Santri Cendekia
keluarga islam
Home » Format Keluarga Muslim Ideal

Format Keluarga Muslim Ideal

Tulisan ini adalah materi kajian pra-nikah yang disampaikan  Ust. Anton Ismunanto, guru kami di Yogyakarta, ditulis ulang oleh Aula Syahid, jomblo yang baru kali ini ikut kajian pra-nikah..

Format Ideal Keluarga Muslim

Sebelum jauh membicarakan tentang keluarga menurut Islam, perlu diingat adanya tiga hirarki pendidikan dalam Islam; pendidikan diri, pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Tiga hirarki ini adalah satu bangunan yang utuh di mana tanpa melengkapi pondasinya, maka bangunan tersebut akan rapuh. Pondasinya adalah pendidikan diri.

Al-Qur’an membicarakan diri manusia sebagai makhluk yang sangat kompleks, namun bukan berarti tidak ada jalan untuk menjadi manusia yang paripurna. Puncak paripurnanya manusia adalah ibadullah menjadi hamba Allah. Dengan begitu, maka hal paling pokok bagi manusia untuk mendidik dirinya sebagai hamba Allah ialah mengenal Allah, atau yang sering kita sebut dengan makrifatullah.

Istilah makrifatullah di masyarakat, umumnya terkesan sangat sakral dan sufistis banget. Seolah-olah yang bisa mencapai makrifatullah hanyalah Kyai yang kalau shalat raganya di Indonesia namun jiwanya shalat di Makkah, al-Lammah yang kalau menegak Khamr, berubah menjadi air zam-zam ketika melewati tenggorokan. Intinya tidak pantas buat rakyat jelata yang shalat tahajjud sekali sebulan dan puasa senin-kamis di akhir bulan.

Rakyat jelata seperti kita ini hakikatnya juga bisa memaknai makrifatullah tersebut. Begini ilustrasinya; kita manusia memiliki kampung halaman masing-masing. ada yang dari jawa, Kalimantan, Sulawesi, Jakarta, jayapura, Sumatra, Surabaya dan Bantul (sengaja kami letakkan Bantul diakhir, karena ada rasa puas ketika mengucapkan kata “bantul” sebagai klimaks). Semakin tua, maka akan semakin besar rasa kerinduan kita terhadap kampung halaman. Kita rindui orang tua yang telah dulu tiada, rindu suasana rumah yang tersusun dari kayu, rindu pekarangan luas dan pohon mangga rambutan yang berjejer rindang, rindu jalanan becek dan nyanyian sawah ketika hujan mengguyur. Rasa-rasanya, ingin pulang saja menikmati sisa hidup ini.

Tidak kah kita sadari, bahwa ada satu kampung yang nun jauh di sana, satu kampung yang menjadi halaman pertama, saat ruh kita baru tercipta di tangan sang Rahman? Itulah kampung akhirat. Ketersadaran, bahwa kita akan pulang ke kampung halaman tersebut, dan kembali kepada Allah yang menciptakan kita hakikatnya adalah kesadaran makrifatullah itu sendiri. Secanggih apapun dunia berkembang, manusia tetaplah manusia. Jasadnya akan kembali ke tanah, jiwanya akan kembali ke Allah.

Kesadaran makrifatullah yang sederhana seperti ini, lebih lanjut akan menyadarkan muslim sedari dini untuk mempersiapkan bekalnya pulang kembali ke kampung halaman, dan sebaik-baik bekal tersebut adalah ketaqwaan. Bagi Ali Abdul Mun’im, taqwa tidak tepat jika diartikan rasa takut atau rasa was-was, tetapi lebih tepat jika diartikan sebagai “mengetahui batas”. Ketaqwaan sendiri, jika merujuk kepada ayat al-Qur’an tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada neraka, kepada hari kiamat dan fitnah yang tidak hanya ditimpakan kepada orang yang zhalim. Dengan pengertian seperti ini, maka ketaqwaan membuat seseorang tahu akan batas-batas buat dirinya yang telah ditetapkan Allah, batas agar ia tidak terjerumus ke dalam neraka, batas agar ia selamat di hari pembalasan dan batas agar ia tidak menimpakan atau ditimpakan fitnah yang tidak hanya terjadi kepada orang-orang yang zhalim semata.

Baca juga:  Tanggapan untuk Artikel IBTimes: Perempuan Jadi Imam Shalat Tarawih, Bagaimana Hukumnya?

Ketaqwaan pada diri seseorang ditopang dengan tiga pilar, pilar aqidah, ibadah dan akhlak. Hal yang sama berlaku pada keluarga muslim, bahwa rumah tangga muslim adalah rumah persemaian ketaqwaan kepada Allah. Dengan begitu maka pilar rumah tersebut adalah pilar aqidah, pilar ibadah dan pilar akhlaq. Ketiga inilah, yang sejatinya menjadi karakter pokok dari keluarga muslim.

Pilar Aqidah

Saat ini ada simplifikasi pemaknaan aqidah dalam benak masyarakat muslim pada umumnya. Tidak sedikit di antara kita yang mencukupkan aqidah pada tataran keyakinan saja dan tidak berdampak apa-apa pada kehidupan sehari-hari kita. Aqidah “hanya berada” pada syahadat yang terucapkan di lisan lalu mendapat pembuktian dengan shalat, puasa dan zakat. Padahal tidak demikian, aqidah yang sebenarnya adalah keyakinana yang berdampak pada bagaimana kita merasa, merasio dan bersikap. Aqidah adalah indikator keyakinan, kaca mata pandangan hidup dan alasan pokok untuk mengambil pilihan atau bersikap.

Konsekuensinya maka, pengenalan akan pilar aqidah ini harus dilakukan semenjak dini kepada anak-anak, dengan mengenalkan mereka kepada term-term pokok dalam Islam. Anak-anak harus diajarkan syahadat dan mengerti artinya. Dikenalkan kepada Allah, Rasul, tentang “hasanat” (kebaikan-kebaikan) dan “sayyi’at” (keburukan-keburukan). Beberapa ayat dalam al-Qur’an pun menegaskan pentingnya aqidah ini sebagai warisan paling mulia orang tua kepada anaknya. Semisal perkataan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya:

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ [٢:١٣٣]

Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.

Baca juga:  Pembaruan Kurikulum Pendidikan Tradisional al-Azhar Mesir (1)

Perkataan Nabi Ya’qub di atas perlu digaris bawahi; Madza ta’buduna min (mim) ba’dy (apa yang kalian sembah sepeninggalanku). Nabi ya’qub tidak mengatakan madza ta’kuluna (apa yang kalian makan), madza taf’aluna (apa yang kalian kerjakan) atau man saufa tuzawwijunaha min (mim) ba’dy (siapa pasangan kalian). Kekhawatiran Nabi Ya’qub ini dengan jelas menunjukkan bahwa aqidah adalah aspek yang paling penting di antara yang lainnya. Sebab kehilangan aspek ini, maka kehidupan anak-anak kita akan digelimangi dengan kriminalitas paling buruk, lebih buruk dari pada perbuatan zina atau membunuh. Sebagaimana Luqman mengatakan kepada anaknya inna as-syirka la zhulmun ‘azhim (sungguh kesyirikan adalah kriminalitas paling besar).

Perkembangan modern, dari sisi negatif bisa menghancurkan pilar aqidah ini dan mengakibatkan hilangnya orientasi dalam keluarga muslim. Keluarga yang hidup di zaman kemoderenan akan lekat sekali dengan alat-alat digital seperti tivi dan gadget. Informasi yang mereka dapatkan sangat cepat tanpa ada upaya filter terlebih dahulu, padahal di antara informasi yang didapatkan tidak menutup kemungkinan ada yang merusak aqidah secara jelas, atau yang lebih berbahaya, merusak aqidah dengan bungkus islami. Tidak lupa dibenak kita film Kian Santang misalnya. Film yang bernuansa sangat Islami, namun isinya banyak praktek kesyirikan dan yang lebih parah lagi, dilakukan oleh kyai. Di film tersebut kyai dikenal sebagai sosok manusia sakti mandraguna yang jago berkelahi, bisa berubah menjadi harimau, singa, dan hewan buas lainnya. –Alhamdulillah, belum ada Kyai yang digambarkan bisa berubah jadi artis kor

Pilar Ibadah.

Kewajiban orang tua kepada anak dalam aspek ibadah tidak berhenti kepada mengenalkan mereka kepada ibadah-ibadah yang tampak saja, seperti bagaimana shalat, puasa dan lainnya. Lebih dalam dari itu, orang tua berkewajiban untuk memberikan kesadaran kepada anaknya bahwa ia adalah hamba Allah, dan segala proses kehidupan yang ia lakukan merupakan usaha untuk beribadah kepada Allah. Dengan begitu maka pendidikan ibadah di dalam keluarga harus dilakukan setidaknya dengan tiga langkah; penyadaran akan kewajiban, pemahaman akan ibadah dan pembiasaan. Hasil akhirnya adalah, ketika anggota keluarga beribadah, maka ibadah tersebut akan menciptakan rasa dan nilai yang itu kemudian mewarnai dirinya sebagai manusia yang sadar fungsinya sebagai hamba Allah. Inilah salah satu makna ke-khusyu’an yang dituntut ketika beribadah. Dan proses seperti ini tentu memerlukan interaksi yang intens antara suami-istri dan orang tua-anak.

Dari sisi negatifnya, kemoderenan ternyata juga bisa merusak pilar ibadah tersebut. Salah satu contohnya adalah sekolah full day yang marak sekarang. tidak menafikan adanya kelebihan dari system sekolah seperti ini, sekolah full day berdampak buruk dari kurangnya interaksi orang tua terhadap anak. Anak yang telah lelah seharian belajar di sekolah, hanya bisa bercengkrama sebentar dengan orang tuanya, karena ia butuh istirahat yang cukup lama untuk melanjutkan kembali aktifitas belajar esok hari. Padahal pendidikan yang langsung diberikan orang tua, utamanya dalam hal ibadah sangatlah dituntut dalam Islam. Bagaimana orang tua bisa memberikan contoh sendiri sebagai hamba Allah yang baik di mata anak-anaknya. Sebab bisa jadi, Ismail tidak akan menjadi Ismail, jika tidak memiliki ayah seperti Ibrahim. Dan dalam Sabda Rasulullah, yang disuruh untuk memerintahkan anak untuk shalat adalah orang tuanya, bukan tetangganya atau pun guru di sekolahnya.

Baca juga:  Perempuan Haid Boleh Puasa?

Pilar akhlaq

Akhlaq adalah manifestasi dari penghayatan aqidah dan pembiasaan ibadah. Atau dengan kata lain, menilai pilar aqidah dan ibadah bisa dengan melihat perwujudkan akhlaq yang dicerminkan oleh anggota keluarga. Anak-anak di zaman sekarang adalah native user teknologi. Mereka telah terbiasa dengan gadget dan alat elektronik lainnya semenjak kecil, berbeda dengan orang tuanya yang lebih akrab dengan ayam dan sapi. Padahal tanpa ada kontrol yang memadai dari orang tua, anak akan belajar kekerasan, individualitas, kriminalitas dan kebobrokan akhlak dari fasilitas yang mereka dapatkan dari gadget. Bisa berupa game yang sarat kekerasan, tontonan yang sarat kriminalitas dan penggunaan gadget yang relatif lama, membuat mereka lupa untuk berintraksi dengan sekitar.

Kemoderenan menyediakan figur akhlak yang tidak tepat. Dengan banyaknya pemberitaan gosip misalnya, yang menyoroti kehidupan para artis yang serba glamour, menjadikan dunia keartisan sebagai salah satu cita-cita paling ideal agar anak bisa menjadi manusia yang sukses. Sebab tontonan tersebut menciptakan satu kesimpulan bahwa artis adalah salah satu jalan paling mudah untuk merubah hidup seseorang. Mulailah semenjak dini anak-anak meniru gaya hidup artis yang sayangnya lebih banyak yang tidak mendidik dari pada yang mendidik.

Kesimpulan

Keluarga seperti apa yang bisa mencapai kebahagiaan hakiki dalam Islam?

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ [٥٢:٢١]

Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Wallahu a’lam.

 

Qaem Aulassyahied

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar