Santri Cendekia
Abstract seamless geometric islamic wallpaper pattern for your design
Home » Filsafat Ilmu Islam ; Sebuah Penjelasan Sederhana

Filsafat Ilmu Islam ; Sebuah Penjelasan Sederhana

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Mukaddimah
Membahas sejarah filsafat tidak bisa dilakukan  tanpa membahas perkembangan filsafat dalam peradaban Islam. Hal ini jelas sebab kaum Musliminlah yang menyelamatkan warisan filsafat Yunani selain mengembangkan filsafat mereka sendiri ketika peradaban Barat jatuh dalam kubangan Abad Kegelapan. Sejarawan filsafat Islam, Majid Fakhry, menyebutkan bahwa momentum perkembangan filsafat Islam terjadi di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, yakni abad ke 3 Hijriyah.[1]Kemunculan itu ditandai dengan kiprah filsuf Arab pertama, al-Kindi pada tahun 866 M.[2]Pada tahun-tahun ini, di Eropa, justru sudah lupa pada warisan Yunani.
Sebagai penyelamat tradisi filsafat Yunani, para filsuf Islam kerap dianggap hanya “terjemahan” filsuf Yunani, tidak punya gagasan sendiri. Anggapan meremehkan ini misalnya dianut oleh Ernest Renan (1823 – 1892 M) dan Pierre Duhem (1861 – 1916 M).[3]  Anggapan  seperti ini membuat filsafat Islam dianggap tidak penting dan hanya dikaji dalam konteks sejarah filsafat saja. Kontennya tidak banyak dieksplorasi.  
Meski berkembang bersamaan dengan masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam, filsafat Islam memiliki keunikannya sendiri. Menurut  Oliver Leaman, pemikiran fiosofis tumbuh dalam tubuh umat Islam secara alami dalam usaha mereka memahami petunjuk al-Qur’an dan Sunnah, bukan buah dari penerjemahan teks-teks Yunani.[4] Lebih jauh lagi, Leaman menyatakan bahwa para filsuf Muslim berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan filsafat yang menjadi perdebatan di kalangan filsuf Yunani sendiri.[5]
Keunikan filsafat Islam juga bisa dilihat pada filsafat pengetahuan atau epistemologinya. Tulisan ini akan membahas secara singkat poin-poin penting filsafat ilmu dalam Islam.  Akan dipaparkan secara singkat jawaban-jawaban Islam atas pertanyaan epistemologis seperti hakikat ilmu, kemungkinan memperoleh ilmu, serta saluran-saluran ilmu dan cara mencapainya.
Pengertian Ilmu
Seperti banyak tradisi keilmuan lainnya, di dalam Islam pengertian selalu dimuali dengan melacak makna harfiyahnya. Kata yang mewakili konsep ilmu di dalam Islam adalah al-‘ilm. Kata inilah yang menjadi  “poros evolusi”  peradaban Islam, sebagaimana dikaui oleh pengamat Barat, Franz Rosenthal.[6]Jika ditarik ke bentuk asalnya, kata al-‘ilm berasal dari huruf ain lam mim, pembentuk kata ‘alamah yang berarti tanda atau petunjuk yang dengannya sesuatu bisa dikenali. Kata ini semakna dengan ayatun dalam al-Qur’an yang jika ditunjukan kepada alam raya berarti petunjuk untuk megnenal Allah.[7]  Olehnya, konsep ilmu dalam Islam sejak awal memang selalu terkait dengan inti ajarannya sendiri yakni mengenal Allah.
Pengertian terminologis  ilmu dalam Islam membentuk diskursus sendiri yang menarik untuk disimak.Untuk memahami diskusi tersebut, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dalam tradisi Islam, pengertian atau ta’rif dibagi menajdi dua. Pertama adalah pengertian yang defenitif atau disebut hadd yakni penjelasan terhadap sesuatu dengan cara memberinya batasan-batasan sehingga ia berbeda dari entitas lainnya. Kedua adalah pengertian yang bersifat rasm, atau deksriptif, dimana entiatas tersebut diuraikan cirinya sehingga bisa dipahami. 
Dalam mengartikan ilmu, mayoritas ulama menempuh jalan ta’rif rasm. Menjelaskan hakikat ilmu dengan deskriptif dipilih sebab dalam Islam ilmu dianggap mustahil untuk dijelaskan secara defenitif. Hal itu sebab ilmu merupakan sifat Allah , yang tanpa batas, sehingga  bentuk defenitifnya pun mustahil didapatkan. Ibnu Manzhur di dalam Lisan al-‘Arab menyebut ilmu sebagai kata yang terderifasi dari sifat Allah sendiri.[8] Olehnya ulama Islam kebanyakan memberikan pengertian yang deskripitif. Imam al-Ghazali sendiri menyatakan, bagiku, ilmu itu tidak bisa diberikan pengertian defenitif tapi deskriptif.[9]
Ada banyak pengertian deskriptif yang diberikan oleh ulama klasik, setiap buku tentang ushul (pokok-pokok landasan) hukum dan akidah pasti membahasnya.[10]Menurut Ibnu Aqil az-Zhafrani, salah satu pengertian klasik yang banyak diakui dan ia sendiri pun memilihnya adalah; sampainya jiwa yang berpikir/berakal kepada hakikat sesuatu.[11]Pengertia lain yang diberikan oleh ulama umunya semakna dengan ini, misalnya pencapaian makna akan suatu objek dimana makna yang tercapai tersebut memang sesuai dengan hakikat objek.[12]
Jika diamati, para ulama Islam sangat menekankan pada prinsip korespondensi makna dalam akal dan hakikat objek ilmu.   Penekanan ini bisa dimengerti jika kita menelusuri konsep yang merupakan lawan dari ilmu, yakni kebodohan (al-Jahl). Para cendekiawan Islam membagi kebodohan menjadi tiga. Pertama kebodohan yang terjadi sebab absennya ilmu, ini adalah kebodohan yang dimaafkan. Kedua adalah kebodohan yang timbul karena pengetahuan yang ada pada diri seseorang ternyata tidak bersesuaian/berkorespondensi dengan hakikat objek pengetahuannya. Inilah yang disebut jahil murakkab, dan merupakan kebodohan yang berbahya. Ketiga adalah  apabila seorang sudah punya pengetahuan yang korespondensif tapi ternyata bertindak menyalahi ilmunya.[13]Misalnya ia tahu bahwa korupsi itu haram, tapi masih saja melakukannya. Dari sini diketahui bahwa ilmu dalam filsafat Islam selalu berdimensi amal.
Manusia Bisa Mengetahui
Mungkinnya ilmu diperoleh adalah salah satu diskursus penting dalam filsafat ilmu Islam klasik. Hal itu disebabkan karena dalam sejarahnya, umat Islam pernah dihadapkan pada tantangan pemikiran kaum sofis yang menafikan ilmu pengetahuan. Mereka adalah pewaris ajaran skeptisisme relativisme dari filsafat Yunani. Ulama Islam menyebut mereka kaum shufastaiyyah. Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa mereka meyakini segala esuatu (al-asya’) itu tidak memiliki hakikat yang tetap.  Implikasi dari keyakinan ini adalah bahwa seseorang tidak bisa memiliki ilmu atas sesuatu sebab hakikatnya selalu berubah. Apabila hakikat sesuatu terus berubah maka kita tidak akan mungkin mengetahuinya sebab syarat ilmu adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Maka perubahan hakikat akan membatalkan ilmu.[14] Pendirian ini, bertentangan dengan definisi ilmu yang telah disebutkan di atas.
 Kaum sufastaiyyun  mendapatkan perhatian khusus dari banyak ulama.  Imam Ibnul ‘Arabi di dalam karyanya al-‘Awasim min al-Qawasim berbicara tentang kaum shufasta ini .;  Selelompok orang berkata bahwa kita tidak bisa memahami ataupun mengetahui. Manusia hanya berhayal mengetahui sesuatu. Tidak ada jaminan kebenaran bagi simpulannya.[15]  Kelompok ini menurut  Ibnul Arabi harus kita jauhi sebab akan berakibat pada rusaknya iman.  Ibnul Arabi menegaskan bahwa hakikat sesuatu itu tetap, meskipun mungkin suwar/bentuknya berubah-ubah. Jadi misalnya perubahan manusia dari muda menjadi tua, atau dari keadaan diam menjadi bicara, bukanlah perubahan hakikat, melainkan perubahan bentuk saja. Perubahan itu disebabkan gerak dan waktu. Sedangakn hakikat manusia tetap. Sehingga kita tetap bisa mengetahui manusia.[16] 
Kemungkian manusia untuk mencapai ilmu bahkan dimasukan di dalam teks pokok akidah Islam. Kasus ini bisa dilihat pada karya teolog Maturidiy, Imam an-Nasafi. Di dalam buku akidah yang ditulisnya, al-Aqaid an-Nasafiyah, beliau menegaskan pada pembukannya bahwa posisi ahlul haq adalah meyakini bahwa manusia mungkin mengetahui sebab hakikat sesuatu itu tetap.[17]  Menjelaskan pernyataan ini, at-Taftazani mengemukakan tiga keberatan kamu Shofis pada masanya terhadap kepastian ilmu yakni ; pertama, apabila ilmu dianggap adalah hasil dari indra (al-hissiyat) maka indra bisa saja salah. Kedua, apabila ilmu dianggap sebagai hasil dari persepsi yang segera kita ketahui (al-badihi) maka bisa saja setiap orang akan memiliki persepsi yang berbeda tentang sesuatu. Ketiga, ilmu bisa diperoleh dengan penalaran rasional melalui silogisme, tapi hal ini juga tidak mungkin menurut mereka sebab premis-premis yang berbeda di antara orang-orang juga akan mengahsilkan simpulan yang beragam. Olehnya, ilmu yang pasti terhadap sesuatu yang benar-benar disepakati tidak mungkin terjadi.[18]
Imam at-Taftazani menjawabnya sebagai berikut ; pertama, kesalahan yang muncul dari pancaindera terjadi karena adanya alasan tertentu atau penyebab tertentu. Apabila sebab itu hilang, maka indra akan kembali berfungsi baik. Olehnya, kesalahan indra pada saat adanya sebab tertentu tersebut, tidak bisa menafikan kemungkinan indra untuk benar pada saat tidak adanya penghalang/penyebab ia malfungsi. Kedua, keslahan persepsi tentang sesuatu secara badihi terjdi karena kurangnya pengenalan seorang tersebut terhadap subjek, atau karena terjadi kesukaran sehingga ia susah membentuk persepsi yang benar dalam pikirannya. Olehnya hal ini tidak bisa menjadi alasan menafikan kemungkinan mampunya seseorang untuk membentuk persepsi yang benar tentang sesuatu dalam pikirannya bila ia terbebas dari halangan-halangan tadi. Ketiga bila ada yang salah dalam penyimpulan silogisme karena salah membentuk premis, maka itu tidak menafikan kemungkinan orang lain yang premisnya benar untuk sampai pada simpulan silogisme yang benar.[19]
Saluran Ilmu dan Corak Penggunannya
Dalam tradisi Islam, para filsosof, teolog dan sufi memiliki pandangan yang beragam tentang saluran  ilmu pengetahuan. Pandangan yang beragam ini kemudian dirangkum oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas menjadi empat pokok saluran utama yakni panca indera (al-Khawas al-Khamsah), akal sehat (al-‘aql al-Salim), berita yang benar (al-khabar as-shadiq) dan intuisi (ilham).[20]Dari empat saluran inilah ilmu mungkin diperoleh manusia. 
 Persepsi lima indra yakni penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman, dan penyentuh diperkuat lagi dengan indera yang keenam yakni al-hiss al-musytarak. Indera keenam ini bukan dalam pengertian “klenik” yang sering digunakan secara umum di masyarakat. Indera diluar lima indera yang tampak dan jelas ini lebih halus dan abstrak tapi sangat membantu manusia dalam memperoleh ilmu. Al-hiss al-musytarak meliputi memori (dzakirah), penggambaran batini (khayal), dan daya estimasi (wahm).[21]
Inforamsi dan pengalaman yang diperoleh dari indera kemudian tidak akan bermakna tanpa  akal. Di dalam tradisi Islam, akal (aql) dipahami sebagai fakultas mental yang mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta empiris menurut logika sehingga pengalaman tersebut menjadi sesautu yang bisa dipahami. Penting untuk dicatata bahwa pemikir Islam tidak memahami akal sebagai semata-mata rasio. Akal ditempatkan sebagai rekan sekaligus bagian dari realitas khusus di dalam ruh bernama qalbu. Entitas yang terakhir disebut ini berfungsi sebagai realitas spritual yang peka terhadap ilham sekaligus “raja” pengatur bagi fakultas-fakultas mental lainnya.[22]
Khabar shadiq atau informasi yang benar dianggap sebagai saluran ilmu yang penting dalam Islam. Konsekuensinya, dalam filsafat ilmu Islam, kedudukan otoritas sangat dihormati, sebab dari merekalah sebuah khabar shadiq diperoleh. Khabar shadiq mencakup periwayatan wahyu al-Qur’an dan hadis hingga sampai kepada tiap generasi umat Islam di setiap tempat dan generasi. Pentingnya khabar shadiq ini mendorong ulama untuk mengembangkan disiplin ilmu yang sangat kokoh dalam kritik narasumber serta kalsifikasi otoritas berita bernama ilmu hadis atau ulumul hadis. Selain kritik narasumber dan klasifikasi otoritas tadi, para ulama juga mengembangkan perangkap ilmu untuk menganalisa dan menarik simpulan-simpulan dari berita tersebut dengan benar, ilmu ini disebut ushul fiqih yang secara literal bermakna pondasi pemahaman.[23]
Telah disebutkan di atas tadi bahwa keempat saluran ilmu ini mewakili semua komunitas keilmuan Islam kalsik ; para filsosof, teolog serta ahli fikih dan sufi. Dalam operasionalnya, setiap kelompok ini berbeda dalam porsi penggunaan mereka terhadap saluran-saluran ilmu tadi.  Hal ini pada gilirannya menghasilkan corak-corak epistemologi yang oleh pengamat moderen diklasifikasikan menjadi bayani, burhani, dan irfani.[24]
Nalar bayani berkembang pesat di dalam kajian fikih dan ushul fikih yang banyak mengeksplorasi aspek teksual al-Qur’an dan Sunnah (analisa khabar shadiq). Burhani adalah corak pemahaman teolog dan filsuf yang banyak memakai aspek rasio dari aql untuk menyajikan pembuktian demostratif  bagi argumen-argumen mereka.  Sedangkan irfani yang menekankan pada raihan ilmu melalui intiusi dan ilham berkembang dalam kajian tasawuf ataupun tasawuf falsafi.[25]     

 

Baca juga:  Syaikh Ali Jum'ah; Syiah itu Bermasalah

[1]Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 2004), hlm. xxi.
[2]Ibid, hlm. xxv.
[3] Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 26
[4] Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, (New York : Cambridge University Press, 2004), hlm. 8
[5] Ibid, hlm. 34
[6] Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, (Leiden-Boston : Brill, 2007), hlm. 2.
[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, “Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat”, Jurnal Islamia, Thn II No. 5, hlm 62
[8] Muhammad bin Makram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut : Dar as-Shadr, tt), hlm 426, vol 12.
[9] Ibnu Aqil az-Zhafari, al-Wadih fi Ushul al-Fiqh, (Beirut : Muassasah Risalah, 1999), hlm. 13 vol. 1
[10] Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant… hlm. 46
[11] Teks aslinya هو وِجْدانُ النفس الناطقةِ لامورِ بحقائقِها. Ibnu Aqil az-Zhafari, al-Wadih fi Ushul al-Fiqh, hlm 14
[12] Teks aslinya adalah إدراك الشيء بحقيقته. Lihat, ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Damaskus: ad-Dar asy-Syamiyah, tt) hlm, 580.
[13] Ibid, hlm. 209
[14] Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman Ali bin Muhammad al-Jauzi, Talbis al-Iblis, (Beirut : Dar al-Fikr, 2001) Vol 1, hal 38.
[15] Teks asli berbunyi قالت طائفة: لا معلوم ولا مفهوم، وإنما المرء بوهة أو بوم  وما تشبثوا به خيالات لا تحقيق لها . Lihat, Muhammad bin Abdillah  Abu Bakar Ibnul Arabi al-Maliki, an-Nash al-Kamil li Kitab al-‘Awashim min al-Qawashim, (Kairao : Dar at-Turats, tt) vol I hal 11.
[16] Ibid, hal 13.
[17] Sa’ad ad-Din at-Taftazani, Syarh Aqaid an-Nasafiyah, terj Earl Edgar Elder, A Commentary on the Creed of Islam, (New York : Columbia University Press, 1950) hal 3
[18] Ibid, hal 13
[19] Ibid, hal 14
[20] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas,(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 158.
[21] Syamsuddin Arif, “Prinsip-Prinspi Dasar Epistemologi Islam” Jurnal Islamia, Thn II No. 5, hlm 29
[22] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas.., hlm. 159
[23] Syamsuddin Arif, “Prinsip-Prinspi Dasar Epistemologi Islam”…,hlm. 30 – 34
[24]Zulpa  Makiah,. “Epistemologi Bayani, Burhani Dan Irfani Dalam Memperoleh Pengetahuan Tentang Mashlahah.” Syariah Jurnal Ilmu Hukum 14.2 (2015).
[25] Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporerhlm. 237-287.

 

Baca juga:  Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Ibnu Sina dan al-Ghazali

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

1 komentar

Tinggalkan komentar