Daqiqil ‘Id, Ihkamul Ahkam (I/174). Kairo: Maktabah As-Sunnah Al-Muhammadiyah, 1953.

[6] Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Quran (III/223).

[7] Lihat: Ibnu Baz, Al-Ifham (hlm. 335-336). Riyadh: Muassasah Ar-Rajihi, 1435 H.

[8] Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah (X/60). Kairo: Dar Hajar, 1997.

[9] ‘Izzuddin, Qawa’idul Ahkam (I/66). Kairo: Maktabah Al-Kulliyyat Al-Azhariyyah, 1991.

[10] Lihat: Al-Mahalli, Al-Badr Ath-Thali’ (II/322). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2016.

[11] Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkam (IV/275). Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1402 H.

[12] Lihat: Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat (II/17). Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1997.

[13] Lihat: Al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil (V/45-46). Riyadh: Dar Thaybah, 1997.

[14] Lihat: Al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil (I/183).

[15] Lihat: As-Subki & Ibnus Subki, Al-Ibhaj (III/241). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1995.

[16] Majelis Tarjih & Tajdid, Tanya Jawab Agama (I/58). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015.

 

 

 

 

 

 

 

Nur Fajri Romadhon

Ketua Majelis Tarjih PCIM Arab Saudi, Anggota Divisi Fatwa MUI Jakarta, dan Mahasiswa Pascasarjana King Abdulaziz University

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar